Kamis, 23 Oktober 2008

PENGHARGAAN SENI




9 Nominator dan 6 Penerima Penghargaan Seni

Semula kami mencantumkan 12 bakal calon nominator, setelah disaring melalui rapat pengurus harian dengan cara seobyektif mungkin akhirnya dikerucutkan menjadi 9 nama yang kemudian diserahkan kepada tim verifikasi untuk ditentukan sesuai kuota yang ada.

PENGHARGAAN Pemerintah Kota Tegal kepada seniman melalui Dewan Kesenian Tegal (DKT) merupakan langkah positif sekaligus bukti bahwa kepemimpinan Adi Winarso sangat peduli terhadap jerih lelah para seniman dengan kreativitasnya. Hal itu dikatakan Sekretaris DKT, HM. Enthieh Mudakir kepada NP, Rabu (15/10).
“Melalui penghargaan ini beliau telah menciptakan sejarahnya. Diharapkan prakarsa ini akan menjadi program tahunan,” kata Enthieh. Dijelaskannya, meskipun penghargaan ini diberikan Pemkot namun teknisnya perekrutannya diserahkan sepenuhnya kepada DKT.
“Semula kami mencantumkan 12 bakal calon nominator, setelah disaring melalui rapat pengurus harian dengan cara seobyektif mungkin akhirnya dikerucutkan menjadi 9 nama yang kemudian diserahkan kepada tim verifikasi untuk ditentukan sesuai kuota yang ada,” papar Enthieh. Kesembilan nominator itu, Piek Ardijanto (alm.), Wuryanto (alm.) SN Ratmana, Sulaiman Dito, Ki dalang Sardjono, Nurhidayat Poso, Yono Daryono, H Tambari dan Lanang Setiawan. Di bawah ini sekelumit tentang biografi mereka termasuk dalam kolom Lipstik.

Nurhidayat Poso (NP)
Sekelumit lintasan jejak berkesenian seorang guru SD ini, NP tidak sebatas teritorial daerahnya, melainkan hingga tingkat nasional bahkan international. Lahir di Tegal 5 Mei 1960. Kegelisahan yang selalu bergulat dalam jiwanya, karena menderunya kerinduan terhadap gerak maju jagad kesenian di Tegal. Peran gandanya sebagai sutradara teater, aktor, penyair dan cerpenis merupakan kerangka kreativitas mewujudkan idealismenya.
Tahun 1979 ia mendirikan Teater Puber. Ikut mendirikan Studi Group Sastra dan Teater Tegal (SGST) tahun 1981. Mendirikan Forum Dialog Budaya Tegal (FDBT) tahun 1992. Turut menerbitkan Majalah PESISIR tahun 1997. Ia menyutradarai lakon di antaranya: Antigone karya Sopochles dan lain-lain. Lakon drama yang ditulisnya: Abracadabra: ‘Roro Ireng’ (Pemenang penulisan lakon Jawa Tengah). Cerpennya dimuat di sejumlah media regional, nasional dan luar negeri. Cerpennya yang dimuat di majalah Horison berjudul ‘Sintren Randu Alas’ dijadikan naskah drama dan disutradarainya dengan judul ‘The Sintren of Randu Alas’ dengan transkrip Heather Curnow dimainkan para aktor Australia, dipertunjukan pada Top End Writers Festival, satu Vestival penulis kelas dunia yang diadakan di Darwin, Australia. Buku kumpulan cerpennya ‘Semar Panggang’ dan ‘Gerundelan Wong Tegal’. Selain membangun jaringan budaya, NP juga melakukan perjalanan budaya di Australia. Tahun 2007 NP memperoleh penghargaan nasional dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata yang diserahkan oleh Menteri Jero Wacik.

Yono Daryono (YD)
YD lahir di Tegal 25 Maret 1955. YD berkecimpung di dunia sastra sejak kelas 2 SMA lewat karya berupa sajak. Seiring proses kreativitas YD menulis artikel dan cerpen. Karyanya bertebar di sejumlah media cetak nasional seperti Majalah Gadis, Kartini, Suara Karya, Mutiara, Merdeka, Suara Merdeka, Wawasan dan majalah Sastra Horison. Sebagai dramawan YD banyak menulis naskah drama serta termasuk salah seorang pendiri Teater RSPD. Selain sebagai penyiar radio juga pernah menjadi Koresponden RCTI. Sebagai pemimpin teater RSPD, YD banyak menggarap lakon drama, dipentaskan di Tegal, Purwokerto, Semarang, Cirebon, Jakarta, dan Padang Sumatra Barat (1986). Menjadi sutradara terbaik tingkat Jawa Tengah (1986). Selain sastra dan teater YD juga merambah dunia sinematografi. Bahkan menjadi peran utama serta masuk nominator Peran Utama Pria Terbaik tahun 1995 lewat sinetron Jejak Sang Guru karya sutradara Imam Tantowi. Penulis naskah dan sutradara drama Sunan Panggung.

Lanang Setiawan (LS)
Lelaki kerempeng kelahiran Tegal, 26 Nopember, LS ini sepanjang perjalanan kesenimanannya terdokumentasi secara rinci melaui karya-karyanya. Tahun 1994 ia menulis buku ‘Jalan Panjang Teater dan Sastra Tegal’. Melalui buku itu peristiwa kesenian di Tegal periode antara tahun 50-an hingga 1993 menjadi literatur yang menambah khasanah referensi. LS merupakan pekerja seni yang pertama kali melahirkan kembali adanya Koran Tegal, Kontak, Porem, Literasi hingga tabloid Tegal Tegal, setelah dari kurun waktu antara tahun 1960 hingga 1993. LS pun getol mengentaskan bahasa Tegalan ke dalam media komunikasi terpandang dan representatif. Seperti mengangkat bahasa tegalan lewat penerjemahan sajak penyair Indonesia yang dihimpun dalam buku ROA. Melalui gebrakan ini baik kalangan penyair dan lainnya maupun media massa menjadi terkuak keberaniannya menyandang serta mempublikasikan bahasa Tegalan. Karya lainnya, menulis dan mencipta lagu-lagu Tegalan, naskah sandiwara Tegalan berjudul ‘Tegal Bledugan’, ‘Wangsalan Tegalan’. Buku lain ‘Kamus Tegal’, ‘Mantu Poci (Cerita-cerita Rakyat Tegal), serta penulis naskah sandiwara Guyon Tegalan dan naskah drama ‘Surti Gandrung’, ‘Ken Angrok Gugat’, ‘Ni Ratu’ serta ‘Lenggaong’ serta kumpulan puisi Tegalan ‘Nggayuh’.
Kecuali itu LS menulis anehdotegalan di Nirmala Post setiap hari, sudah dua tahun dan sampai kini masih menulis kolom itu. Serta banyak karya LS yang sarat dengan sajian dan rasa khas Tegalan dan mendirikan Teater Swadesi. Dia adalah juga menjadi anggota Teater Puber. Beberapa kali menyelenggarakan acara baca puisi Tegalan sampai Walikota Tegal Adi Winarso dan Bupati Tegal Agus Riyanto ‘diadu’ dalam acara Maca Puisi Tegalan plus Ketua/anggota DPRD Kota Tegal turut serta dalam acara tersebut bersama sejumlah para tokoh seniman Kota Tegal. Setelah itu, Bupati Tegal Agus Riyanto diusung Maca Puisi Tegalan di Warung Apresiasi Bulungan dengan membacakan puisi WS rendra berjudul ‘Nyanyian Angsa‘ yang telah diterjemahkan oleh LS menjadi ‘Tembangan Banyak’ yang cukup menggemparkan jagat perpuisian di tahun 1994 lalu. Sajak tersebut terdokumentasi dalam kumpulan Sajak Terjemahan Tegalan ROA nKZ /berbagai sumber

Piek
PIEK Ardijanto Soeprijadi (alm), penyair yang pernah bertugas sebagai Kepala SMU Negeri Grogol di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Piek Ardijanto Soeprijadi dilahirkan di Magetan, Jawa Timur, 12 Agustus 1929. Sejumlah karyanya antara lain: Burung-burung di Ladang (1983), Percakapan Cucu dengan Neneknya (1983), Desaku Sayang (1983), Lagu Bening dari Rawa Pening (1984) mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K Menyambut Hari Sumpah Pemuda, Lelaki di Pinggang Bukit (1984), Nelayan dan Laut (1995), Biarkan Angin Itu (1996). Selain itu, karyanya dimuat pula dalam antologi Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968) H.B. Jassin (ed), Tonggak 2 (1987; Linus Suryadi AG)

SN Ratmana
Lahir di Kuningan 6 Maret 1936, SN Ratmana mulai menulis sejak di SMA-B di Pekalongan. Karya derpennya tersebar di Majalah Kisah, Sastra, Horison, Kompas, Suara Merdeka dan lain-lain. Kumpulan cerpennya berjudul ‘Sungai, Suara dan Luka’, ‘Soetji Menulis di Balik Papan Tulis’ dan lain-lain. Novelnya ‘Sedimen Senja’ dan ‘Ketika Tembok Runtuh, Bedil Bicara’.
Ratmana masuk di Tegal tahun 1961 dan menjadi guru SMA Negeri 1, salah satu pendiri HSST (Himpunan Studi Sastra dan Teater) Tegal dan dua kali menjadi sutradara ‘Surat Kepada Gubernur’ dan ‘Pinangan’. Pernah menjabat Kepala SMA di Subah, terakhir di SMA Negeri Pangkah, Kabupaten Tegal.







Wuryanto
Lahir di Tegal 12 Desember 1927. Ia mulai menulis cerpen sejak tahun 1951. Karyanya dimuat di majalah “nasional” Jakarta, “Membimbing” Jakarta, “Mimbanr Indonesia” Jakarta, “Sinar Harapan” Jakarta, “Minggu Ini” Semarang, “Pikiran Rakyat” edisi Cirebon, “Suara Meredeka” dan karya puisi Tegalannya terantologi dalam buku “Ruwat Desa”. Dalam dasa warsa tahun 1950-an ia menggunakan nama samaran Atto S Ananda. Mulai tahun 1960-an menggunakan nama asli. Kecuali menulis cerpen ia juga menulis drama panggung dan naskah sandiwara radio. Salah satu naskah sandiwara radionya berjudul “Hatinya Sedalam Laut” disiarkan oleh RRI Studio Jakarta tahun 1959.Bapak dari Eko Tunas ini pun menulis berita atau artikel dan reportase tentang kegiatan kesenian dan lain-lain. Berita yang ditulisnya tentang penangkapan Letkol Untung gembong G30S/PKI di daerahTegal berjudul “Sang Gembong Tak Berdaya Menghadapi Kepungan Rakyat” dimuat di surat kabar Lembaran “Banteng Loreng”. Berita ditulis secara kronologis ini sempat dikutip oleh beberapa surat kabar nasional. Ia banyak juga menulis dan mengupas sajak-sajak Tegalan di “Muara Sastra”, “Kontak”, “Porem”, “Literasi” dan Jurnal TEGAL TEGAL serta tabloid TEGAL TEGAL yang kesemuanya terbitan Kota Tegal. Wuryanto termasuk salah satu pendiri Lembaran “Banteng Loreng” dan Senidrama “Tunas” tahun 1950-an.

R. Suleman Dito RS
Pelukis yang satu ini lahir di Grobogan, 4 Januari 1946, R Suleman Dito RS alias Dito sejak tahun 1965 menetap di Tegal. Jenjang pendidikan SD hingga SLTA ditempuh di Semarang. Pernah kuliah di UI bagian Paspal di Bandung setahun. Kuliah jurusan Arsitektur di ITB tiga tahun. Setelah drop out lalu tekuni dunia seni lukis dan desainer.
“Saya cenderung pada lukisan beraliran natural ke kanak-kanakan,” kata Dito kepada NP, Rabu (14/10) di sanggarnya.
Pernah pameran lukisan di Tegal, Slawi dan Semarang. Karyanya dikoleksi di sebuah universitas di Australia. Tahun 1980 – 1990 sebagai desainer reklame di Jakarta. Karya monumentalnya, melukis tokoh Ki Gede Sebayu. Mendesain tiga monument seperti tugu Tentara Pelajar di pertigaan Jalan Soepomo, tugu Pancasila di pertigaan timur Alun Alun Kota Tegal dan tugu di pertigaan Tirus .

S Sardjono
Kakek dari lima cucu kelahiran tahun 1950. Sejak di bangku SR hingga tamat dari SLTP di Adiwerna suka seni karawitan dan wayang. “Cita-cita masa kecil saya ingin menjadi dalang yang dapat mengharumkan nama baik bagi orang tua dan daerah kelairan,” kata Sardjono kepada NP, Rabu (15/10) di rumahnya. Tanpa mengenyam pendidikan sekolah pedalangan, tapi tekun belajar kepada dalang Darto. Empatb tahun merguru pada Ki Dalang Suharjo. Mendalang wayang golek pertama pada tahun 1972 di Slerok. Tahun 1982 menjadi duta seni Tegal di TMII, berlanjut hingga lima kali. Pernah mendalang di Semarang, di RRI Purwokerto tiga kali. Ikut kegiatan apresiasi wayang langka dan meraih juara I dalang penyaji terbaik. “Sebagai dalang harus mampu menghayati karakter tokoh wayang yang dimainkan. Jangan asal gebrak,” pesannya

Tambari Gustam
Lahir di Tegal 18 Oktober 1964. Lelaki yang jago humor ini, selain mahir baca puisi, dia getol melancarkan aksi demo saat reformasi. Antologi pantunnya terhimpun dalam buku Pantun Warteg. Salah satu pendiri “Kiret” (Komite Reformasi Tegal) ini juga telah menerbitkan 3 buah buku komik masing-masing berjudul Selamatkan Aku, Jeritan Si Ikan Laut dalam bahasa Tegalan, dan ketiga Selamatkan Pantai Muarareja. Buku yang lain Guyong Gustam, Jangan Tunggu Rakyat Bergerak, Misteri di Balik Masjid Kalisoka, dan Capung Maling. Tokoh yang satu ini termasuk paling gerah dan geram ketika melihat ketimpangan social. Pendiri tabloid Muara Pos.

Seperti diketahui, dari 9 Nominator itu akhirnya yang kemudian berhak menerima Penghargaan Seni dari Kota Tegal adalah Piek Ardijanto Soeprijadi (alm), SN Ratmana, Suleman Dito, S. Sardjono, Lanang Setiawan dan Yono Daryono. Pemberian penghargaan itu berlangsung pada Minggu (19/20) di Anjungan Jawa Tengah Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Tim verifikasi terdiri dari Lowok Legowo, Sisdiono ahmad dan HM. Iqbal.








KETERANGAN GAMBAR



Walikota Tegal Adi Winarso tengah memberikan trofi Penghargaan Seni kepada Lanang Setiawan.

Tidak ada komentar: