Minggu, 12 Oktober 2008

Novel KEN RATU


Jejak Anak Tobong

di Kota Poci

Novel Karya: Ken Ratu



Mengenang
PAGI sekali aku terjaga. Sengaja kulakukan agar dapat menyapa mentari yang bersinar cantik. Benar, sinar nilanya membuatku kagum. Kulangkahkan kaki menapaki taman. Kuhadapkan badan menantang cahaya surya. Masih basah dedaunan. Embun. Aku suka embun. Karenanya aku selalu bersyukur masih diberi waktu untuk menikmatinya lagi. Warna hijau pupus menyejukkan kalbu. Semilir angin pagi sempat membekukan tubuhku. Bumi pijakanku sekarang terlalu lembab. Gerimis mengguyur semalam. Kicauan burung yang bersender di batang pepohonan seolah mendendangkan nyanyian pagi. Hmm ... kutarik nafas perlahan-lahan. Lantas kurentangkan tangan dan berkata lirih: “Aku kangen sekali ...” Rambutku yang terurai digoyang indah oleh sang angin. Kuhirup hawa pagi nan segar. Kukosongkan pikiran. Enteng.
Lima belas menit sudah kunikmati pagi di Rabu. Sebuah tangan menepuk pundakku. Kaget. Kepalaku menoleh. Seorang wanita manis berwajah bersih itu tersenyum dan mengingatkanku: “Katanya mau jalan-jalan, yuk?” Hanya anggukan yang kuberikan. Kurasa Ceta paham. Ceta Nirvana Anggriani, teman satu kostku. Mahasiswa Sastra nun jauh di London, Inggris sana. Hendak menggarap skripsi tentang Kota Poci termasuk sejarahnya.
Kukenakan sandal gapit. Aku berjalan mendahuluinya. Maklumlah aku lebih paham jalanan. Mungkin karena terlalu pagi, tak kutemui kesibukan penduduk. Sepi. Untuk penelitian pertamanya, kukenalkan Ceta dengan Taman Poci. Jari telunjukku mengarah pada patunng poci.
“Patung Poci ini ciri khas Kota Tegal. Ukurannya delapan meter. Di depan mulut poci itu ada patung gelas lengkap dengan kolamnya. Waktu masih baru, poci itu memancurkan air ke dalam gelas. Tapi sekarang, ... udah gak. Oya! Warga Tegal biasa menyebutnya Taman Poci” Ceta mencatat apa yang kuterangkan dalam sebuah buku note imut. Aku berjalan meninggalkan Ceta. Duduk di tepi trotoar. Kutatap sekeliling, banyak yang berubah. Kulihat Ceta meraba relief patung itu.
“Taman kok sepi sih, Rin?” Ceta bertanya tapi tak kunjung mendapat jawaban. Celingukan ia mencari kawan. Sadarlah ia telah ditinggal sendirian.
Aku tersenyum sendiri. Melamun. Aku teringat peristiwa di suatu pagi. Kusanggahkan dagu di atas telapak tangan. Betapa manisnya kenangan itu. Tak mungkin terlupakan.
“Hei ... senyum-senyum sendiri. Gila kamu ya?” suara Ceta membuyarkan kenanganku.
“Ah kamu, udah selesai liat-liatnya?”
“Rin, katanya taman, kok sepi banget sih?” Ia duduk disampingku.
“Siapa bilang, kalau pagi emang sepi. Tapi jangan tanya kalau sore n malem, rame banget. Ada orang jual makanan, mainan. Ada miniatur unta, gajah, jerapah yang bisa digunakan buat ngelilingi taman ini”
“Oh ...”
“Eh by the way kenapa tadi kamu senyum-senyum sendiri. Liat cowok ganteng ya?” Ceta masih penasaran.
“Hus! Ngawur banget sih kamu. Aku cuma inget kejadian dulu waktu tinggal di sini”
“Oya, kayaknya menarik nih. Cerita dong?” Bola mataku menerawang masa lalu. (CERITA TENTANG RYO )

Panas mentari mulai menyengat saat aku usai bercerita. Hiruk pikuk mulai terlihat. Semua itu tak membuatku dan Ceta bangkit dari Taman Poci. Masih banyak lokasi yang akan aku kenalkan padanya.
“Oh so sweet ...”
“Jadi hari itu, hari pertama aku kenal cowok”
“Saat itu kamu udah main ketoprak ya?”
“Semalam, sebelum peristiwa pagi itu, juga pertama kali aku beraniin diri main ketoprak. Biasanya aku gak main”
“Kamu main di mana?”
“Di situ, di lapangan PJKA” telunjuk kananku mengarah pada lapangan.
“Mana?” celingukan Ceta mencari lapangan.
“Di balik bangunan-bangunan itu loh. Mau ke sana?”
“Boleh”
Kugandeng Ceta menyebrang. Kulewati lorong sempit untuk menyambangi lapangan. Hamparan rumput hijau subur tumbuh. Di sini angin terasa lebih kencang. Kuikat rambut dengan pita karet yang kutemukan disaku celana. Ceta menatap sekeliling. Matanya menyipit karena silau sinar matahari. Tak ada orang di sana.







TRAK! Tak, tak, tak ...ning nong ning gung! Ning nong ning......!!
Suara gamelan bertalu-talu di malam berpayungkan awan. Angin pesisir pantai Tegal merayap menampar daun-daun, bertamasya membuat rerumputan di sekitar lapangan PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) seolah menari seirama suara gamelan yang berderap dari sebuah pertunjukan ketoprak. Ya! Di lapangan PJKA Tegal itu, bangunan tobong ketoprak Langgeng Budoyo dari Jawa Timur telah berdiri dua bulan lalu.
Bangunan tobong itu terbuat dari separo gedek bambu, triplek dan seng-seng bekas. Di dalam tobong itu berpetak-petak ruangan dibikin di kolong panggung pementasan. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu berukuran 2 x 1 meter, tingginya sebatas dada orang dewasa atau kurang dari 2 meter. Sudah pasti ruang yang mirip kandang ayam itu tak cukup orang dewasa berdiri kecuali duduk, merunduk atau merangkak, barulah orang bisa masuk ke dalam petak yang berfungsi sebagai tempat istirahat. Di sinilah para pemeran ketoprak membuang rasa lelah. Jika orang lain kedinginan saat musim hujan, maka tidaklah bagi penghuni tobong. Mereka justru merasakan kehangatan.
Angin malam bertambah dingin. Tampak wanita-wanita berpakaian seksi berdiri di depan warung remang-remang yang berderet di sebelah timur tobong. Warung-warung itu sebenarnya jika pagi hari dimanfaatkan sebagai sarana jualan jajanan ringan. Sebaliknya jika senja merayap mendekati malam, lokasi ini beralih fungsi. Bukan toko jajanan melainkan tempat transaksi seks dari para pelacur ‘selawé rubuh’ alias pelacur kelas teri. Biasanya, setelah transaksi itu terjadi, mereka tinggal berjalan beberapa langkah menuju stasiun kereta api untuk melepas hasrat purba di dalam gerbong atau di kebun-kebun mawar, dengan hanya menggunakan alas koran atau tikar.
Di sebelah utara lapangan PJKA, berdiri patung poci, ciri khas warga Tegal yang lumayan besar dengan ukuran delapan meter. Di depan mulut poci, ada patung gelas lengkap dengan kolam kecil. Warga Tegal menyebutnya Taman Poci. Di taman itu, penuh beragam mainan anak-anak seperti; mandi bola, kereta api mini, kereta unta, gajah, jerapah dan sederet mainan lucu nan unik yang biasa digunakan anak-anak berkeliling seputar taman.
Tepat di depan taman berdiri kokoh bangunan Gedung Biro bekas kantor bengkel PJKA dan Pangkalan Militer Jepang. Di gedung ini pula sejarah mencatat pengibaran bendera merah putih pertama kali yang dilakukan oleh Rahmat, karyawan bengkel perkereta apian. Peristiwa itu terjadi tanggal 6 September 1945. Bangunan itu, sekarang beralih fungsi sebagai perguruan tinggi Universitas Pancasakti dan SMA swasta. Di seberang universitas, ada pasar malam. Terdapat pula pasar burung yang hanya aktif pada sianghari. Mungkin karena situasinya ramai dan strategis itu, didirikan tobong ketoprak Langgeng Budoyo. Tontonan rakyat yang sering dianggap ‘konco melèk’ itu, sebenarnya memiliki jiwa kerakyatan dan salah satu aset budaya adiluhung yang menjadi kekuatan jati diri bangsa. Namun keberadaannya, kian tahun kian merana ditinggal penonton karena digerus budaya asing yang menggila serta lajunya perubahan zaman. Entah mengapa orang lebih gemar menonton televisi atau tontonan moderen lainnya daripada nonton ketoprak. Padahal ketoprak adalah tontonan murah meriah. Tak perlu merogoh kocek terlalu dalam untuk mendapat tontonan yang sarat nilai moral itu.
Suara gending terus berkumandang, dihembus angin. Selaras tembang pembuka merayap-rayap lembut, dipersembahkan bagi penonton setia yang menghargai seni ketoprak. Bukan lagu pop, rock, jazz atau sejenisnya yang kini lagi ngetrend dan merajai kancah musik. Akan tetapi sebuah tembang panembrono, sebuah irama macapatan yang sarat nilai kehidupan. Ini juga bukan sebuah pagelaran show ataupun venue, tetapi sebuah pagelaran yang mengangkat cerita-cerita legenda dan sebagainya. Ya! Inilah sebuah pertunjukan ketoprak! Pertunjukkan rakyat yang mencoba untuk tetap eksis di tengah gerusan peradaban moderen yang menggila.
Malam terus bergulir. Bulan berlayar di langit sana. Sinarnya bulat penuh. Karuan saja, hati Rindi Swastika berdetak, aliran darah kencang menderas membuat tubuhnya makin bergetar. Jari jemarinya seolah matirasa. Dalam benaknya berkeliaran kata-kata yang mungkin bisa dibilang skenario. Ia menatap seraut wajah yang hampir tak dikenal pada cermin sederhana. Ya, dia lah sang Loro Jonggrang si tokoh utama. Untuk kali pertama dan mungkin seterusnya, ia bergelut dalam dunia seni peran. Sekali pun ketoprak sudah berada di Tegal selama dua bulan, tapi baru ini kali Rindi berani menampakkan bakat seninya. Rindi bukan artis atau dramawati yang pandai bermain berbagai karakter. Ia hanya remaja yang mencoba memainkan sebuah lakon; suatu pergulatan nilai, atau simbol kehormatan dan harga diri seorang wanita. Dan Rindi, sebagai wanita tertarik pada cerita itu karena setelah ditelusuri, betapa murahnya wanita sekarang dan bahkan tak ada harganya. Tidak semuanya memang, tapi dominan. Lewat peran ini ia ingin menyuarakan untuk seluruh wanita di dunia agar membuka matahati terhadap pergeseran nilai dan pengaruh barat.
Semilir angin malam mulai menerobos celah-celah tobong. Hawanya yang dingin menjadi khas terdsendiri. Rindi masih meneliti lagi riasan dalam wajah. Sejeli mungkin ia torehkan gincu untuk mempertegas karakter wanita nan ayu. Kali pertama wajahnya kenal make-up. Awalnya terasa gatal, tapi lima menit kemudian rasa itu hilang dengan sendirinya. Tampil maksimal dan sebaik mungkin yang dia inginkan. Meski sebenarnya Rindi belum tahu apakah bakat seninya itu mengalir dari keturunan keluarga atau justru sama sekali tak setetes yang mengalir pada dirinya?
Agaknya, tak terkecuali, semua keluarganya adalah pecinta seni sejati. Eyang Sudarjo lah yang menularkan dan menurunkan pada semua darah dagingnya itu. Ketoprak, demikianlah kesenian yang telah berpuluh tahun menghidupi keluarga besarnya. Mungkin orang akan lebih mengenal ketoprak dengan tradisi buruknya; samen leven, narkoba, miras, judi dan segala bentuk kebiadaban lainnya.
“Dulu zaman Eyang masih pemula bergelut di dunia ketoprak, betul-betul kaget begitu tahu betapa durjananya pekerjaan yang Eyang tekuni. Tapi saat itu Eyang cuma ada dua pilihan; pertama, tetap dalam kenistaan. Kedua, mati kelaparan. Eyang tak punya pilihan lain karena saat itu zaman susah. Eyang tetap memilih bertahan di lingkungan ketoprak. Eyang pernah salah aliran dan tak pelak Eyang pun terjerembab dalam kubangan kenistaan. Eyang pernah dikenal sebagai seorang pemadat opium, penggila miras, jago main gaple, dan pelanggan tetap dunia perlontean. Itu semua telah menjadi makanan sehari-hari Eyang. Eyang sebenarnya sangat bosan tapi arep piyé menèh?” tutur Eyang Sudarjo dengan matanya yang masih menerawang jauh ke masa lalu, masa di mana ia merasa tak berguna dilahirkan, masa yang kini menjadi pelajaran hidup berharga.
“Oleh karena itu Eyang bertekad mengubah pandangan masyarakat yang masih negatif terhadap pelaku-pelaku ketoprak menjadi lebih mulia. Eyang ingin kalian sebagai generasi muda membantu Eyang mewujudkan cita-cita. Agar kelak nanti, kalian bisa memperkenalkan pada dunia luar kebudayaan bangsa kita, bangsa Indonesia. Eyang menyerahkan sepenuhnya ketoprak Langgeng Budoyo ini pada kalian. Kalian boleh mengemasnya dengan kreativitas sendiri. Yang penting ojo nylenèh”.
Begitulah suatu kali Eyang pernah menasehati semua anak cucunya. Di sela-sela celotehnya sesekali disembulnya asap rokok yang dihisapnya. Eyang memang perokok berat meski berulangkali sudah diingatkan kalau rokok itu bisa membunuh penikmatnya sendiri. Tapi ia tetap tak mau melewatkan hari-harinya tanpa rokok. Baginya rokok itu bak teman yang setia melengkapi hidupnya.
Anak Eyang berjumlah tiga. Dua laki-laki satu perempuan. Ia meminang Eyang Putri yang saat itu berprofesi sebagai pelacur. Naluri kelelakiannya bergetar menatap beningnya mata Eyang Putri, Darmini (alm). Dengan menjadi pelanggan setia, Eyang Putri akhirnya mengetahui asal-usul serta alasan yang melatar belakangi pekerjaan Eyang Sudarjo. Berlandaskan rasa cinta yang tulus dan belas kasih ia melamar Eyang Putri. Tak ada resepsi pernikahan mewah, hanya tasyakuran kecil sebagai ucapan terimakasih atas karunia Tuhan. Mahar yang dipersembahkan pun tak neko-neko hanya uang sejumlah Rp 10 ribu saja.
Di bawah panggung pementasan mungkin tepatnya, mereka menetap, di dalam kolong tobong ketoprak. Mungkin tempat sekecil itu lebih layak untuk kandang ayam saja. Orang dewasa sudah pasti tak dapat masuk seenak dengkul, harus dengan jongkok atau merangkak. Tapi apalah arti sebuah kamar, toh di dalamnya masih tersimpan berjuta kehangatan yang tak dapat ditemukan di tempat lain. Justru dari tempat semungil ini kehidupan baru akan dilalui. Hanya bilik pengap berdinding spanduk sim card hape dan beralaskan tanah itulah maka pemandangan akan selalu menemani mereka. Darmini bukanlah wanita matre seperti wanita kebanyakan. Ia tak menuntut banyak pada sang suami. Ia sadar siapa dirinya sebelum menikah dengan Eyang Sudarjo. Untung masih ada yang mau menerima apa adanya seorang pelacur kelas teri seperti dirinya. Meski penghasilan suaminya tak seberapa, ia jarang mengomel. Bayangkan saja penghasilan Eyang Sudarjo saat itu hanya Rp 3.000 setiap malam. Mungkin wanita lain akan nggerundel mendapat jatah harian secuil itu. Tidak demikian bagi Darmini. Buatnya hidup bersama Sudarjo adalah anugerah terbesar yang diterima.
Setahun mengarungi bahtera rumahtangga, mereka dianugerahi momongan berkelamin laki-laki. Kebahagiaan mereka makin bertambah. Meski tak munafik kebutuhan makin melonjak tragis. Namun keriangan tak tergantikan dengan apa pun. Tarjono, demikian anak itu diberi nama. Darmini merawat Tarjono alias Jono dengan kasih sayang dan tak ayal ia pun tumbuh menjadi laki-laki dewasa nan ganteng, meski sedikit hitam manis. Setahun setelah Jono dilahirkan Darmini melahirkan anak kedua, masih berjenis laki-laki. Diberilah nama Wardi. Ekonomi mereka makin porak-poranda namun lewat ketoprak segala serpihan kesusahan mulai tersapu. Dua tahun usia Wardi, Darmini melahirkan lagi seorang bayi mungil lucu nan jelita. Bulu matanya lentik, hidungnya mancung, bibirnya nyigar jambé. Kelahiran bayi kali ini membawa berkah tersendiri, oleh karenanya ia diberi nama Sri Rejeki. Pada saat itulah ketoprak meraup kejayaan yang tak tertandingi. Banyak order. Bahkan mereka sempat merasakan mewahnya Taman Ismail Marzuki. Saat itu mereka ditanggap Rp 10 juta. Dari uang inilah Darmini membuka usaha kecil-kecilan dan menyekolahkan anaknya. Meski harus sering berpindah-pindah sekolah karena pekerjaan orang tuanya. Buat mereka, sesusah apapun sekolah tetap terdepan. Mereka tak ingin anaknya dibawah ayah-ibunya.
Di masa inilah Sudarjo mendapat rekan baru untuk mengadu nasib di ketoprak. Ada Harjo yang semula loper koran, Kiran sang pemulung, Paijo jualan jangkrik dan Juminah yang mempunyai lembaran masa lalu persis seperti Darmini. Disini, mereka juga ikut merasakan penat dan lembabnya bilik tobong. Bersama Sudarjo dan Darmini, mereka membangun dan mempertahankan eksistensi ketoprak. Tak mudah memang. Sulit, terlalu sulit dan berbelit-belit. Persaingan dunia ketoprak makin ketat. Masing-masing grup ketoprak menunjukkan jati diri dan kreativitas berbeda. Di era kesulitan masih ada cinta di balik bilik tobong atau sekarang lebih tepatnya disebut cinlok alias cinta lokasi. Juminah dan Kiran akhirnya melangsungkan ijab kabul ala kadarnya. Dari sinilah kebiadaban dunia ketoprak nampak. Tambahan personil tak solid memperkeruh keadaan. Ratno sang tukang parkir, Baron tukang jual togel, Tarjo mantan pedagang ekstasi, Darno penjual miras dan Sabri pencicip pelacur. Tiap hari tak lengkap tanpa miras. Demikian pula dengan Sudarjo, ia ikut terseret arus sesat. Darmini pun lelah menasehati suaminya. Sekali pun sundal, Sudarjo tak pernah lupa dengan perannya sebagai ayah, ia tetap menyekolahkan anaknya.
Hari berganti justru makin parah kondisinya. Ada saja barang haram yang menelusup dalam tobong. Hingga Sudarjo serta rekan sejawatnya membuat sekat tersendiri untuk mereka mengkonsumsi kenikmatan penuh najis. Sering Darmini merasa tergganggu atas gelak tawa tanpa irama yang renyah mengganggu kegiatannya menidurkan anak.
Kesulitan sama juga dirasakan oleh Juminah yang saat itu baru saja melahirkan bayi laki-laki. Najis. Sering Darmini menjumpai suaminya sedang asyik menghisap ganja dan apalah temannya ganja itu. Ngenes. Tiba-tiba rasa sesal menyelubungi nuraninya. Lain Darmini lain pula Juminah, ia sering dipukuli sang suami ketika miras merampas akal sehat. Kedua wanita ini tak jarang menatap pemandangan rusak laki-laki itu. Ada-ada saja stok wanita penghibur di sana. Hal yang paling ditakuti Darmini adalah perkembangan otak dan daya pikir anaknya akan terganggu dengan keadaan sehina itu, sehingga ia selalu menidurkan anaknya sore hari sebelum kebrengsekan ayahnya diteropong langsung oleh si buah hati. Sebisa mungkin ia menutup rapat kejelekan ayahnya.
Lima tahun kemaksiatan menemani langkah ketoprak. And now, success coming again! Tuhan rupanya masih menginginkan ketoprak langgeng seperti title yang disandang ketoprak ini; Langgeng Budoyo. Untuk kedua kalinya ketoprak mengalami masa kejayaan, tak tanggung-tanggung dalam sehari mereka dapat tanggapan dua kali. Wow ...! Kemaksiatan itu makin berkurang. Bahkan kini Sudarjo dipercaya menjabat bos ketoprak. Ia menggaji karyawannya dengan adil. Sisanya untuk ia sisihkan demi masa depan cemerlang buah hati. Harapannya tak muluk-muluk. Ia hanya ingin penerusnya kelak mengemas ketoprak lain dari yang lain agar langgeng di hati penontonnya.

*

Ringkas cerita. Rindi akhirnya mampu menaklukkan rasa gugup dalam diri. Ia bermain sempurna. Sekarang ia sedang menunggu giliran masuk babak lagi. Di atas panggung, ada Galih yang berperan sebagai Bandung Bondowoso.
“Para punggawaku, siapakah wanita tercantik di dunia ini? Tunjukkan padaku dan akan segera kupinang saat ini juga” teriaknya keras di atas kursi sang raja. Sesekali matanya melirik tajam ke arah para punggawa. Sengit.
“Ampun Satria Prambanan, wanita tercantik saat ini adalah Loro Jonggrang,” jawab salah satu punggawa kepercayaan yang diperankan paman Kiran. Tangannya menyimpul sujud sembah. Ia menyembah tepat di bawah kaki Bandung Bondowoso.
“Loro Jonggrang...?” katanya mengerutkan kening. Masih dengan keburukan sifat dan raut wajahnya.
“Darimana ia?” tanya Bandung Bondowoso.
“Dari Desa Prambanan. Putri ayu sekar kedhaton!” jawab punggawa.
“Besok, aku ingin melamarnya! Siapkan segala sesuatu” begitulah watak Bandung Bondowoso, kejam, taktis, dan ingin segera selesai kemauannya.
“Baik, satria”
Musik gending memecah kesunyian. Loro Jonggrang, putri tunggal Prabu Bhaka tengah menghirup sejuknya udara pagi di Taman Prambanan sembari menyaksikan eloknya kabut di kaki gunung merapi. Gadis-gadis Prambanan baru saja selesai bersesaji pada Hyang Widhi Wasa. Wajah mereka sumringah. Tapi tiba-tiba saja mereka berlari ketakutan. Ada yang berlindung di balik batu candi dan menghadap Mahapatih Prambanan. Lelaki bertubuh sangar lagi kekar memasuki tahta kedhaton.
“Bandung Bandowoso bersama punggawanya datang ....” teriak salah satu gadis di hadapan Mahapati Prambanan.
“Mau apa dia ke sini ....” tanya Mahapatih Prambanan pada gadis itu.
“Aku ingin melamar Loro Jonggrang putri ayu sekar kedhaton! Suruh dia ke luar!”
Ternyata Bandung Bondowoso telah berada di belakang Mahapatih Prambanan. Perkelahianpun tak terelakkan. Loro Jonggrang memberanikan diri menghadap Bandung Bondowoso. Ia sadar bahwa kekuatan Bandung memang tak tertandingi. Dan ini membuka tabir kenyataan Loro Jonggrang, siapa sebenarnya satria yang ada di hadapannya. Dialah musuh bebuyutan selama ini. Mendiang ayahanda meninggal karena dibunuh Bandung Bondowoso. Dan dia tak ingin Mahapatih Prambanan bernasib sama dengan ayahanda.
“Wèelèh-wèlèh....ayu tenan kowé Loro Jonggrang” puji Bandung Bondowoso.Cairan hangat dalam mulut Loro Jonggrang seolah ingin ke luar.
“Cuih ...jangan mimpi kau mendapatkan cintaku!” ucapnya dengan nada tinggi. Dan Bandung hanya mengelap lembut ludah yang dianggapnya wewangian.
“Kau mau jaminan apa, manis?” tawar Bandung dengan nada lembut. Loro Jonggrang melirik sengit tanpa sepatah kata.
“Cepat! Jangan kau buat aku naik darah, Loro. Kau mau rumah dengan pelataran emas, atau kubuatkan istana semaumu?” Bandung mendekat dan mengelus mulus pipi Loro Jonggrang. Otak Loro Jonggrang kini berputar cepat mencari kekalahan Bandung Bondowoso.
“Kalau itu maumu, buatkan aku 1000 candi dalam waktu satu malam” muncullah keputusan dari mulut Loro Jonggrang.
“Ha ... ha ...ha.... hanya itu Loro, itu syarat termudah yang kuterima. Ingat! Jika aku mampu membuatkanmu 1000 candi, kau milikku selamanya. Hahaha ...” tawa Bandung terasa renyah dan remeh. Ia lantas meninggalkan Loro Jonggrang.
Irama tembang mulai disemaurkan. Sebagai pengiring sepeninggalnya Bandung Bondowoso.
Dalam hati Loro Jonggrang, bergelut kejengkelan tiada tara. Ia ingin sekali meremas mulut Bandung yamg congkak. Baginya lebih baik mati daripada harus menikah dengan laki-laki setamak Bandung. Otaknya kini diperas habis memikirkan bagaimana cara agar Bandung tak dapat memenuhi persyaratan itu. Ia hapal benar kejahatan apa yang sering dilakukan Bandung. Merampas paksa harta orang miskinlah, memancung orang tanpa salah, menikahi sejuta wanita lah, inilah, dan itulah. Hampir seantero kerajaan yang dipimpinnya tahu kepicikan Bandung. Oleh sebab itu dia tak ingin menambah deretan wanita malang seperti sebelumnya. Di antara kebingungan dan kepasrahan, Loro Jonggrang menitikkan air mata. Tapi siapalah dia, bukan orang sakti bukan pula orang berkelebihan. Ia hanya wanita pribumi yang berhati murni. Percuma juga kalau dia melarikan diri, Bandung bukanlah orang tolol. Dia pasti akan mencari sampai ke titik dunia terakhir untuk merealisasikan keinginan. Tring ...!
Di tengah kebingungannya itu, seorang gadis Prambanan mengabarkan sesuatu yang hampir membuatnya kalang kabut.
“Ampun, putri ayu Loro Jonggrang. Lihatlah di pelataran Prambanan telah berderet candi-candi yang berdiri tanpa melihatkan siapa yang membuat” Loro Jongrang membelalakkan mata, ia benar-benar tak menyangka. Rupanya Bandung Bondowoso telah membuat 999 candi, tinggal secandi lagi persyaratan itu dilalui. Loro Jonggrang segera bersiasat, membangunkan wanita-wanita Prambanan agar membakar timbunan jerami dan menabuh lesung. Seketika ayam-ayam berkokok dengan lantangnya, mengira cahaya dari api itu adalah cahaya sang surya. Bandung Bondowoso sontak kaget, dia mengira pagi telah datang. Loro Jonggrang menghampiri Bandung dan berkata:
“Waktunya telah usai dan kau tak dapat memenuhi persyaratanku. Oleh karenanya kau tak berhak memiliki aku” ucapnya seraya tersenyum puas. Di ufuk timur pagipun menjelang. Bandung sangat murka.
“Kau licik Loro Jonggrang! Kau tipu aku dengan cara murahan seperti ini. Pengkhianat!”
“Ha ha...kau pikir kau jujur? Candi yang kau buat itu bukan hasil jerih payahmu, tapi kau bersekutu dengan jin peliharaanmu, bukan? Aku benci dengan kepicikan dan ketamakanmu itu, Bandung!” teriak Loro Jonggrang tak kalah sengit.
“Bangsat kau Loro! Untuk memenuhi persyaratanmu itu, kukutuk kau melengkapi patung ke 1000 dan untuk kalian semua perawan Prambanan, kukutuk jadi perawan tua sampai ajal menjemput” Sinar mentari menyilaukan mata. Bandung Bondowoso tersungkur di bawah kaki Loro Jonggrang yang telah berubah menjadi patung. Seketika itu asap mengepul dari dasar panggung. Suara gending bergemuruh. Pementasan pun usai.

*

Usai pementasan, hati Rindi tenang. Riuh tepuk tangan penonton menandakan respon positif akan dirinya. Di dalam tobong, ia masih melamun tak percaya dengan sekian banyak acungan jempol yang diarahkan padanya. Eyang Sudarjo meminta para pemain kumpul di kamarnya. Kemudian ia mengevaluasi penampilan penerus ketoprak.
“Ndi, kamu tadi main bagus tenan. Sebenarnya Eyang tadi deg-degan takut kamu nda bisa maen apik. Tapi sekarang Eyang percaya kamu mampu meneruskan ketoprak dengan baik dan benar” jari telunjuk Eyang mengarah pada Rindi yang duduk senderan, sesekali kapas ditangannya menghapus sisa riasan.
“Iya donk, sopo ndhisik guruné, Eyang Sudarjo ...” celetuknya guyon disambut gelak tawa orang yang ada di samping mereka.
Memang, dia cucu Eyang Sudarjo paling menonjol dalam pendidikan. Sekarang ia masih duduk di bangku kelas satu SMA. Ucapan serta tindak tanduknya mengundang keceriaan. Ia bukan anak pendiam bahkan cenderung hiperaktif. Mirip dengan ayahnya Sukarto si raja pembanyol. Mata, senyum, dan bibir yang dimiliki ibunda Sri Rejeki ada padanya. Bedanya, bibir Rindi lebih tipis tapi sama nyigar jambé.
“Galih, kowé yo maen apik, tapi kurang greget. Suk menèh yèn maèn ojo kesusu, yoh... ” Eyang mulai mengalihkan pandang ke arah Galih.
Berlawanan dengan Rindi, Galih adalah laki-laki pendiam dan pemalu. Pelit sekali ia bicara. Hanya “Ya atau tidak” ucapannya itu. Ia seperti gong, kalau tak dipukul tak berbunyi.
Ada yang sama dari mereka, keduanya anak semata wayang. Galih, anak dari Tarjono dan istrinya Sumirah. Galih lebih menguasai sifat ayahnya yang sangat pasif. Ia masih mengenyam pendidikan SMA kelas tiga, dua tingkat di atas Rindi. Namun keduanya sama teladan.
“Dara-Dira, kalian harus lebih hafal skenarionya biar ga lupa. Eyang, banyak liat ekspresi kalian tadi kayaknya kebingungan. Takut salah lah, sepertinya kalian ragu-ragu dalam memainkan sebuah lakon. Kita boleh gugup, tapi kalau di atas panggung kita harus pandai memalsukan raut wajah kita agar orang lain tak tahu kalau kita lagi gugup. Paham?” Eyang menasehati si kembar. Wajar saja mereka bermain tak bagus karena memang masih anak ingusan. Mereka duduk di bangku SMP kelas dua. Anak dari Wardi dan Minah ini tergolong sedang-sedang saja. Tak pintar, bodoh juga tidak. Dara dengan sifat feminimnya, Dira si tomboy yang super duber cuek. Meski kembar namun mereka berlainan karakter. Tapi soal wajah, mungkin orang sulit membedakannya. Bak pinang dibelah dua.
Capai berkomentar dan memang tenaga Eyang beserta awak ketoprak mulai menyusut, mereka mengobati rasa kantuk yang menyerang. Suasana malam makin dingin tapi di dalam tobong kedinginan bisa ditepis. Panggung kini telah ditutup. Namun di sekeliling trotoar lapangan sayup-sayup terdengar orang ngobrol. Malam kian larut, seluruh penghuni tobong telah tidur pulas. Masing-masing dibuai mimpi indah. Karena mimpilah yang mampu menerbangkan mereka dalam kemewahan dunia.

*

Pagi masih temaram. Di atas, langit terhias rembulan dengan tarian bintang-bintang. Udara pagi menyapu lembut, merayap ke pori-pori awak tobong. Sejuk dan segar, laksana udara di puncak gunung. Lampu jalanan menyinar terang. Di stasiun terlihat ramai penumpang datang dan pergi. Warung remang-remang di trotoar lapangan PJKA, nampak masih tertutup rapat. Supir taksi, angkot dan tukang becak berjejer di depan pintu stasiun menanti penumpang.
.......................................................................
.......................................................................
.......................................................................
.......................................................................
.......................................................................
....................................................................... ( PUJI-PUJIAN)

Adzan subuh menggema di tiap toa masjid dan mushola. Waktu shalat telah tiba. Seluruh awak tobong terjaga dari mimpi. Mereka bergegas mengambil air wudlu. Sembari menunggu giliran shalat, Darmini dan Juminah merebus air untuk menyajikan teh ataupun kopi. Juminah menanak nasi dan memasak. Dicucinya beras dalam wadah dan segera direbus. Di kompor sebelah, sebuah ceret mengepulkan asap tanda air masak sudah. Darmini mengangkat ceret dan menuangnnya ke dalam teko. Diseduhnya teh dalam mug dan diberi gula terus diaduk. Sebuah mug besar berisi kopi untuk Eyang Sudarjo. Juminah memindahkan nasi setengah matang ke dalam dandang. Kompor satunya di taruh wajan dan Darmini mengulek sambal untuk campuran telor. Hari ini mereka sarapan telor ceplok pedas. Hmm....nikmat! Maknyus!
Angin lembut pagi terasa menusuk pori-pori kulit. Sekarang giliran para ibu melaksanakan shalat.
------------------------------------------------------------------- ( CERITA RYO )
Aku dan Eyang Sudarjo seperti hari-hari biasa jogging di sekitar area Taman Poci setelah shalat, sebelum berangkat sekolah. Bagi kami menghirup udara pagi adalah suatu momen yang tak pantas dilewatkan karena tatkala maut mengetuk pintu, tak ada lagi udara segar dan keindahan panorama pagi, kecuali di dalam surga. Disela-sela lari, dengan guyon rasa capai akan musnah kadang-kadang saling curhat untuk mengusir rasa boring.
“Piyé sekolahmu, ndok?” Kaki rapuh Eyang mulai terasa mengganggu. Sejenak kami duduk santai di bawah pohon palm.
“Apik-apik waé, Yang” tanganku meraih handuk kecil yang sedari tadi menggendong di pundak. Butiran keringat mulai menampakkan diri.
Dari arah berlawanan, seorang cowok memperhatikan gerak-gerik mereka penuh seksama. Tubuhnya kekar. Rupanya cowok itu baru saja lari pagi. Matanya terus menatap tajam ke arah kami. Tanpa ragu, dia menghampiri. Disapanya Eyang dan aku dengan santun. Kemudian duduk di sampingku. Aku merasa tak kenal cowok itu, buru-buru menggeser duduknya mendekati Eyang.
“Pagi, habis jogging juga ya?” sapanya. Tak ku jawab, cuma menatap penuh keanehan. Sedang Eyang menggangguk dan tersenyum.
Sembari tersenyum, cowok itu menyapa ramah, “Kalo gak salah kamu yang semalam main ketoprak di sana kan?” telunjuk kanannya mengarah lapangan PJKA. Aku dan Eyang saling bertatapan. Tapi kemudian Eyang tersenyum kembali.
“Ko Adek tahu? Semalam nonton juga ya?” Eyang balik tanya.
“Iya Kek, saya memang suka kesenian Jawa. Salah satunya pementasan ketoprak. Tapi eh....ngomong-ngomong, kamu semalam mainnya cukup bagus dan memikat. Sebagai tokoh Loro Jonggrang, boleh dibilang kamu berhasil memainkannya. Ya .... selamat buat kamu” Dia mencoba berakrab-akrab dan memuji. Aku masih juga jual mahal, malah sibuk menghapus keringat.
“Sok kenal banget sih nih orang!” kataku membatin.
Pagi terus merangkak, detik demi detik. Di jalanan, orang-orang berlalu-lalang. Ada yang menggunakan motor, sepeda dan becak. Kebanyakan dari mereka, anak sekolah. Di stasiun terlihat ramai orang yang menanti datangnya kereta. Di sekitar lapangan PJKA, pintu warung remang-remang mulai terbuka.
“Maaf ya, kamu itu siapa? Aku gak kenal kamu. Tolong sebutin nama kamu” Aku membuka suara. Terdengar ketus. Sebuah cubitan di tangan Enyang, mengagetkanku.
“Jangan galak gitu sama orang. Ndak baik” bisik Eyang sambil mendekatkan mulutnya padaku. Cowok itu tersenyum, seolah mengetahui apa yang dikatakan Eyang.
“Kenapa senyum-senyum gitu? Ada yang lucu?” masih saja aku bersikap judes.
“Oh ya maaf. Namaku Ryo, sekolah di SMA Smart School kelas tiga IPA1” Tatapan mataku makin tajam, mendengar cowok itu menyebut nama sekolah yang sama dengan sekolahku.
“Kenapa? Ada yang salah aku omongin?”
“Oh gak, gak ada yang salah” Kututupi rasa heran dan kaget.
“Smart School, berarti satu sekolah dengan cucu-cucu saya. Kenal Galih?” Eyang malah menyatakan apa yang selama ini menjadi momok bagiku.
“Oh, Galih yang anaknya pendiam dan pinter itu, Kek?”
“Yo bener tenan”
“Cucu Kakek yang sekolah di sana siapa lagi?”
“Yo iki, tapi masih kelas satu. Rindi, Rindi Swastika panjangnya” Kini giliran aku yang mencubit tangan Eyang. Eyang malah tersenyum.
“Hai Rin, seneng bisa kenal sama kamu” ucap Ryo sembari menjulurkan tangan tanda perkenalan.
“Oh ya sama. Sori ya, udah siang. Aku harus berkemas-kemas ke sekolah” Aku bangkit dan menggandeng tangan Eyang.
“Boleh aku tahu rumahmu? Kapan-kapan kita bisa berangkat bersama”
“Eem...mmm...kapan-kapan aku kasih tahu”
Sampai di tobong, Aku tersentak. Handuk kecilku ketinggalan di Taman Poci. “Tuhan, handukku ketinggalan” batinnya.


***
Di taman, Ryo menggenggam erat handuk Rindi. Ia tersenyum puas. “Yes!” nalurinya girang berseru.
Situasi Taman Poci mulai ramai. Lalulalang antarkendaraan tak tertahan lagi. Mereka bergegas memburu waktu ke sekolah, kantor atau pasar. Bahkan tidak hanya di Taman Poci, di tempat lain pun sama padatnya. Demi waktu.

*

Aktivitas dalam tobong mulai ribut. Para wanita sibuk di dapur, sedang yang laki-laki menonton berita pagi di teve. Anak-anak pun tak kalah sibuk. Dara dan Dira, rebutan kaos kaki. Galih yang sarapan dengan gaya leletnya serta Rindi yang kalang kabut mencari buku Matematika.
“Aduh...gara-gara Eyang ngobrol sama cowok nyebelin itu sih, aku jadi keteteran gini. Buku Matematikaku mana sih?” teriak Rindi membuat seisi tobong kaget dibuatnya.
“Ada apa Rin, gak usah pake teriak begitu dong” kata Sumirah ibu Galih. Rindi tak menggubris teguran itu, ia asik dan serius mencari buku Matematika. Saat Rindi membalikkan tubuh untuk menuju kamar, kaget bukan kepalang. Ia mengira ada hantu dibelakangnya.
“Astaghfirullah......” ucap Rindi. Galih memang seperti itu. Mengangetkan. Membuat jantung orang mau copot.
“Maaf, tadi malem pas kamu udah tidur aku pinjem buku ini. Aku mo ijin tapi kamu kayaknya kecapean. Makasih...” ucap Galih sambil menyodorkan buku bersampul coklat bertuliskan:
Matematika
Rindi Swastika
Kelas X 3
Hati Rindi segera tenang. “Huh....” Rindi menatap Galih dengan raut pucat. Sementara Galih menginggalkan Rindi dengan cuek. Melihat Galih pergi, ia teringat cowok aneh yang ditemui di Taman Poci dan ternyata dia itu kakak kelas sekaligus teman Galih. Tangan Rindi meraih Galih.
“Galih...” sapa Rindi menggantung. Galih menengok dan menunggu kelanjutan ucapan Rindi. Namun tak kunjung bersua dan akhirnya Galih berkata, “Ada apa?”
Hati Rindi bergejolak antara bertanya tentang cowok itu atau tidak. Bingung, bimbang. Wajah Galih masih cuek. Rindi terbengong dan ragu. Melamun.
“Ada apa, Rin?” tanya Galih lagi. Rindi masih asik dengan lamunan. Baru setelah tangan Galih meraih bahu, Rindi tersadar.
“Ada apa panggil aku?”
“Eh... emang tadi aku panggil kamu ya? Lupa mo ngomong apa”
Galih berlalu mendengar jawaban Rindi. Pikiran Rindi kembali digayuti tentang handuk kecil. Ia mencoba mengingat terakhir memegang handuk. Nihil. Yang dia ingat justru wajah Ryo, cowok aneh yang dia jumpai di Taman Poci.
“Tadi aku pulang gak bawa apa-apa. Apa ya yang ...” mulut Rindi terus berkomat-kamit layaknya dukun. Jari manisnya memukul lembut pelipis kanan.
“Ndok, udah siang nanti kamu terlambat. Rono mangkat” sebuah suara dikeluarkan ibu Rindi. Kaget. Ibu berlalu meninggalkan Rindi.
“Bu, apa ibu lihat handuk kecil yang biasa aku pakai jogging?” tanya Rindi penuh harap. Ibu bengong dan melamun sekejap. Lantas menggeleng pasti. Tubuh Rindi melemas. Kecewa, atas kecerobohannya. Dibantingnya tubuh lemas itu pada sebuah kursi reot.
“Apa mungkin kebawa sama cowok aneh itu ya? Ah! Gak mungkin!” batinnya berdialog. Ibu menyadari apa yang dilakukan Rindi. Dengan suara agak lantang ia mengingatkan.
“Loh kok malah duduk lagi, sana berangkat! Terlambat baru tahu rasa kamu”
Rindi tersenyum kecut, bangkit dan bergegas mencium tangan ibunya. Sambil berjalan, Rindi menengok jam dinding. Pukul tujuh kurang lima belas menit. Matanya membelalak kaget. Rupanya ucapan sang ibu benar. Diambilnya langkah seribu mengejar waktu. Begitu berharganya waktu.
Rindi baru ingat, pelajaran pertama adalah Matematika. Gawat jika dia terlambat. Sebuah soal super sulit akan menguras pikiran. Ya, itulah syarat yang harus dipenuhi agar bisa mengikuti pelajaran. Ditambah rasa malu ditertawakan teman jika ia terlambat.

*

Di sekolah, untung masih memihak pada Rindi. Ia tiba tepat bel bernyanyi. Seketika itu murid-murid bergegas masuk kelas. Koridor lengang. Begitu pula Rindi, masuk kelas X 3. Teman yang lain segera meraih kursi. Rindi mengatur nafas, tubuhnya disandaran di kursi. Terengah-engah. Keringat mengucur perlahan. Diluruskannya kaki yang sedari tadi berlari.
“Kesiangan lagi ya?” tanya Esa teman sebangku Rindi. Rindi hanya mengangguk saja. Esa teman pertama Rindi sejak masuk sekolah itu, hingga menjadi sahabat setia yang senantiasa mendukung profesi Rindi sebagai pemain ketoprak. Pada Esa-lah Rindi berbagi kisah hidup sebagai anak tobong.
Esa, gadis manis berlesung pipi, berambut pendek, dan bertubuh proposional. Anak pemilik tambak dari Kota Tegal itu, selalu tampil sederhana. Tak pernah membanggakan harta orang tua. Beda jauh dengan kedua kakaknya yang sombong dan judes. Ya, mereka bertiga perempuan semua. Ayahnya orang yang ramah, tapi ibunya sedikit neko-neko. Otak Esa tak terlalu encer, hanya khusus pelajaran Bahasa Inggris dan matematika saja yang mahir. Tak heran setelah lulus SMA nanti ia akan ke London untuk melanjutkan studynya. Esa pulalah yang sering menjadi macomblang bagi cowok yang naksir Rindi.
Memang, Rindi terlalu cantik untuk ukuran cewek Tegal. Perfect. Hanya saja Rindi tak begitu memperdulikan masa remaja yang identik dengan pacaran. Tak penting dan gak ada gunanya! Begitulah jawaban Rindi setiapkali ditanya soal pacaran.
“Lihat PR Mat-mu dong?” Rindi selalu ingin mencocokkan hasil jawabannya dengan Esa, tiapkali ada PR matematika.
“Belum ngerjain ya?” Esa mengeluarkan buku bersampul kertas kado biru, warna favoritnya.
“Udah, cuma gak yakin aja sama jawaban sendiri”
“Oh ...”
Rindi memutar bola matanya ke kanan dan kiri. Memastikan apa jawabannya sama dengan Esa?
“Sama kok” lanjut Esa lebih cermat.
Bu Seni, guru Matematika masuk kelas. Duduk dan meminta ketua kelas menyiapkan. Esa dan Rindi masih asik mencocokkan.
“Sa, gurunya udah dateng” sebuah dorongan kursi keras dari arah belakang. Janis mengganggu keasyikan Esa dan Rindi. Duduk siap, berdo’a dan salam.
“Pertemuan kemarin saya kasih PR, coba keluarkan. Saya keliling periksa” Anak-anak yang ada celingukan mencari contekan, ada juga yang duduk tenang. Bu Seni tengah berdiri dan mengoreksi buku Shasi yang duduk tepat di depan Rindi.
“Teri, kamu maju nomer satu. Billi, kamu maju nomer dua. Dan, kamu Niken maju nomer seterusnya” perintah Bu Seni sembari telunjuk kanan mengarah pada tiga bocah itu.
Giliran Rindi dan Esa berdebar karena tengah dikoreksi. Di depan sana, Billi satu-satunya cowok yang berdiri sedang dua lainnya cewek. Teri dan Niken asik mengerjakan soal di papan tulis. Selang beberapa menit mereka kembali duduk. Rupanya Bu Seni memperhatikah tingkah Billi yang celingukan bertanya pada teman. Guru yang belum berumahtangga itu menghentikan kegiatan mengoreksi. Dihapirinya Billi.
“Kenapa kamu? Kok kebingungan begitu, belum mengerjakan?” mata Bu Seni menatap tajam tapi Billi malah balik menatap. Bu Seni geram.
Ya, Billi memang seperti itu. Kenakalan dan kebandelannya telah tersohor dilingkungan sekolah. Berulangkali di-skors dan merasakan wanginya jamban sekolah. Bahkan seminggu yang lalu, orang tuanya dipanggil dan diberi wejangan oleh kepala sekolah untuk lebih suntuk mendidik Billi. Dia tak terlahir dari keluarga pas-pasan. Ayahnya seorang dosen sebuah perguruan tinggi di Tegal. Ibunya bisnis berlian yang mengharuskan bolak-balik luar kota. Ia anak tunggal. Di rumahnya segala fasilitas tersedia. Dua orang pembantu setia meladeni Billi. Namun, ia lebih senang tak ada orang tua. Jika mereka berkumpul, tak ada komunikasi sama sekali. Malah adu mulut antara anak dan orang tua yang terjadi.
Suatu kali Pak Heri guru kesenian musik itu bertanya. Mengapa ia senakal itu? Billi hanya menjawab:
“Kalo sekarang malaikat akan mencabut nyawa saya, itu sangat menyenangkan. Dan lebih baik saya lahir dari keluarga pas-pasan daripada keluarga saat ini” Berulangkali dinasehatipun ia tetap bangor. Tak satupun orang yang sanggup mendidiknya. Dia hanya ingin hidup sendiri.
“Billi, kenapa kamu menatap saya seperti itu?! Kamu benci pelajaran saya atau benci saya?” Bu Seni meninggikan volume suaranya. Billi menunduk terpaksa. Ditatapnya sepetak demi sepetak lantai tempatnya berpijak. Dulu warnanya putih, kini keruh terinjak sepatu, kena debu dan sampah berserakan.
Semua murid terdiam. Menatap buku yang ada di meja. Hening. Di luar juga sepi. Kelas lain, tampak santai dan tenang. Hanya kelas Rindi saja yang tegang. Sepagi ini tak sepantasnya orang marah. Dan Billi yang pertama melakukan.
“Sekarang, cepat kamu ke luar kelas. Jangan masuk sampai pelajaran saya usai!” Bu Seni ambil tindakan. Tanpa ragu, Billi membuka pintu kelas dan ke luar. Entah ke mana. Ia berjalan lunglai seperti biasa, ketika harus rela ketinggalan pelajaran karena tak bisa mengerjakan soal. Disambanginya kantin. Sepi. Mak Sairoh pemilik kantin masih belanja. Di sambarnya kursi panjang untuk rebahan. Perlahan matanya menyipit. Makin sipit. Dan kini menutup rapat. Pikirannya menerawang jauh masa kecil. Masa dimana dia merasakan dunia indah. Kini dunia indah itu menghilang, jauh dari angan.
Di kelas, Bu Seni melanjutkan kembali pelajaran yang sempat terpotong iklan.
“Rindi, coba kamu kerjakan soal yang belum dikerjakan Billi. Fahri, kamu soal setelah Niken. Dani, kamu melanjutkan soal selanjutnya” ketiga bocah segera menuju papan tulis. Diselesaikannya soal itu sangat gampang. Empat jam berlalu, bel istirahat membuat pikiran mereka girang. Koridor seakan disulap menjadi pasar. Teriakan menggema memecah kehampaan.
Kantin. Mak Sairoh kewalahan melayani banyaknya permintaan. Semua minta didahulukan. Menunggu, seolah menjadi hal yang menjengkelkan. Meski telah dibantu anak sulungnya Chece, tetap kerepotan itu tak mau menyingkir.
“Hei Bro, tidur mulu sih lo. Abis begadang lagi ya?” tanya Esa sembari menepuk kaki Billi. Billi terbangun. Dibukanya mata perlahan. Tiga orang didepannya ditatap bergantian. Rindi, Esa dan Hanif. Merekalah sahabat Billi. Mereka jualah yang tahu seluk beluk keluarga dan suasana hati Billi.
“Eh lo, ngagetin aja. Jamnya Mak Lampir udah abis ya?” begitulah julukan yang sengaja dibuat Billi bagi Bu Seni. Hampir tiap guru memiliki julukan yang aneh dan unik.
“Siapa lagi tuh Mak Lampir?” Esa tak memahami bahasa Billi.
“Ya itu guru Matematika” jawab Billi enteng.
“Jahat lo! Orang tua tuh, kualat loh” Rindi menimpali.
“Biarin suka-suka gue dong, mulut-mulut gue” Billi meraih es jeruk yang dipesan. Diteguknya minuman sarat vitamin C itu dengan cepat. Habis. Rindi, asik dengan gorengan tempe yang dicolek dengan saus. Esa, menyantap lahap lengko ala Mak Sairoh yang terkenal pedas. Hanif, menghayati tiap kunyahan permen karet dimulut.
“Bro, Minggu besok jogging bareng yuk?” tawaran Billi membuat temannya tersedak.
“What? Coba ulangi lagi, jogging? Lo belum bangun ya, ngigau lo” ledek Hanif yang disambut tawa kawannya.
“Ah lo, giliran gue ngajak diledekin. Ntar kalo gue ga mau, disorakin. Rese!” Billi pergi ngeloyor seraya meletakkan uang di meja untuk membayar minuman. Rindi dan Hanif hendak membayar makanan, tapi Esa mencegah.
“Jangan. Pake uang gue dulu deh” Esa menyodorkan uang lima ribuan pada Mak Sairoh. Hanif dan Rindi bergegas mengejar Billi yang tampaknya emosi.
“Eh Bro, kok sekarang jadi sensitif gitu sih? Santai lah, kita mau kok jogging Minggu nanti” ucapan Rindi melegakan hati Billi. Dari arah kejauhan Esa berlari menuju Billi CS.
“Jahat lo, masa gue ditinggal sendirian. Gak setia kawan!” Esa ngedumel. Sambil berjalan mereka terus mengobrol.
“Abis sih lo, bayar aja pake ngelirik Kak Galih” Hanif membuka rahasia. Spontan Esa mencubit lengan Hanif sekeras mungkin.
“Galih? Jadi ....” Rindi mengedipkan mata ke arah Esa.
“Udah dong, kan cuma ngefans aja. Gak marah kan lo?” Esa menunduk malu.
“Aneh deh lo! Ya gak mungkin lah gue marah, hak lo kali” Rindi rupanya mendukung saja. Kepala Esa menengadah ria.
“Jadi boleh nih gue kecengin sepupu lo?” suara Esa terdengar renyah.
“Ih ... genit amat sih lo!” Billi melirik tajam Esa yang masih kegirangan.
“Biarin. Tapi gue boleh kan?” Esa kembali menanyakan.
“Ya boleh lah. Asal lo siap aja dikacangin plus dijadiin kambing congek” Rindi menjawab dengan guyon.
“Ha ..... naksir kok patung hidup” Billi menimpali. Tawa terdengar riuh.
“Bodo! Yang penting pinter” Esa menjawab cuek.
“Minggu kita ngumpul di Taman Poci deket Rindi” Billi memerintah. Lantas mereka bergegas menuju kelas. Bel masuk telah berteriak lima menit yang lalu. Namun karena setelah ini pelajaran Kesenian, mereka tak perlu terburu-buru masuk. Koridor setengah sepi. Dari kelas X 2, tiba-tiba muncul sosok perempuan sedikit renta mengagetkan mereka. Bu Ndari, guru Bahasa Indonesia membuka pintu kelas dan membiarkan angin menerobos masuk.
“Eh kalian kok belum masuk kelas. Habis kemana hayo ...” sapa Bu Ndari. Guru yang malang karena ditinggal mati sang suami sebelum memberinya anak. Dia terbilang salah satu perempuan yang sangat ramah terhadap siapa saja. Termasuk murid-muridnya.
“Abis ke belakang Bu ...” Billi menjawab sekenannya.
“Ke belakang kok cewek-cowok, ngapain? Bilang aja habis ke kantin” rupanya Bu Ndari lebih cerdas dari mereka.
“Tahu aja sih Bu, kalo kita bohong...” Hanif mengaku.
“Kalian kan sudah langganan. Kalo terlambat pasti bilangnya ke belakang, gak ada alasan lain ya? Gak kreatif!” Bu Ndari mengejek. Di dalam kelas anak-anak ikut menertawakan mereka.
“Eh kalian jangan ikut ketawa! Udah kerjain tugas dari saya?” Bu Ndari mengingatkan. Sekarang giliran Billi CS yang balik menertawakan.
“Eh, eh ... kok ikut ketawa juga! Sana masuk kelas” perintah Bu Ndari. Mereka meninggalkan Bu Ndari, masuk kelas.
“Untung gurunya belum dateng ...” Esa mengelus dada. Buru-buru mereka duduk di bangku masing-masing.
Di luar lengang. Tak ada guru maupun murid berlalu lalang. Sesekali terdengar suara-suara dari kelas lain. Kadang gertakan guru yang sedang marah. Tapi ada juga kelas yang hening, rupanya sedang ulangan.


*

Di kelas XII IPA 1, guru Agama menjelaskan tata cara shalat gerhana yang akan dipakai untuk praktek. Serius, semua siswa mendengarkan dengan seksama. Maklumlah, shalat yang satu ini namanya saja baru menyelusup dalam telinga. Galih lebih serius lagi, dia terlihat mencatat semua omongan guru. Jemarinya lincah melukis tulisan berarti. Tapi dia tak sadar jika tengah diperhatikan seseorang. Ryo, malah asyik menatap kawan sejenisnya.
“Yo, napa sih lo? Dari tadi liatin Galih mulu, senyum-senyum sendiri lagi. Naksir lo sama dia?” Erwan teman sebangkunya mulai risih dengan tingkah Ryo.
“Ngaco lo! Lo kira gue hombreng! Sembarangan!” jawab Ryo sembari tangan kanan menjitak kepala Erwan. Ryo kembali melanjutkan aksi. Dilihatnya Galih dengan sesekali senyum sendiri.
“Nah lo aneh gitu. Napa sih lo?” sebuah pukulan kecil mendarat di pundak Ryo. Sambil terus memperhatikan Galih, ia berkata :
“Tau gak lo, si cupu n kutu buku itu punya sepupu yang cuantik....banget?”
“Dari mana lo tahu? Lo maen ke rumah dia ya?” Erwan penasaran. Sambil menepuk pundak Erwan, ia menjawab:
“Nah itu yang lagi gue cari, Bro! Alamat si cupu”
“Hah, lo mau temenan sama cupu itu? Pasaran geng kita turun drastis dong” Erwan tampak gelisah. Mulutnya menganga lebar.
“Bodo! Gue udah jatuh cinta saat pertama kali ketemu sama cewek itu” Pikiran Ryo menangkap flashback kejadian di Taman Poci.
“Basi lo! Dari jaman PKI lo selalu bilang gitu. Jatuh cinta pada pandangan pertama. Basi!” Ternyata suara Erwan terlalu menggelegar.
“Yang sudah bosan dengan pelajaran saya, silakan ke luar sekarang!” Pak Yusuf mulai tegas. Kelas makin hening. Ryo dan Erwan pun membisu.
Teng, teng, teng.....! Bel ganti pelajaran akhirnya berteriak. Pak Yusuf mengemas buku panduan dan mengucap salam. Ryo, Erwan dan siswa yang lain beraksi. Kelas ramai. Riuh, ricuh.
“Kali ini gue gak maen-maen, Bro. Dia beda dari cewek laen” Ryo mulai menggosip.
“Ah lo, semua cewek lo bilang beda. Tapi nyatanya sama, cuma lo maenin aja. Kayak bola!” Erwan membuka kamus rahasia sobatnya.
“Serius nih, Bro”
“Emang yang beda apanya sih? Matanya juling atau bisu mungkin? Bodinya kayak gitar Spanyol kali. Mungkin juga pahanya montok kayak Sarah Azhari? Boleh dicoba tuh” pikiran kotor Erwan mulai kumat.
“Ngeres aja sih lo! Jadi bedanya dia ... gak terkenal kayak mantan-mantan gue. Dia juga gak semurah mantan gue” Ryo membayangkan wajah Rindi. Erwan memperhatikan polah sobatnya dan teringat sesuatu.
“Masih sekolah, di mana?” Erwan mengorek-korek.
“Di sini”
Kelas makin tak teratur karena ketua kelas memberitahu kalau Pak Johny, guru Bahasa Jawa tak berkenan hadir. Beliau tengah rapat dinas. Ruangan makin tak terurus. Cewek-cewek sibuk dandan, menggosip, maen hape dan yang lainnya.
Yang cowok ngumpul sambil cerita tentang cewek mereka. Ada juga memilih ke kantin tak tahan dengan nyanyian perut yang kian meledak-ledak.
“Gila lo, Bro! Semua penduduk sekolah, sekaligus guru-guru juga udah pada tahu predikat lo, playboy tajir! Gue yakin cewek itu juga tahu tentang lo. Dan pastinya lo gak bakal ngedapetin dia” ucapan Erwan sedikit membuat Ryo menciut. Sejenak ia terdiam dan menunduk.
“Gue gak peduli! Gue bakal buktiin ke dia kalo cinta gue tulus, bukan mainan. Gue mau insaf” Ryo optimis.
“Gue gak yakin lo berhasil. Mau lo jadiin bola ke berapa yang lo tendang. Mending lo cari cewek yang laen aja. Banyak kok cewek dari sekolah laen yang ngebet sama lo”
“Gak! Kalo dia ya tetep dia! Gak bisa diganti-ganti gitu dong” Ryo sedikit emosi. Lantas ia membuka resleting tas. Mengambil sebuah handuk kecil berwarna pink. Digenggam erat, dan perlahan diciumnya dengan mesra. Ia berkata lirih:
“Dengan ini gue bisa dapetin dia. Lihat aja, gue janji ma lo!”
“Gue pegang janji lo”
Ryo asik mencium handuk Rindi. Mungkin keringat Rindi laksana parfum surga. Erwan memandang tingkah sobatnya itu, aneh dan gila. Sebelumnya, Ryo tak pernah bertingkah seaneh ini. Ia kerap kali mempermainkan cewek. Baginya cewek seperti mainan yoyo. Bisa ditarik dan diulur.

*

Dalam kelas Rindi, berlangsung pelajaran kesenian. Lima menit lalu, Pak Heri mengajar. Nampak keseriusan dari raut muka murid-murid. Tapi kadang juga, gelak tawa menggelegar membuat kelas di sebelahnya hilang konsentrasi.
Billi terlihat lebih santai menikmati pelajaran. Ya, ini pelajaran kesayangannya. Dari senilah dia bebas hidup dan dari Pak Heri, hidupnya menjadi berwarna-warni. Mungkin Pak Heri lebih pantas disebut orang tua angkat. Billi memang mempunyai impian menjadi rocker sejati. Tiap kali ada acara sekolah, tak pernah absen mengisi. Entah dengan bandnya atau dia sendiri yang tampil. Tapi belakangan diketahui, orang tuanya tak mendukung. Mereka lebih memilih Billi menjadi dokter atau pengacara. Tapi semua itu bukan dunianya di mana tempat Billi hidup. Baginya, ngeband adalah hidup. Tak heran antara dia dan orang tuanya bersitegang.
Rindi dan Esa terlihat tanpa beban. Mereka asik mengobrol. Kadangkala saling cubit. Bahkan juga serius. Begitulah mereka, terlihat akrab selalu. Ke mana-mana bersama. Di mana ada Rindi di situ ada Esa.
“Oya, sekolah akan mengadakan lomba teater antar kelas. Dari kelas satu sampai dua. Jurinya dari kelas tiga dan guru. Tiap kelas mengirim satu kelompok, berisi empat anak. Apa di kelas ini ada yang berbakat?” Pak Heri mengumumkan sesuatu. Kelas diam saling menatap. Rindi dan Esa masih sibuk mengobrol.
“Sa, sa, Esa ...” Hanif melempar sebuah gumpalan kertas ke arah Esa. Esa menengok. Dilihatnya Hanif berkomat kamit.
“Rindi, Rindi ...” Hanif menunjuk arah Rindi. Rindi kebingungan. Celingak-celinguk.
“Eh, eh tadi Pak Heri ngomong apaan sih?” tanya Esa pada teman yang duduk di belakang.
“Sekolah mau ngadain lomba teater. Apa di kelas ini ada yang bakat?” Yuri menjawab singkat. Spontan Esa berteriak kencang:
“Rindi, Pak. Dia jago banget maen teater, sering menang lomba” Sekarang pandangan seluruh penghuni kelas, tertuju pada Rindi dan Esa. Hanif dan Billi tersenyum puas.
“Eh maksud lo apa Rindi, Rindi.....” Rindi kalang kabut.
“Ia, lo kan ahli maen teater. Dan sekarang sekolah lagi ngadain lomba teater antar kelas. Gitu neng” bagai kilat Rindi menjawab :
“Ogah, Pak! Itu gak bener, saya gak bisa teater. Saya bisanya tidur, Esa yang jago maen teater”
“Gak, Pak. Saya gak bisa maen teater. Tapi kalo Rindi jago banget. Pasti menang” Kini Esa dan Rindi saling memukul dan ribut sendiri. Murid yang lain, hanya memandang lucu mereka.
“Udah, udah. Gak usah berantem gitu. Yang adil, kalian berdua yang ikut. Nanti tinggal cari dua personil lagi buat ikut lomba” Pak Heri bersikap bijak. Mulut Rindi dan Esa menganga. Mereka saling bertatapan.
“Pak, Pak, jangan kita dong. Yang lain aja” mereka memohon.
“Cari dua personil dan siapkan mental kalian. Ingat! Kalian membawa nama kelas” ujar Pak Heri.
Bel ganti pelajaran menggema lima belas menit yang lalu. Namun karena keasikan mengajar, Pak Heri lupa sekarang waktunya ganti pelajaran. Buru-buru ia mengucap salam dan belalu.

*

Tobong nampak sepi. Hanya Eyang sedang menonton teve berita kriminal, dengan segelas kopi dan sepiring pisang goreng. Ayah Rindi dan lainnya memburu rezeki sampingan. Ya! Selain berketoprak, mereka juga menyambung hidup sebagai tukang becak, kuli panggul di pasar, kuli panggul di pelabuhan dan ada yang menjadi tukang parkir. Mereka tak mungkin mengandalkan hidup pada dunia ketoprak. Karena memang, tontonan ketoprak itu kalah tren dengan hiburan lain.
Di pasar. Darmini dan Juminah sibuk berbelanja. Mereka terlihat tengah menawar harga sekilo cabe merah yang kini harganya melonjak tajam. Sesekali mereka pergi meninggalkan penjual, jika tawarannya tak disetujui. Tak jarang juga, membanding-bandingkan antara harga penjual satu dengan yang lain.
“Sekarang apa lagi yang belum dibeli, Dar?” tanya Juminah yang mulai kebingungan. Darmini mencoba mengingat keperluan dapur yang kosong.
“Opo ya, Jum. Aku ndak inget” pikiran Darmini buntu. Kini Juminah yang balik berpikir. Lama.
“Oya, ikan peda! Tadi Eyang bilang kepingin ikan peda” Darmini teringat pesan Eyang. Mereka lantas menyambangi ke sana. Tawar menawarpun tak terelakakan. Dengan harga Rp 3.000,00 mereka mendapat empat ekor ikan peda.
“Udah kebeli semua kan, Jum?” Dramini mengingatkan. Juminah lantas meneliti kembali belajaannya. Dan menjawab pasti: “Udah”
Mereka menuju tempat parkir, mengambil sepeda butut. Satu-satunya alat stransportasi yang dimiliki keluarga ketoprak. Dan seperti biasanya, mereka bergantian mengayuh. Kini giliran Darmini, sedang Juminah kebagian memangku barang belanjaan di boncengan. Sesekali terdengar ocehan dari mulut mereka sebagai obat penghilang lelah. Hanya lima belas menit, mereka sampai di tobong.
Juminah memarkir sepedanya di belakang. Bergegas Darmini menuju dapur. Dicucinya belanjaan sayuran sup. Kemudian dipotong-potong kecil. Juminah menyusul Darmini ke dapur. Diraciknya bumbu-bumbu penyedap. Ada bawang merah yang dicincang halus sebagai pengharum masakan. Bawang putih, merica, dan garam ditumbuk halus. Sebelum diberi bumbu, sayuran direbus agar lunak. Kemudian racikan itu dicampur dengan rebusan sayuran. Terakhir taburkan bawang merah goreng. Siap santap!
Sekarang mengolah ikan peda. Juminah mencuci ikan dan dipotong seselera hati. Darmini memotong cabe hijau kemudian ditumis beserta bumbu lainnya. Selesai. Mereka kemudian bergabung bersama Eyang menonton teve.
“Masak opo kamu, Dar?” tanya Eyang sembari matanya tetap menatap teve.
“Sayur sup sama tumis ikan peda. Mau makan, Yang?” Darmini menawarkan. Eyang menjawab dengan gelengan.
“Masih kenyang, nanti tunggu anak-anak”
Darmini kembali melanjutkan acara menonton. Juminah menonton sembari menjahit pakaian yang bolong.

*

Bel tanda pulang telah berbunyi dua puluh menit lalu. Panas mentari tak terbendung lagi. Namun, Ryo dan Erwan masih betah di taman sekolah. Ups! Mereka tak hanya berdua, ada Galih di sana. Ryo berbicara sehalus mungkin, sedang Erwan nada mengancam. Dalam genggaman Ryo sebuah handuk kecil yang sangat dikenal Galih. Galih hanya menunduk takut.
“Eh Lih, rumah lo di mana sih? Gue boleh maen gak” Ryo berkata santai. Galih masih menunduk dan terdiam. Ingin berucap tapi takut. Entah apa yang ia takuti. Tak sabar menunggu jawaban Galih, Erwan menggertak:
“Eh lo tuli ato gak sih? Rumah lo di mana? Jawab cepet, gak pake lelet!” Buru-buru Ryo memukul bahu Erwan.
“Santai, Bro” Ryo menenangkan.
“Santai gimana maksud lo? Tinggal jawab aja lama banget, perut gue kelaperan nih” Erwan menjawab sinis.
“Ntar gue traktir makan deh abiz ini” ucapan Ryo ini sedikit membuat Erwan tenang. Ryo kembali melanjutkan pertanyaan yang setara. Dengan terbata-bata Galih menjawab.
“Di lapangan PJKA deket Taman Poci”
“Lo jangan bercanda dong, Bro. Itu kan lapangan, masa lo tinggal di lapangan? Emang lo gembel ya?” Erwan mengejek.
Ucapan Erwan, rupanya membuat hati Galih yang sensitif itu tersinggung. Ia melirik Erwan, sengit. Ryo dan Erwan saling bertatapan. Mereka tak mengira Galih bisa marah. Tanpa basa-basi, Galih meninggalkan mereka dan tak sepatah katapun terucap. Tatapan mata Galih membuat Ryo sadar dan segera menegur Erwan.
“Lo sih, Bro. Dia jadi marah kan? Gue kan, baru dapet dikit informasi”
“Eh Galih, jadi cowok itu jangan sensi. Cewek banget sih lo!” Erwan malah meneriakkan kata-kata yang membuat Galih menoleh dan kembali melirik tajam penuh kemarahan. Ryo bangkit dari bangku taman. Ia memalingkan tubuh Erwan dan berkata marah.
“Lo mau ngancurin usaha gue ya? Apa ini yang namanya temen? Di mana solidaritas lo yang dulu, saat gue butuh lo? Gue gak suka cara lo gitu!”
Ryo berjalan lebih cepat dan menjauh. Erwan mengejar dan kemudian mengakui tindakannya yang salah.
“Sori Bro, tadi gue kesel. Gue cuma gak bisa nahan emosi karena laper. Gue tetep sobat lo yang selalu bantui tiap lo butuh” kata Erwan sembari menepuk halus bahu Ryo. Hati Ryo luluh juga, ia menoleh dan berceloteh lembut:
“Lo tahu gue kan? Gue gak pernah segila ini jatuh hati sama seorang cewek! Dia beda, jadi kalo lo ngaku temen gue, tolong bantu gue dapetin dia. Gue ngerasa dia cewek yang selama ini gue idam-idamkan. Gue mau berubah karena cewek itu” Dengan senyum dan anggukan pasti, Erwan menjawab. Lantas ia menjitak kepala Ryo.
“Kok lo jadi lembek gini sama cewek. Gak asik lo ah”
“Biarin, yang penting gue bisa dapetin dia” cuek Ryo menjawab. Langkah mereka kembali sama.
Dengan rasa lapar yang semakin melilit, mereka mendatangi warung langganan “BAKSO PUAS”. Ryo menyetir motor jantannya dan Erwan diboncengan.

*

Rindi dan Eyang asyik menyantap masakan sambil menikmati acara teve. Bukan hanya mereka saja yang tengah mengisi perut, Dara-Dira juga ada di sana. Suasana tobong jadi berubah ramai dengan senda-gurau Dara-Dira. Tiba-tiba Rindi teringat lomba teater yang bakal diadakan di sekolah. Rindi pun minta pendapat pada Eyang.
“Yang, di sekolah ngadaian lomba teater antar kelas. Tiap kelas wakilin empat orang, terus aku disuruh ikut. Aku ndak yakin bisa maen. Aku kan pemula,” Pelan-pelan Eyang menelan makanan, lantas diteguk segelas air teh. Baru menjawab pertanyaan Rindi.
“Ndak opo-opo. Ikut saja, ndak usah mikir menang atau kalah. Yang namanya lomba mesti ono sing menang lan kalah. Sing penting kuwi, énthuk pengalaman. Urip kudu belajar, nèk ora belajar kapan ngerti?”
“Tapi aku ndak yakin bisa, Eyang”
“Loh, kemarin kamu bisa maen ketoprak. Kuwi podho waé maen teater. Hasilnya lumayan, berarti kamu punya talenta. Eyang ndak suka sama orang yang ndak percaya sama kemampuan awaké dèwé. Mencoba itu ndak ada salahnya” ucapan Eyang membuat kepercayaan diri Rindi bangkit. Kembali ia menyantap makanan. Sesekali matanya melihat acara teve.

*


Galih pulang dengan ekspresi muram. Kata-kata Erwan masih mengiang segar dalam ingatan. Sungguh menyakitkan. Rindi menatap Galih terheran-heran. Belum pernah dia melihat Galih ngambek seperti itu. Dibantingnya tas di kasur dan melempar tubuh dengan memeluk bantalguling, erat-erat.
Di daun pintu, Eyang berdiri menatap aneh tingkah Galih. Sama seperti Rindi, Eyang pun tak pernah melihat sang cucu bertingkah. Didekatinya Galih.
“Ono opo ndok? Kamu ndak biasa seperti ini. Coba cerita sama Eyang, mungkin bisa melegakan pikiran dan hatimu” Dibelai rambut Galih. Eyang paham benar sifat semua cucu kesayangannya.
Wajah Galih masih tertutup bantal, dia menggeleng. Tangan tua Eyang terus membelai rambut Galih.
“Ndak baik membohongi diri sendiri, nanti jadi stres loh....” Galih tak menggubris nasihat Eyang. Ia tetap menutup rapat wajah. Terdengar sesenggukan.
“Yo wis, nangis waé bèn puas. Baru cerita nanti sama Eyang” ditinggal sendiri Galih sekarang. Tirai pintu digeser menutup. Rindi langsung menyerbu Eyang. Dengan gelengan, Rindi paham maksud Eyang.
Rindi bergegas menuju kamar. Hatinya gundah gulana menangkap tingkah aneh Galih. Baru kali ini ia melihat langsung air mata Galih. Tak mungkin dia menangis tanpa sebab.
“Pasti ada sebabnya. Tapi apa ya?” hati Rindi bertanya-tanya. Ingin rasanya menemui Galih, tapi keadaannya lagi down. Rindi duduk di tepi kasur. Rasa penasaran mendalam. Otaknya berusaha mencari jawab. Perasaannya menduga-duga. Mata yang mengantuk menjadi terbelalak tajam. Tak ambil pikir, didekati kamar Galih. Dia lihat Galih duduk melamun. Entah apa yang ada dalam benaknya.
“Assalamu’alaikum.....Galih. Sori ganggu” suara Rindi membuyarkan lamunan Galih.
“Waalaikum salam. Ada apa?” wajah Galih masih menunduk.
“Tumben, pulang sekolah kok kamu nangis. Curhat dong”
“Ndak apa-apa. Cuma lagi pingin aja”
“Nangis kok kepingin, aneh kamu ini” Galih masih tak mau berbagi cerita. Dipandangnya paras Rindi sejenak lantas acuh.
“Yo, wis. Aku cuma khawatir aja sama kamu, kirain ada yang jahilin kamu” Rindi berjalan meninggalkan ruang kamar yang terlihat rapi itu.
“Oya, Rin. Kamu dapet salam dari Ryo temen sekelasku” ucapan Galih menghentikan langkah Rindi. “Siapa? Ryo? Yang kaya apa ya. Perasaan, aku gak kenal deh. Kamu boong ya?”
“Ryo si playboy itu”
Deg ... Rindi terdiam. Ia teringat peristiwa di sebuah pagi. Saat jogging bersama Eyang. Handuk kecil yang hampir terlupakan itu, kembali teringat. Sejenak Rindi seperti melamun. Juga bingung.
“Rin, salam balik gak? Kok malah ngelamun” Galih mengagetkan. Rindi tersenyum bingung.
“Gak usah. Aku gak kenal dia kok. Bilang sama dia ya? Jangan suka sok kenal”
Rindi berlalu dari kamar. Batinnya kesal. Sekarang sedikit tahu penyebab Galih menangis. Tapi pikiran itu, ia sanggah sendiri.
“Kalau cuma nitip salam, kan dia gak perlu nangis. Emm .... Ah tahu ah ...!”
Rindi bergegas menuju kamar dan rebahan di kasur, melepas lelah. Sekaligus redakan pikir dari hal yang memusingkan. Kamar Rindi tepat disamping ruang teve. Sayup-sayup didengarnya suara Eyang menyanyikan lagu Jawa kuno. Dan karena suara Eyanglah ia tertidur pulas.

*

Tiit, tiit, tiit ..... Mang Tarjo tukang kebun Esa, berlari menuju gerbang. Sebentar kemudian gerbang terbuka, Esa memasukkan motor dalam bagasi. Dibukanya pintu rumah pelan-pelan. Di meja makan, ibu dan Rere kakak keduanya sedang menikmati makan siang. Esa tak melirik sedikit pun. Ia bergegas menuju kamar. Bisik-bisik aduan Rere terdengar :
“Lihat tuh Bu, ada orang tua kok gak kasih salam. Mana sopan santunya?” Langkah Esa terhenti. Kupingnya ingin mendengar aduan sang kakak jelas lagi. Tanpa menoleh.
“Esa, dari mana kamu? Kok jam segini baru pulang” ibu memanggil. Esa menghampiri meja makan.
“Coba ibu lihat jam dinding, pukul 13.30. Dari pertama masuk SMA Esa selalu pulang jam segitu, bu” jawab Esa sedikit ketus, matanya melirik tajam ke arah Rere. Lantas, kembali menuju kamar. Ibu dan Rere melanjutkan makan disertai ocehan tak bermakna.
Dikeluarkannya kunci kamar dari dalam saku rok OSIS. Esa selalu membawa kunci kamar ke mana saja pergi. Kakaknya hobi sekali mengobrak-abrik kamar. Itu alasannya. Tas dan sepatu warna pink mulai dilucuti. Ia kemudian rebahan di kasur. Lelahnya sedikit berkurang. Otot-otot yang tegang kini mengendor. Santai. Mata belo Esa mulai menyipit. Terpejam.
Kreekkkkk ..... tiba-tiba pintu kamar Esa terbuka.
“Esa! Kalo mau tidur itu seragam dilepas dulu. Dasar jorok!” lengkingan suara Rere mengagetkan. Dengan tangan terlipat di dada, Rere memandang adiknya jijik. Mata belo Esa, kembali bersinar. Esa murka, istirahatnya terganggu. Tanpa berpikir, ia berucap. “Brengsek lo!”
“Apa?! Sopan dong lo, lihat siapa yang lo ajak omong. Omongan lo makin gak berpendidikan aja ya?” Rere tersinggung dengan ucapan itu. Esa bangkit dari kasur. Didorongnya Rere dengan tenaga penuh. Rere terjatuh. Matanya melolot.
“Gak berpendidikan? Ngaca dong lo. Lo pikir, lo pinter gitu? Masuk kamar orang tanpa permisi, tanpa salam? Itu namanya berpendidikan? Maen ngebangunin orang tidur seenak lo! Denger ya, gue emang adek lo, tapi bukan berarti gue bakal ngalah. Gak bakal!” suara Esa terdengar kasar.
Bentakan Esa rupanya terdengar ketelinga sang ibu. Wanita yang masih terlihat muda itu, menuju sumber keributan.
“Apa-apaan kalian?! Sudah besar bertengkar terus, gak malu sama tetangga? Kamu lagi, Rere ngapain jongkok di bawah?” tangan ibu terulur membantu Rere bangun.
“Itu, tu Esa tadi dorong aku sampai jatuh. Padahal aku cuma mau pinjem tas warna birunya” Rere mengadu. Mata Esa masih melotot tajam. Didorong lagi tubuh Rere.
“Maksud lo apa? Jangan suka muter balikin fakta gitu deh! Kalo lo pinjemnya sopan, gue juga bakal sopan ke lo. Nah lo masuk kamar gue aja gak ketuk pintu, udah gitu teriak-teriak lagi. Lo kan tahu gue lagi istirahat”
Ibunya menahan agar tubuh Rere tak jatuh lagi.
“Udah, udah. Esa, kamu hormat sedikit sama kakakmu ...” belum selesai ibunya berceramah, Esa memotong :
“Ciiihh! Hormat sama dia? Gak perlu, selama dia gak bisa hormat sama adiknya. Najis!”
“Esa! Ibu gak suka omongan kamu. Gimana pun dia tetap kakakmu. Sekarang ibu gak mau tahu alasannya. Kalian harus salaman” pinta wanita bertubuh mungil itu. Kesabaran ibu hampir habis menanggapi tingkah ketiga buah hati. Untung Kirana, kakak pertama Esa, tengah melanjutkan sekolah di Jogja. Jika mereka berkumpul, dunia seakan kiamat. Mereka masih terdiam. Gengsi.
“Esa, cepet minta maaf sama kakakmu” sekali lagi ibu mereka meminta. Esa keukeuh. Matanya hanya melirik Rere. Rere pun demikian. Mereka tak menggubris perintah ibu.
“Cepat!” ibu mulai berteriak. Tangan kanan Rere terulur. Esa menyambut. Meski mata mereka masih menyimpan kemarahan. Setelah itu, mereka berpisah. Esa kembali istirahat dan Rere ke luar dari kamar. Ibu menggeleng. Lantas ke luar kamar sembari menutup pintu.

*

Panas mentari masih setia menyengat. Kicauan burung yang seolah tak pernah letih makin riuh. Bumi Pertiwi yang subur, kini berpetak-petak. Sudah tiga bulan kemarau mendera. Sungai-sungai kering, petani padi beralih menanam tebu, singkong serta ubi rambat. Kadang pula mereka beralih menjadi tukang becak atau kuli. Itu semua mereka lakukan agar dapur tetap mengepul. Burung-burung pun demikian sulit mencari mangsa. Ya, sungai kering itu berarti sebangsa unggas kelaparan. Biasanya mereka memangsa ikan di sungai-sungai. Sekarang, hanya menghisap nektar bunga-bunga.
Dua jejaka berboncengan menuju sebuah rumah elite di kawasan griya sentosa. Salah satu dari mereka turun di depan rumah bercat hijau. Rumah Erwan. Mereka terlihat berbincang sejenak. Sang penghuni rumah, membuka pagar setelah kawannya pergi. Ia berjalan menyusuri taman yang terlihat asri. Dipencetnya bel rumah. Bibik penjaga rumah membukakan. Lantas ia pun masuk.

*

Di tempat terpisah Ryo tengah menikmati hidangan makan siang. Ada sayur sup, ayam bakar bumbu balado, tempe-tahu goreng, sambal, buah dan tak lupa jus jeruk kesukaanya. Rumah Ryo tak terpaut jauh dengan Erwan, satu kompleks. Tak heran mereka sangat akrab. Orang tua merekapun tak kalah akrab. Ayah Ryo pimpinan dari sebuah tabloid kota. Ibunya pengelola restoran yang didirikan empat tahun lalu. Sejak dua tahun lalu, ibu Erwan berinvestasi di restoran tersebut. Kelengketan dua keluarga ini sangat kental.
Usai makan Ryo berjalan menuju kamar. Di dalamnya seperangkat alat band tersedia. Sebuah laptop, telepon rumah serta berjejer miniatur Naruto kesukaannya. Hobinya ngeband sejak kecil, entah berapa syair lagu yang ia tulis dan disimpan dalam laptop. Semua itu dilakukan saat senggang waktu. Baru saja ia membuka pintu, matanya langsung melirik ke arah drum. Disambanginya drum sembari tersenyum girang. Dalam batin berkata: “ Bentar lagi lo bakal jadi milik gue ...” Ups! Ryo tak akan bermain drum. Hanya orang gila yang bermain drum saat panas siang seperti ini. Pelan sekali ia mendudukkan pantat di kursi. Lalu ditariklah handuk kecil berwarna pink yang tersampirkan. Terdengar gemerincing kecil simbal karena tersentuh. Digenggam erat lalu dibawa pergi. Dibantingnya tubuh di kasur dan membayangkan peristiwa di Taman Poci. Matanya terpejam sembari menyimpulkan senyum riang. Dicium mesra handuk itu. Matanya kembali menyala. Punggung dan kepalanya terangkat. Tring ....!! Kepalanya mengangguk pasti. Rencana telah disusun rapi. Apalagi kalau tidak untuk mendapatkan sang pujaan hati. Direbahkan lagi tubuhnya berotot itu dengan tangan masih menggenggam handuk. Sekali lagi matanya terpejam. Pulas.


*


Angin sore mulai menyapa. Panas siang nan menyengat sedikit berkurang. Meski masih menyilaukan mata. Nyanyian burung agak berkurang. Keramaian mulai tampak di Taman Poci, begitu pula di dalam tobong. Mereka sibuk gladi resik. Para ibu tengah menyapu panggung pementasan. Lelaki yang tak ikut bermain sibuk mendekorasi panggung sesuai cerita yang akan ditampilkan. Dalam tobong, Rindi sibuk membuat ...... yang terbuat dari ........


(belum Selesai)

KETERANGAN GAMBAR:

Ken Ayu Laras Queena adik mbontotku








Tidak ada komentar: