Kamis, 23 Oktober 2008

PENGHARGAAN SENI




9 Nominator dan 6 Penerima Penghargaan Seni

Semula kami mencantumkan 12 bakal calon nominator, setelah disaring melalui rapat pengurus harian dengan cara seobyektif mungkin akhirnya dikerucutkan menjadi 9 nama yang kemudian diserahkan kepada tim verifikasi untuk ditentukan sesuai kuota yang ada.

PENGHARGAAN Pemerintah Kota Tegal kepada seniman melalui Dewan Kesenian Tegal (DKT) merupakan langkah positif sekaligus bukti bahwa kepemimpinan Adi Winarso sangat peduli terhadap jerih lelah para seniman dengan kreativitasnya. Hal itu dikatakan Sekretaris DKT, HM. Enthieh Mudakir kepada NP, Rabu (15/10).
“Melalui penghargaan ini beliau telah menciptakan sejarahnya. Diharapkan prakarsa ini akan menjadi program tahunan,” kata Enthieh. Dijelaskannya, meskipun penghargaan ini diberikan Pemkot namun teknisnya perekrutannya diserahkan sepenuhnya kepada DKT.
“Semula kami mencantumkan 12 bakal calon nominator, setelah disaring melalui rapat pengurus harian dengan cara seobyektif mungkin akhirnya dikerucutkan menjadi 9 nama yang kemudian diserahkan kepada tim verifikasi untuk ditentukan sesuai kuota yang ada,” papar Enthieh. Kesembilan nominator itu, Piek Ardijanto (alm.), Wuryanto (alm.) SN Ratmana, Sulaiman Dito, Ki dalang Sardjono, Nurhidayat Poso, Yono Daryono, H Tambari dan Lanang Setiawan. Di bawah ini sekelumit tentang biografi mereka termasuk dalam kolom Lipstik.

Nurhidayat Poso (NP)
Sekelumit lintasan jejak berkesenian seorang guru SD ini, NP tidak sebatas teritorial daerahnya, melainkan hingga tingkat nasional bahkan international. Lahir di Tegal 5 Mei 1960. Kegelisahan yang selalu bergulat dalam jiwanya, karena menderunya kerinduan terhadap gerak maju jagad kesenian di Tegal. Peran gandanya sebagai sutradara teater, aktor, penyair dan cerpenis merupakan kerangka kreativitas mewujudkan idealismenya.
Tahun 1979 ia mendirikan Teater Puber. Ikut mendirikan Studi Group Sastra dan Teater Tegal (SGST) tahun 1981. Mendirikan Forum Dialog Budaya Tegal (FDBT) tahun 1992. Turut menerbitkan Majalah PESISIR tahun 1997. Ia menyutradarai lakon di antaranya: Antigone karya Sopochles dan lain-lain. Lakon drama yang ditulisnya: Abracadabra: ‘Roro Ireng’ (Pemenang penulisan lakon Jawa Tengah). Cerpennya dimuat di sejumlah media regional, nasional dan luar negeri. Cerpennya yang dimuat di majalah Horison berjudul ‘Sintren Randu Alas’ dijadikan naskah drama dan disutradarainya dengan judul ‘The Sintren of Randu Alas’ dengan transkrip Heather Curnow dimainkan para aktor Australia, dipertunjukan pada Top End Writers Festival, satu Vestival penulis kelas dunia yang diadakan di Darwin, Australia. Buku kumpulan cerpennya ‘Semar Panggang’ dan ‘Gerundelan Wong Tegal’. Selain membangun jaringan budaya, NP juga melakukan perjalanan budaya di Australia. Tahun 2007 NP memperoleh penghargaan nasional dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata yang diserahkan oleh Menteri Jero Wacik.

Yono Daryono (YD)
YD lahir di Tegal 25 Maret 1955. YD berkecimpung di dunia sastra sejak kelas 2 SMA lewat karya berupa sajak. Seiring proses kreativitas YD menulis artikel dan cerpen. Karyanya bertebar di sejumlah media cetak nasional seperti Majalah Gadis, Kartini, Suara Karya, Mutiara, Merdeka, Suara Merdeka, Wawasan dan majalah Sastra Horison. Sebagai dramawan YD banyak menulis naskah drama serta termasuk salah seorang pendiri Teater RSPD. Selain sebagai penyiar radio juga pernah menjadi Koresponden RCTI. Sebagai pemimpin teater RSPD, YD banyak menggarap lakon drama, dipentaskan di Tegal, Purwokerto, Semarang, Cirebon, Jakarta, dan Padang Sumatra Barat (1986). Menjadi sutradara terbaik tingkat Jawa Tengah (1986). Selain sastra dan teater YD juga merambah dunia sinematografi. Bahkan menjadi peran utama serta masuk nominator Peran Utama Pria Terbaik tahun 1995 lewat sinetron Jejak Sang Guru karya sutradara Imam Tantowi. Penulis naskah dan sutradara drama Sunan Panggung.

Lanang Setiawan (LS)
Lelaki kerempeng kelahiran Tegal, 26 Nopember, LS ini sepanjang perjalanan kesenimanannya terdokumentasi secara rinci melaui karya-karyanya. Tahun 1994 ia menulis buku ‘Jalan Panjang Teater dan Sastra Tegal’. Melalui buku itu peristiwa kesenian di Tegal periode antara tahun 50-an hingga 1993 menjadi literatur yang menambah khasanah referensi. LS merupakan pekerja seni yang pertama kali melahirkan kembali adanya Koran Tegal, Kontak, Porem, Literasi hingga tabloid Tegal Tegal, setelah dari kurun waktu antara tahun 1960 hingga 1993. LS pun getol mengentaskan bahasa Tegalan ke dalam media komunikasi terpandang dan representatif. Seperti mengangkat bahasa tegalan lewat penerjemahan sajak penyair Indonesia yang dihimpun dalam buku ROA. Melalui gebrakan ini baik kalangan penyair dan lainnya maupun media massa menjadi terkuak keberaniannya menyandang serta mempublikasikan bahasa Tegalan. Karya lainnya, menulis dan mencipta lagu-lagu Tegalan, naskah sandiwara Tegalan berjudul ‘Tegal Bledugan’, ‘Wangsalan Tegalan’. Buku lain ‘Kamus Tegal’, ‘Mantu Poci (Cerita-cerita Rakyat Tegal), serta penulis naskah sandiwara Guyon Tegalan dan naskah drama ‘Surti Gandrung’, ‘Ken Angrok Gugat’, ‘Ni Ratu’ serta ‘Lenggaong’ serta kumpulan puisi Tegalan ‘Nggayuh’.
Kecuali itu LS menulis anehdotegalan di Nirmala Post setiap hari, sudah dua tahun dan sampai kini masih menulis kolom itu. Serta banyak karya LS yang sarat dengan sajian dan rasa khas Tegalan dan mendirikan Teater Swadesi. Dia adalah juga menjadi anggota Teater Puber. Beberapa kali menyelenggarakan acara baca puisi Tegalan sampai Walikota Tegal Adi Winarso dan Bupati Tegal Agus Riyanto ‘diadu’ dalam acara Maca Puisi Tegalan plus Ketua/anggota DPRD Kota Tegal turut serta dalam acara tersebut bersama sejumlah para tokoh seniman Kota Tegal. Setelah itu, Bupati Tegal Agus Riyanto diusung Maca Puisi Tegalan di Warung Apresiasi Bulungan dengan membacakan puisi WS rendra berjudul ‘Nyanyian Angsa‘ yang telah diterjemahkan oleh LS menjadi ‘Tembangan Banyak’ yang cukup menggemparkan jagat perpuisian di tahun 1994 lalu. Sajak tersebut terdokumentasi dalam kumpulan Sajak Terjemahan Tegalan ROA nKZ /berbagai sumber

Piek
PIEK Ardijanto Soeprijadi (alm), penyair yang pernah bertugas sebagai Kepala SMU Negeri Grogol di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Piek Ardijanto Soeprijadi dilahirkan di Magetan, Jawa Timur, 12 Agustus 1929. Sejumlah karyanya antara lain: Burung-burung di Ladang (1983), Percakapan Cucu dengan Neneknya (1983), Desaku Sayang (1983), Lagu Bening dari Rawa Pening (1984) mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K Menyambut Hari Sumpah Pemuda, Lelaki di Pinggang Bukit (1984), Nelayan dan Laut (1995), Biarkan Angin Itu (1996). Selain itu, karyanya dimuat pula dalam antologi Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968) H.B. Jassin (ed), Tonggak 2 (1987; Linus Suryadi AG)

SN Ratmana
Lahir di Kuningan 6 Maret 1936, SN Ratmana mulai menulis sejak di SMA-B di Pekalongan. Karya derpennya tersebar di Majalah Kisah, Sastra, Horison, Kompas, Suara Merdeka dan lain-lain. Kumpulan cerpennya berjudul ‘Sungai, Suara dan Luka’, ‘Soetji Menulis di Balik Papan Tulis’ dan lain-lain. Novelnya ‘Sedimen Senja’ dan ‘Ketika Tembok Runtuh, Bedil Bicara’.
Ratmana masuk di Tegal tahun 1961 dan menjadi guru SMA Negeri 1, salah satu pendiri HSST (Himpunan Studi Sastra dan Teater) Tegal dan dua kali menjadi sutradara ‘Surat Kepada Gubernur’ dan ‘Pinangan’. Pernah menjabat Kepala SMA di Subah, terakhir di SMA Negeri Pangkah, Kabupaten Tegal.







Wuryanto
Lahir di Tegal 12 Desember 1927. Ia mulai menulis cerpen sejak tahun 1951. Karyanya dimuat di majalah “nasional” Jakarta, “Membimbing” Jakarta, “Mimbanr Indonesia” Jakarta, “Sinar Harapan” Jakarta, “Minggu Ini” Semarang, “Pikiran Rakyat” edisi Cirebon, “Suara Meredeka” dan karya puisi Tegalannya terantologi dalam buku “Ruwat Desa”. Dalam dasa warsa tahun 1950-an ia menggunakan nama samaran Atto S Ananda. Mulai tahun 1960-an menggunakan nama asli. Kecuali menulis cerpen ia juga menulis drama panggung dan naskah sandiwara radio. Salah satu naskah sandiwara radionya berjudul “Hatinya Sedalam Laut” disiarkan oleh RRI Studio Jakarta tahun 1959.Bapak dari Eko Tunas ini pun menulis berita atau artikel dan reportase tentang kegiatan kesenian dan lain-lain. Berita yang ditulisnya tentang penangkapan Letkol Untung gembong G30S/PKI di daerahTegal berjudul “Sang Gembong Tak Berdaya Menghadapi Kepungan Rakyat” dimuat di surat kabar Lembaran “Banteng Loreng”. Berita ditulis secara kronologis ini sempat dikutip oleh beberapa surat kabar nasional. Ia banyak juga menulis dan mengupas sajak-sajak Tegalan di “Muara Sastra”, “Kontak”, “Porem”, “Literasi” dan Jurnal TEGAL TEGAL serta tabloid TEGAL TEGAL yang kesemuanya terbitan Kota Tegal. Wuryanto termasuk salah satu pendiri Lembaran “Banteng Loreng” dan Senidrama “Tunas” tahun 1950-an.

R. Suleman Dito RS
Pelukis yang satu ini lahir di Grobogan, 4 Januari 1946, R Suleman Dito RS alias Dito sejak tahun 1965 menetap di Tegal. Jenjang pendidikan SD hingga SLTA ditempuh di Semarang. Pernah kuliah di UI bagian Paspal di Bandung setahun. Kuliah jurusan Arsitektur di ITB tiga tahun. Setelah drop out lalu tekuni dunia seni lukis dan desainer.
“Saya cenderung pada lukisan beraliran natural ke kanak-kanakan,” kata Dito kepada NP, Rabu (14/10) di sanggarnya.
Pernah pameran lukisan di Tegal, Slawi dan Semarang. Karyanya dikoleksi di sebuah universitas di Australia. Tahun 1980 – 1990 sebagai desainer reklame di Jakarta. Karya monumentalnya, melukis tokoh Ki Gede Sebayu. Mendesain tiga monument seperti tugu Tentara Pelajar di pertigaan Jalan Soepomo, tugu Pancasila di pertigaan timur Alun Alun Kota Tegal dan tugu di pertigaan Tirus .

S Sardjono
Kakek dari lima cucu kelahiran tahun 1950. Sejak di bangku SR hingga tamat dari SLTP di Adiwerna suka seni karawitan dan wayang. “Cita-cita masa kecil saya ingin menjadi dalang yang dapat mengharumkan nama baik bagi orang tua dan daerah kelairan,” kata Sardjono kepada NP, Rabu (15/10) di rumahnya. Tanpa mengenyam pendidikan sekolah pedalangan, tapi tekun belajar kepada dalang Darto. Empatb tahun merguru pada Ki Dalang Suharjo. Mendalang wayang golek pertama pada tahun 1972 di Slerok. Tahun 1982 menjadi duta seni Tegal di TMII, berlanjut hingga lima kali. Pernah mendalang di Semarang, di RRI Purwokerto tiga kali. Ikut kegiatan apresiasi wayang langka dan meraih juara I dalang penyaji terbaik. “Sebagai dalang harus mampu menghayati karakter tokoh wayang yang dimainkan. Jangan asal gebrak,” pesannya

Tambari Gustam
Lahir di Tegal 18 Oktober 1964. Lelaki yang jago humor ini, selain mahir baca puisi, dia getol melancarkan aksi demo saat reformasi. Antologi pantunnya terhimpun dalam buku Pantun Warteg. Salah satu pendiri “Kiret” (Komite Reformasi Tegal) ini juga telah menerbitkan 3 buah buku komik masing-masing berjudul Selamatkan Aku, Jeritan Si Ikan Laut dalam bahasa Tegalan, dan ketiga Selamatkan Pantai Muarareja. Buku yang lain Guyong Gustam, Jangan Tunggu Rakyat Bergerak, Misteri di Balik Masjid Kalisoka, dan Capung Maling. Tokoh yang satu ini termasuk paling gerah dan geram ketika melihat ketimpangan social. Pendiri tabloid Muara Pos.

Seperti diketahui, dari 9 Nominator itu akhirnya yang kemudian berhak menerima Penghargaan Seni dari Kota Tegal adalah Piek Ardijanto Soeprijadi (alm), SN Ratmana, Suleman Dito, S. Sardjono, Lanang Setiawan dan Yono Daryono. Pemberian penghargaan itu berlangsung pada Minggu (19/20) di Anjungan Jawa Tengah Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Tim verifikasi terdiri dari Lowok Legowo, Sisdiono ahmad dan HM. Iqbal.








KETERANGAN GAMBAR



Walikota Tegal Adi Winarso tengah memberikan trofi Penghargaan Seni kepada Lanang Setiawan.

Minggu, 12 Oktober 2008

Novel KEN RATU


Jejak Anak Tobong

di Kota Poci

Novel Karya: Ken Ratu



Mengenang
PAGI sekali aku terjaga. Sengaja kulakukan agar dapat menyapa mentari yang bersinar cantik. Benar, sinar nilanya membuatku kagum. Kulangkahkan kaki menapaki taman. Kuhadapkan badan menantang cahaya surya. Masih basah dedaunan. Embun. Aku suka embun. Karenanya aku selalu bersyukur masih diberi waktu untuk menikmatinya lagi. Warna hijau pupus menyejukkan kalbu. Semilir angin pagi sempat membekukan tubuhku. Bumi pijakanku sekarang terlalu lembab. Gerimis mengguyur semalam. Kicauan burung yang bersender di batang pepohonan seolah mendendangkan nyanyian pagi. Hmm ... kutarik nafas perlahan-lahan. Lantas kurentangkan tangan dan berkata lirih: “Aku kangen sekali ...” Rambutku yang terurai digoyang indah oleh sang angin. Kuhirup hawa pagi nan segar. Kukosongkan pikiran. Enteng.
Lima belas menit sudah kunikmati pagi di Rabu. Sebuah tangan menepuk pundakku. Kaget. Kepalaku menoleh. Seorang wanita manis berwajah bersih itu tersenyum dan mengingatkanku: “Katanya mau jalan-jalan, yuk?” Hanya anggukan yang kuberikan. Kurasa Ceta paham. Ceta Nirvana Anggriani, teman satu kostku. Mahasiswa Sastra nun jauh di London, Inggris sana. Hendak menggarap skripsi tentang Kota Poci termasuk sejarahnya.
Kukenakan sandal gapit. Aku berjalan mendahuluinya. Maklumlah aku lebih paham jalanan. Mungkin karena terlalu pagi, tak kutemui kesibukan penduduk. Sepi. Untuk penelitian pertamanya, kukenalkan Ceta dengan Taman Poci. Jari telunjukku mengarah pada patunng poci.
“Patung Poci ini ciri khas Kota Tegal. Ukurannya delapan meter. Di depan mulut poci itu ada patung gelas lengkap dengan kolamnya. Waktu masih baru, poci itu memancurkan air ke dalam gelas. Tapi sekarang, ... udah gak. Oya! Warga Tegal biasa menyebutnya Taman Poci” Ceta mencatat apa yang kuterangkan dalam sebuah buku note imut. Aku berjalan meninggalkan Ceta. Duduk di tepi trotoar. Kutatap sekeliling, banyak yang berubah. Kulihat Ceta meraba relief patung itu.
“Taman kok sepi sih, Rin?” Ceta bertanya tapi tak kunjung mendapat jawaban. Celingukan ia mencari kawan. Sadarlah ia telah ditinggal sendirian.
Aku tersenyum sendiri. Melamun. Aku teringat peristiwa di suatu pagi. Kusanggahkan dagu di atas telapak tangan. Betapa manisnya kenangan itu. Tak mungkin terlupakan.
“Hei ... senyum-senyum sendiri. Gila kamu ya?” suara Ceta membuyarkan kenanganku.
“Ah kamu, udah selesai liat-liatnya?”
“Rin, katanya taman, kok sepi banget sih?” Ia duduk disampingku.
“Siapa bilang, kalau pagi emang sepi. Tapi jangan tanya kalau sore n malem, rame banget. Ada orang jual makanan, mainan. Ada miniatur unta, gajah, jerapah yang bisa digunakan buat ngelilingi taman ini”
“Oh ...”
“Eh by the way kenapa tadi kamu senyum-senyum sendiri. Liat cowok ganteng ya?” Ceta masih penasaran.
“Hus! Ngawur banget sih kamu. Aku cuma inget kejadian dulu waktu tinggal di sini”
“Oya, kayaknya menarik nih. Cerita dong?” Bola mataku menerawang masa lalu. (CERITA TENTANG RYO )

Panas mentari mulai menyengat saat aku usai bercerita. Hiruk pikuk mulai terlihat. Semua itu tak membuatku dan Ceta bangkit dari Taman Poci. Masih banyak lokasi yang akan aku kenalkan padanya.
“Oh so sweet ...”
“Jadi hari itu, hari pertama aku kenal cowok”
“Saat itu kamu udah main ketoprak ya?”
“Semalam, sebelum peristiwa pagi itu, juga pertama kali aku beraniin diri main ketoprak. Biasanya aku gak main”
“Kamu main di mana?”
“Di situ, di lapangan PJKA” telunjuk kananku mengarah pada lapangan.
“Mana?” celingukan Ceta mencari lapangan.
“Di balik bangunan-bangunan itu loh. Mau ke sana?”
“Boleh”
Kugandeng Ceta menyebrang. Kulewati lorong sempit untuk menyambangi lapangan. Hamparan rumput hijau subur tumbuh. Di sini angin terasa lebih kencang. Kuikat rambut dengan pita karet yang kutemukan disaku celana. Ceta menatap sekeliling. Matanya menyipit karena silau sinar matahari. Tak ada orang di sana.







TRAK! Tak, tak, tak ...ning nong ning gung! Ning nong ning......!!
Suara gamelan bertalu-talu di malam berpayungkan awan. Angin pesisir pantai Tegal merayap menampar daun-daun, bertamasya membuat rerumputan di sekitar lapangan PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) seolah menari seirama suara gamelan yang berderap dari sebuah pertunjukan ketoprak. Ya! Di lapangan PJKA Tegal itu, bangunan tobong ketoprak Langgeng Budoyo dari Jawa Timur telah berdiri dua bulan lalu.
Bangunan tobong itu terbuat dari separo gedek bambu, triplek dan seng-seng bekas. Di dalam tobong itu berpetak-petak ruangan dibikin di kolong panggung pementasan. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu berukuran 2 x 1 meter, tingginya sebatas dada orang dewasa atau kurang dari 2 meter. Sudah pasti ruang yang mirip kandang ayam itu tak cukup orang dewasa berdiri kecuali duduk, merunduk atau merangkak, barulah orang bisa masuk ke dalam petak yang berfungsi sebagai tempat istirahat. Di sinilah para pemeran ketoprak membuang rasa lelah. Jika orang lain kedinginan saat musim hujan, maka tidaklah bagi penghuni tobong. Mereka justru merasakan kehangatan.
Angin malam bertambah dingin. Tampak wanita-wanita berpakaian seksi berdiri di depan warung remang-remang yang berderet di sebelah timur tobong. Warung-warung itu sebenarnya jika pagi hari dimanfaatkan sebagai sarana jualan jajanan ringan. Sebaliknya jika senja merayap mendekati malam, lokasi ini beralih fungsi. Bukan toko jajanan melainkan tempat transaksi seks dari para pelacur ‘selawé rubuh’ alias pelacur kelas teri. Biasanya, setelah transaksi itu terjadi, mereka tinggal berjalan beberapa langkah menuju stasiun kereta api untuk melepas hasrat purba di dalam gerbong atau di kebun-kebun mawar, dengan hanya menggunakan alas koran atau tikar.
Di sebelah utara lapangan PJKA, berdiri patung poci, ciri khas warga Tegal yang lumayan besar dengan ukuran delapan meter. Di depan mulut poci, ada patung gelas lengkap dengan kolam kecil. Warga Tegal menyebutnya Taman Poci. Di taman itu, penuh beragam mainan anak-anak seperti; mandi bola, kereta api mini, kereta unta, gajah, jerapah dan sederet mainan lucu nan unik yang biasa digunakan anak-anak berkeliling seputar taman.
Tepat di depan taman berdiri kokoh bangunan Gedung Biro bekas kantor bengkel PJKA dan Pangkalan Militer Jepang. Di gedung ini pula sejarah mencatat pengibaran bendera merah putih pertama kali yang dilakukan oleh Rahmat, karyawan bengkel perkereta apian. Peristiwa itu terjadi tanggal 6 September 1945. Bangunan itu, sekarang beralih fungsi sebagai perguruan tinggi Universitas Pancasakti dan SMA swasta. Di seberang universitas, ada pasar malam. Terdapat pula pasar burung yang hanya aktif pada sianghari. Mungkin karena situasinya ramai dan strategis itu, didirikan tobong ketoprak Langgeng Budoyo. Tontonan rakyat yang sering dianggap ‘konco melèk’ itu, sebenarnya memiliki jiwa kerakyatan dan salah satu aset budaya adiluhung yang menjadi kekuatan jati diri bangsa. Namun keberadaannya, kian tahun kian merana ditinggal penonton karena digerus budaya asing yang menggila serta lajunya perubahan zaman. Entah mengapa orang lebih gemar menonton televisi atau tontonan moderen lainnya daripada nonton ketoprak. Padahal ketoprak adalah tontonan murah meriah. Tak perlu merogoh kocek terlalu dalam untuk mendapat tontonan yang sarat nilai moral itu.
Suara gending terus berkumandang, dihembus angin. Selaras tembang pembuka merayap-rayap lembut, dipersembahkan bagi penonton setia yang menghargai seni ketoprak. Bukan lagu pop, rock, jazz atau sejenisnya yang kini lagi ngetrend dan merajai kancah musik. Akan tetapi sebuah tembang panembrono, sebuah irama macapatan yang sarat nilai kehidupan. Ini juga bukan sebuah pagelaran show ataupun venue, tetapi sebuah pagelaran yang mengangkat cerita-cerita legenda dan sebagainya. Ya! Inilah sebuah pertunjukan ketoprak! Pertunjukkan rakyat yang mencoba untuk tetap eksis di tengah gerusan peradaban moderen yang menggila.
Malam terus bergulir. Bulan berlayar di langit sana. Sinarnya bulat penuh. Karuan saja, hati Rindi Swastika berdetak, aliran darah kencang menderas membuat tubuhnya makin bergetar. Jari jemarinya seolah matirasa. Dalam benaknya berkeliaran kata-kata yang mungkin bisa dibilang skenario. Ia menatap seraut wajah yang hampir tak dikenal pada cermin sederhana. Ya, dia lah sang Loro Jonggrang si tokoh utama. Untuk kali pertama dan mungkin seterusnya, ia bergelut dalam dunia seni peran. Sekali pun ketoprak sudah berada di Tegal selama dua bulan, tapi baru ini kali Rindi berani menampakkan bakat seninya. Rindi bukan artis atau dramawati yang pandai bermain berbagai karakter. Ia hanya remaja yang mencoba memainkan sebuah lakon; suatu pergulatan nilai, atau simbol kehormatan dan harga diri seorang wanita. Dan Rindi, sebagai wanita tertarik pada cerita itu karena setelah ditelusuri, betapa murahnya wanita sekarang dan bahkan tak ada harganya. Tidak semuanya memang, tapi dominan. Lewat peran ini ia ingin menyuarakan untuk seluruh wanita di dunia agar membuka matahati terhadap pergeseran nilai dan pengaruh barat.
Semilir angin malam mulai menerobos celah-celah tobong. Hawanya yang dingin menjadi khas terdsendiri. Rindi masih meneliti lagi riasan dalam wajah. Sejeli mungkin ia torehkan gincu untuk mempertegas karakter wanita nan ayu. Kali pertama wajahnya kenal make-up. Awalnya terasa gatal, tapi lima menit kemudian rasa itu hilang dengan sendirinya. Tampil maksimal dan sebaik mungkin yang dia inginkan. Meski sebenarnya Rindi belum tahu apakah bakat seninya itu mengalir dari keturunan keluarga atau justru sama sekali tak setetes yang mengalir pada dirinya?
Agaknya, tak terkecuali, semua keluarganya adalah pecinta seni sejati. Eyang Sudarjo lah yang menularkan dan menurunkan pada semua darah dagingnya itu. Ketoprak, demikianlah kesenian yang telah berpuluh tahun menghidupi keluarga besarnya. Mungkin orang akan lebih mengenal ketoprak dengan tradisi buruknya; samen leven, narkoba, miras, judi dan segala bentuk kebiadaban lainnya.
“Dulu zaman Eyang masih pemula bergelut di dunia ketoprak, betul-betul kaget begitu tahu betapa durjananya pekerjaan yang Eyang tekuni. Tapi saat itu Eyang cuma ada dua pilihan; pertama, tetap dalam kenistaan. Kedua, mati kelaparan. Eyang tak punya pilihan lain karena saat itu zaman susah. Eyang tetap memilih bertahan di lingkungan ketoprak. Eyang pernah salah aliran dan tak pelak Eyang pun terjerembab dalam kubangan kenistaan. Eyang pernah dikenal sebagai seorang pemadat opium, penggila miras, jago main gaple, dan pelanggan tetap dunia perlontean. Itu semua telah menjadi makanan sehari-hari Eyang. Eyang sebenarnya sangat bosan tapi arep piyé menèh?” tutur Eyang Sudarjo dengan matanya yang masih menerawang jauh ke masa lalu, masa di mana ia merasa tak berguna dilahirkan, masa yang kini menjadi pelajaran hidup berharga.
“Oleh karena itu Eyang bertekad mengubah pandangan masyarakat yang masih negatif terhadap pelaku-pelaku ketoprak menjadi lebih mulia. Eyang ingin kalian sebagai generasi muda membantu Eyang mewujudkan cita-cita. Agar kelak nanti, kalian bisa memperkenalkan pada dunia luar kebudayaan bangsa kita, bangsa Indonesia. Eyang menyerahkan sepenuhnya ketoprak Langgeng Budoyo ini pada kalian. Kalian boleh mengemasnya dengan kreativitas sendiri. Yang penting ojo nylenèh”.
Begitulah suatu kali Eyang pernah menasehati semua anak cucunya. Di sela-sela celotehnya sesekali disembulnya asap rokok yang dihisapnya. Eyang memang perokok berat meski berulangkali sudah diingatkan kalau rokok itu bisa membunuh penikmatnya sendiri. Tapi ia tetap tak mau melewatkan hari-harinya tanpa rokok. Baginya rokok itu bak teman yang setia melengkapi hidupnya.
Anak Eyang berjumlah tiga. Dua laki-laki satu perempuan. Ia meminang Eyang Putri yang saat itu berprofesi sebagai pelacur. Naluri kelelakiannya bergetar menatap beningnya mata Eyang Putri, Darmini (alm). Dengan menjadi pelanggan setia, Eyang Putri akhirnya mengetahui asal-usul serta alasan yang melatar belakangi pekerjaan Eyang Sudarjo. Berlandaskan rasa cinta yang tulus dan belas kasih ia melamar Eyang Putri. Tak ada resepsi pernikahan mewah, hanya tasyakuran kecil sebagai ucapan terimakasih atas karunia Tuhan. Mahar yang dipersembahkan pun tak neko-neko hanya uang sejumlah Rp 10 ribu saja.
Di bawah panggung pementasan mungkin tepatnya, mereka menetap, di dalam kolong tobong ketoprak. Mungkin tempat sekecil itu lebih layak untuk kandang ayam saja. Orang dewasa sudah pasti tak dapat masuk seenak dengkul, harus dengan jongkok atau merangkak. Tapi apalah arti sebuah kamar, toh di dalamnya masih tersimpan berjuta kehangatan yang tak dapat ditemukan di tempat lain. Justru dari tempat semungil ini kehidupan baru akan dilalui. Hanya bilik pengap berdinding spanduk sim card hape dan beralaskan tanah itulah maka pemandangan akan selalu menemani mereka. Darmini bukanlah wanita matre seperti wanita kebanyakan. Ia tak menuntut banyak pada sang suami. Ia sadar siapa dirinya sebelum menikah dengan Eyang Sudarjo. Untung masih ada yang mau menerima apa adanya seorang pelacur kelas teri seperti dirinya. Meski penghasilan suaminya tak seberapa, ia jarang mengomel. Bayangkan saja penghasilan Eyang Sudarjo saat itu hanya Rp 3.000 setiap malam. Mungkin wanita lain akan nggerundel mendapat jatah harian secuil itu. Tidak demikian bagi Darmini. Buatnya hidup bersama Sudarjo adalah anugerah terbesar yang diterima.
Setahun mengarungi bahtera rumahtangga, mereka dianugerahi momongan berkelamin laki-laki. Kebahagiaan mereka makin bertambah. Meski tak munafik kebutuhan makin melonjak tragis. Namun keriangan tak tergantikan dengan apa pun. Tarjono, demikian anak itu diberi nama. Darmini merawat Tarjono alias Jono dengan kasih sayang dan tak ayal ia pun tumbuh menjadi laki-laki dewasa nan ganteng, meski sedikit hitam manis. Setahun setelah Jono dilahirkan Darmini melahirkan anak kedua, masih berjenis laki-laki. Diberilah nama Wardi. Ekonomi mereka makin porak-poranda namun lewat ketoprak segala serpihan kesusahan mulai tersapu. Dua tahun usia Wardi, Darmini melahirkan lagi seorang bayi mungil lucu nan jelita. Bulu matanya lentik, hidungnya mancung, bibirnya nyigar jambé. Kelahiran bayi kali ini membawa berkah tersendiri, oleh karenanya ia diberi nama Sri Rejeki. Pada saat itulah ketoprak meraup kejayaan yang tak tertandingi. Banyak order. Bahkan mereka sempat merasakan mewahnya Taman Ismail Marzuki. Saat itu mereka ditanggap Rp 10 juta. Dari uang inilah Darmini membuka usaha kecil-kecilan dan menyekolahkan anaknya. Meski harus sering berpindah-pindah sekolah karena pekerjaan orang tuanya. Buat mereka, sesusah apapun sekolah tetap terdepan. Mereka tak ingin anaknya dibawah ayah-ibunya.
Di masa inilah Sudarjo mendapat rekan baru untuk mengadu nasib di ketoprak. Ada Harjo yang semula loper koran, Kiran sang pemulung, Paijo jualan jangkrik dan Juminah yang mempunyai lembaran masa lalu persis seperti Darmini. Disini, mereka juga ikut merasakan penat dan lembabnya bilik tobong. Bersama Sudarjo dan Darmini, mereka membangun dan mempertahankan eksistensi ketoprak. Tak mudah memang. Sulit, terlalu sulit dan berbelit-belit. Persaingan dunia ketoprak makin ketat. Masing-masing grup ketoprak menunjukkan jati diri dan kreativitas berbeda. Di era kesulitan masih ada cinta di balik bilik tobong atau sekarang lebih tepatnya disebut cinlok alias cinta lokasi. Juminah dan Kiran akhirnya melangsungkan ijab kabul ala kadarnya. Dari sinilah kebiadaban dunia ketoprak nampak. Tambahan personil tak solid memperkeruh keadaan. Ratno sang tukang parkir, Baron tukang jual togel, Tarjo mantan pedagang ekstasi, Darno penjual miras dan Sabri pencicip pelacur. Tiap hari tak lengkap tanpa miras. Demikian pula dengan Sudarjo, ia ikut terseret arus sesat. Darmini pun lelah menasehati suaminya. Sekali pun sundal, Sudarjo tak pernah lupa dengan perannya sebagai ayah, ia tetap menyekolahkan anaknya.
Hari berganti justru makin parah kondisinya. Ada saja barang haram yang menelusup dalam tobong. Hingga Sudarjo serta rekan sejawatnya membuat sekat tersendiri untuk mereka mengkonsumsi kenikmatan penuh najis. Sering Darmini merasa tergganggu atas gelak tawa tanpa irama yang renyah mengganggu kegiatannya menidurkan anak.
Kesulitan sama juga dirasakan oleh Juminah yang saat itu baru saja melahirkan bayi laki-laki. Najis. Sering Darmini menjumpai suaminya sedang asyik menghisap ganja dan apalah temannya ganja itu. Ngenes. Tiba-tiba rasa sesal menyelubungi nuraninya. Lain Darmini lain pula Juminah, ia sering dipukuli sang suami ketika miras merampas akal sehat. Kedua wanita ini tak jarang menatap pemandangan rusak laki-laki itu. Ada-ada saja stok wanita penghibur di sana. Hal yang paling ditakuti Darmini adalah perkembangan otak dan daya pikir anaknya akan terganggu dengan keadaan sehina itu, sehingga ia selalu menidurkan anaknya sore hari sebelum kebrengsekan ayahnya diteropong langsung oleh si buah hati. Sebisa mungkin ia menutup rapat kejelekan ayahnya.
Lima tahun kemaksiatan menemani langkah ketoprak. And now, success coming again! Tuhan rupanya masih menginginkan ketoprak langgeng seperti title yang disandang ketoprak ini; Langgeng Budoyo. Untuk kedua kalinya ketoprak mengalami masa kejayaan, tak tanggung-tanggung dalam sehari mereka dapat tanggapan dua kali. Wow ...! Kemaksiatan itu makin berkurang. Bahkan kini Sudarjo dipercaya menjabat bos ketoprak. Ia menggaji karyawannya dengan adil. Sisanya untuk ia sisihkan demi masa depan cemerlang buah hati. Harapannya tak muluk-muluk. Ia hanya ingin penerusnya kelak mengemas ketoprak lain dari yang lain agar langgeng di hati penontonnya.

*

Ringkas cerita. Rindi akhirnya mampu menaklukkan rasa gugup dalam diri. Ia bermain sempurna. Sekarang ia sedang menunggu giliran masuk babak lagi. Di atas panggung, ada Galih yang berperan sebagai Bandung Bondowoso.
“Para punggawaku, siapakah wanita tercantik di dunia ini? Tunjukkan padaku dan akan segera kupinang saat ini juga” teriaknya keras di atas kursi sang raja. Sesekali matanya melirik tajam ke arah para punggawa. Sengit.
“Ampun Satria Prambanan, wanita tercantik saat ini adalah Loro Jonggrang,” jawab salah satu punggawa kepercayaan yang diperankan paman Kiran. Tangannya menyimpul sujud sembah. Ia menyembah tepat di bawah kaki Bandung Bondowoso.
“Loro Jonggrang...?” katanya mengerutkan kening. Masih dengan keburukan sifat dan raut wajahnya.
“Darimana ia?” tanya Bandung Bondowoso.
“Dari Desa Prambanan. Putri ayu sekar kedhaton!” jawab punggawa.
“Besok, aku ingin melamarnya! Siapkan segala sesuatu” begitulah watak Bandung Bondowoso, kejam, taktis, dan ingin segera selesai kemauannya.
“Baik, satria”
Musik gending memecah kesunyian. Loro Jonggrang, putri tunggal Prabu Bhaka tengah menghirup sejuknya udara pagi di Taman Prambanan sembari menyaksikan eloknya kabut di kaki gunung merapi. Gadis-gadis Prambanan baru saja selesai bersesaji pada Hyang Widhi Wasa. Wajah mereka sumringah. Tapi tiba-tiba saja mereka berlari ketakutan. Ada yang berlindung di balik batu candi dan menghadap Mahapatih Prambanan. Lelaki bertubuh sangar lagi kekar memasuki tahta kedhaton.
“Bandung Bandowoso bersama punggawanya datang ....” teriak salah satu gadis di hadapan Mahapati Prambanan.
“Mau apa dia ke sini ....” tanya Mahapatih Prambanan pada gadis itu.
“Aku ingin melamar Loro Jonggrang putri ayu sekar kedhaton! Suruh dia ke luar!”
Ternyata Bandung Bondowoso telah berada di belakang Mahapatih Prambanan. Perkelahianpun tak terelakkan. Loro Jonggrang memberanikan diri menghadap Bandung Bondowoso. Ia sadar bahwa kekuatan Bandung memang tak tertandingi. Dan ini membuka tabir kenyataan Loro Jonggrang, siapa sebenarnya satria yang ada di hadapannya. Dialah musuh bebuyutan selama ini. Mendiang ayahanda meninggal karena dibunuh Bandung Bondowoso. Dan dia tak ingin Mahapatih Prambanan bernasib sama dengan ayahanda.
“Wèelèh-wèlèh....ayu tenan kowé Loro Jonggrang” puji Bandung Bondowoso.Cairan hangat dalam mulut Loro Jonggrang seolah ingin ke luar.
“Cuih ...jangan mimpi kau mendapatkan cintaku!” ucapnya dengan nada tinggi. Dan Bandung hanya mengelap lembut ludah yang dianggapnya wewangian.
“Kau mau jaminan apa, manis?” tawar Bandung dengan nada lembut. Loro Jonggrang melirik sengit tanpa sepatah kata.
“Cepat! Jangan kau buat aku naik darah, Loro. Kau mau rumah dengan pelataran emas, atau kubuatkan istana semaumu?” Bandung mendekat dan mengelus mulus pipi Loro Jonggrang. Otak Loro Jonggrang kini berputar cepat mencari kekalahan Bandung Bondowoso.
“Kalau itu maumu, buatkan aku 1000 candi dalam waktu satu malam” muncullah keputusan dari mulut Loro Jonggrang.
“Ha ... ha ...ha.... hanya itu Loro, itu syarat termudah yang kuterima. Ingat! Jika aku mampu membuatkanmu 1000 candi, kau milikku selamanya. Hahaha ...” tawa Bandung terasa renyah dan remeh. Ia lantas meninggalkan Loro Jonggrang.
Irama tembang mulai disemaurkan. Sebagai pengiring sepeninggalnya Bandung Bondowoso.
Dalam hati Loro Jonggrang, bergelut kejengkelan tiada tara. Ia ingin sekali meremas mulut Bandung yamg congkak. Baginya lebih baik mati daripada harus menikah dengan laki-laki setamak Bandung. Otaknya kini diperas habis memikirkan bagaimana cara agar Bandung tak dapat memenuhi persyaratan itu. Ia hapal benar kejahatan apa yang sering dilakukan Bandung. Merampas paksa harta orang miskinlah, memancung orang tanpa salah, menikahi sejuta wanita lah, inilah, dan itulah. Hampir seantero kerajaan yang dipimpinnya tahu kepicikan Bandung. Oleh sebab itu dia tak ingin menambah deretan wanita malang seperti sebelumnya. Di antara kebingungan dan kepasrahan, Loro Jonggrang menitikkan air mata. Tapi siapalah dia, bukan orang sakti bukan pula orang berkelebihan. Ia hanya wanita pribumi yang berhati murni. Percuma juga kalau dia melarikan diri, Bandung bukanlah orang tolol. Dia pasti akan mencari sampai ke titik dunia terakhir untuk merealisasikan keinginan. Tring ...!
Di tengah kebingungannya itu, seorang gadis Prambanan mengabarkan sesuatu yang hampir membuatnya kalang kabut.
“Ampun, putri ayu Loro Jonggrang. Lihatlah di pelataran Prambanan telah berderet candi-candi yang berdiri tanpa melihatkan siapa yang membuat” Loro Jongrang membelalakkan mata, ia benar-benar tak menyangka. Rupanya Bandung Bondowoso telah membuat 999 candi, tinggal secandi lagi persyaratan itu dilalui. Loro Jonggrang segera bersiasat, membangunkan wanita-wanita Prambanan agar membakar timbunan jerami dan menabuh lesung. Seketika ayam-ayam berkokok dengan lantangnya, mengira cahaya dari api itu adalah cahaya sang surya. Bandung Bondowoso sontak kaget, dia mengira pagi telah datang. Loro Jonggrang menghampiri Bandung dan berkata:
“Waktunya telah usai dan kau tak dapat memenuhi persyaratanku. Oleh karenanya kau tak berhak memiliki aku” ucapnya seraya tersenyum puas. Di ufuk timur pagipun menjelang. Bandung sangat murka.
“Kau licik Loro Jonggrang! Kau tipu aku dengan cara murahan seperti ini. Pengkhianat!”
“Ha ha...kau pikir kau jujur? Candi yang kau buat itu bukan hasil jerih payahmu, tapi kau bersekutu dengan jin peliharaanmu, bukan? Aku benci dengan kepicikan dan ketamakanmu itu, Bandung!” teriak Loro Jonggrang tak kalah sengit.
“Bangsat kau Loro! Untuk memenuhi persyaratanmu itu, kukutuk kau melengkapi patung ke 1000 dan untuk kalian semua perawan Prambanan, kukutuk jadi perawan tua sampai ajal menjemput” Sinar mentari menyilaukan mata. Bandung Bondowoso tersungkur di bawah kaki Loro Jonggrang yang telah berubah menjadi patung. Seketika itu asap mengepul dari dasar panggung. Suara gending bergemuruh. Pementasan pun usai.

*

Usai pementasan, hati Rindi tenang. Riuh tepuk tangan penonton menandakan respon positif akan dirinya. Di dalam tobong, ia masih melamun tak percaya dengan sekian banyak acungan jempol yang diarahkan padanya. Eyang Sudarjo meminta para pemain kumpul di kamarnya. Kemudian ia mengevaluasi penampilan penerus ketoprak.
“Ndi, kamu tadi main bagus tenan. Sebenarnya Eyang tadi deg-degan takut kamu nda bisa maen apik. Tapi sekarang Eyang percaya kamu mampu meneruskan ketoprak dengan baik dan benar” jari telunjuk Eyang mengarah pada Rindi yang duduk senderan, sesekali kapas ditangannya menghapus sisa riasan.
“Iya donk, sopo ndhisik guruné, Eyang Sudarjo ...” celetuknya guyon disambut gelak tawa orang yang ada di samping mereka.
Memang, dia cucu Eyang Sudarjo paling menonjol dalam pendidikan. Sekarang ia masih duduk di bangku kelas satu SMA. Ucapan serta tindak tanduknya mengundang keceriaan. Ia bukan anak pendiam bahkan cenderung hiperaktif. Mirip dengan ayahnya Sukarto si raja pembanyol. Mata, senyum, dan bibir yang dimiliki ibunda Sri Rejeki ada padanya. Bedanya, bibir Rindi lebih tipis tapi sama nyigar jambé.
“Galih, kowé yo maen apik, tapi kurang greget. Suk menèh yèn maèn ojo kesusu, yoh... ” Eyang mulai mengalihkan pandang ke arah Galih.
Berlawanan dengan Rindi, Galih adalah laki-laki pendiam dan pemalu. Pelit sekali ia bicara. Hanya “Ya atau tidak” ucapannya itu. Ia seperti gong, kalau tak dipukul tak berbunyi.
Ada yang sama dari mereka, keduanya anak semata wayang. Galih, anak dari Tarjono dan istrinya Sumirah. Galih lebih menguasai sifat ayahnya yang sangat pasif. Ia masih mengenyam pendidikan SMA kelas tiga, dua tingkat di atas Rindi. Namun keduanya sama teladan.
“Dara-Dira, kalian harus lebih hafal skenarionya biar ga lupa. Eyang, banyak liat ekspresi kalian tadi kayaknya kebingungan. Takut salah lah, sepertinya kalian ragu-ragu dalam memainkan sebuah lakon. Kita boleh gugup, tapi kalau di atas panggung kita harus pandai memalsukan raut wajah kita agar orang lain tak tahu kalau kita lagi gugup. Paham?” Eyang menasehati si kembar. Wajar saja mereka bermain tak bagus karena memang masih anak ingusan. Mereka duduk di bangku SMP kelas dua. Anak dari Wardi dan Minah ini tergolong sedang-sedang saja. Tak pintar, bodoh juga tidak. Dara dengan sifat feminimnya, Dira si tomboy yang super duber cuek. Meski kembar namun mereka berlainan karakter. Tapi soal wajah, mungkin orang sulit membedakannya. Bak pinang dibelah dua.
Capai berkomentar dan memang tenaga Eyang beserta awak ketoprak mulai menyusut, mereka mengobati rasa kantuk yang menyerang. Suasana malam makin dingin tapi di dalam tobong kedinginan bisa ditepis. Panggung kini telah ditutup. Namun di sekeliling trotoar lapangan sayup-sayup terdengar orang ngobrol. Malam kian larut, seluruh penghuni tobong telah tidur pulas. Masing-masing dibuai mimpi indah. Karena mimpilah yang mampu menerbangkan mereka dalam kemewahan dunia.

*

Pagi masih temaram. Di atas, langit terhias rembulan dengan tarian bintang-bintang. Udara pagi menyapu lembut, merayap ke pori-pori awak tobong. Sejuk dan segar, laksana udara di puncak gunung. Lampu jalanan menyinar terang. Di stasiun terlihat ramai penumpang datang dan pergi. Warung remang-remang di trotoar lapangan PJKA, nampak masih tertutup rapat. Supir taksi, angkot dan tukang becak berjejer di depan pintu stasiun menanti penumpang.
.......................................................................
.......................................................................
.......................................................................
.......................................................................
.......................................................................
....................................................................... ( PUJI-PUJIAN)

Adzan subuh menggema di tiap toa masjid dan mushola. Waktu shalat telah tiba. Seluruh awak tobong terjaga dari mimpi. Mereka bergegas mengambil air wudlu. Sembari menunggu giliran shalat, Darmini dan Juminah merebus air untuk menyajikan teh ataupun kopi. Juminah menanak nasi dan memasak. Dicucinya beras dalam wadah dan segera direbus. Di kompor sebelah, sebuah ceret mengepulkan asap tanda air masak sudah. Darmini mengangkat ceret dan menuangnnya ke dalam teko. Diseduhnya teh dalam mug dan diberi gula terus diaduk. Sebuah mug besar berisi kopi untuk Eyang Sudarjo. Juminah memindahkan nasi setengah matang ke dalam dandang. Kompor satunya di taruh wajan dan Darmini mengulek sambal untuk campuran telor. Hari ini mereka sarapan telor ceplok pedas. Hmm....nikmat! Maknyus!
Angin lembut pagi terasa menusuk pori-pori kulit. Sekarang giliran para ibu melaksanakan shalat.
------------------------------------------------------------------- ( CERITA RYO )
Aku dan Eyang Sudarjo seperti hari-hari biasa jogging di sekitar area Taman Poci setelah shalat, sebelum berangkat sekolah. Bagi kami menghirup udara pagi adalah suatu momen yang tak pantas dilewatkan karena tatkala maut mengetuk pintu, tak ada lagi udara segar dan keindahan panorama pagi, kecuali di dalam surga. Disela-sela lari, dengan guyon rasa capai akan musnah kadang-kadang saling curhat untuk mengusir rasa boring.
“Piyé sekolahmu, ndok?” Kaki rapuh Eyang mulai terasa mengganggu. Sejenak kami duduk santai di bawah pohon palm.
“Apik-apik waé, Yang” tanganku meraih handuk kecil yang sedari tadi menggendong di pundak. Butiran keringat mulai menampakkan diri.
Dari arah berlawanan, seorang cowok memperhatikan gerak-gerik mereka penuh seksama. Tubuhnya kekar. Rupanya cowok itu baru saja lari pagi. Matanya terus menatap tajam ke arah kami. Tanpa ragu, dia menghampiri. Disapanya Eyang dan aku dengan santun. Kemudian duduk di sampingku. Aku merasa tak kenal cowok itu, buru-buru menggeser duduknya mendekati Eyang.
“Pagi, habis jogging juga ya?” sapanya. Tak ku jawab, cuma menatap penuh keanehan. Sedang Eyang menggangguk dan tersenyum.
Sembari tersenyum, cowok itu menyapa ramah, “Kalo gak salah kamu yang semalam main ketoprak di sana kan?” telunjuk kanannya mengarah lapangan PJKA. Aku dan Eyang saling bertatapan. Tapi kemudian Eyang tersenyum kembali.
“Ko Adek tahu? Semalam nonton juga ya?” Eyang balik tanya.
“Iya Kek, saya memang suka kesenian Jawa. Salah satunya pementasan ketoprak. Tapi eh....ngomong-ngomong, kamu semalam mainnya cukup bagus dan memikat. Sebagai tokoh Loro Jonggrang, boleh dibilang kamu berhasil memainkannya. Ya .... selamat buat kamu” Dia mencoba berakrab-akrab dan memuji. Aku masih juga jual mahal, malah sibuk menghapus keringat.
“Sok kenal banget sih nih orang!” kataku membatin.
Pagi terus merangkak, detik demi detik. Di jalanan, orang-orang berlalu-lalang. Ada yang menggunakan motor, sepeda dan becak. Kebanyakan dari mereka, anak sekolah. Di stasiun terlihat ramai orang yang menanti datangnya kereta. Di sekitar lapangan PJKA, pintu warung remang-remang mulai terbuka.
“Maaf ya, kamu itu siapa? Aku gak kenal kamu. Tolong sebutin nama kamu” Aku membuka suara. Terdengar ketus. Sebuah cubitan di tangan Enyang, mengagetkanku.
“Jangan galak gitu sama orang. Ndak baik” bisik Eyang sambil mendekatkan mulutnya padaku. Cowok itu tersenyum, seolah mengetahui apa yang dikatakan Eyang.
“Kenapa senyum-senyum gitu? Ada yang lucu?” masih saja aku bersikap judes.
“Oh ya maaf. Namaku Ryo, sekolah di SMA Smart School kelas tiga IPA1” Tatapan mataku makin tajam, mendengar cowok itu menyebut nama sekolah yang sama dengan sekolahku.
“Kenapa? Ada yang salah aku omongin?”
“Oh gak, gak ada yang salah” Kututupi rasa heran dan kaget.
“Smart School, berarti satu sekolah dengan cucu-cucu saya. Kenal Galih?” Eyang malah menyatakan apa yang selama ini menjadi momok bagiku.
“Oh, Galih yang anaknya pendiam dan pinter itu, Kek?”
“Yo bener tenan”
“Cucu Kakek yang sekolah di sana siapa lagi?”
“Yo iki, tapi masih kelas satu. Rindi, Rindi Swastika panjangnya” Kini giliran aku yang mencubit tangan Eyang. Eyang malah tersenyum.
“Hai Rin, seneng bisa kenal sama kamu” ucap Ryo sembari menjulurkan tangan tanda perkenalan.
“Oh ya sama. Sori ya, udah siang. Aku harus berkemas-kemas ke sekolah” Aku bangkit dan menggandeng tangan Eyang.
“Boleh aku tahu rumahmu? Kapan-kapan kita bisa berangkat bersama”
“Eem...mmm...kapan-kapan aku kasih tahu”
Sampai di tobong, Aku tersentak. Handuk kecilku ketinggalan di Taman Poci. “Tuhan, handukku ketinggalan” batinnya.


***
Di taman, Ryo menggenggam erat handuk Rindi. Ia tersenyum puas. “Yes!” nalurinya girang berseru.
Situasi Taman Poci mulai ramai. Lalulalang antarkendaraan tak tertahan lagi. Mereka bergegas memburu waktu ke sekolah, kantor atau pasar. Bahkan tidak hanya di Taman Poci, di tempat lain pun sama padatnya. Demi waktu.

*

Aktivitas dalam tobong mulai ribut. Para wanita sibuk di dapur, sedang yang laki-laki menonton berita pagi di teve. Anak-anak pun tak kalah sibuk. Dara dan Dira, rebutan kaos kaki. Galih yang sarapan dengan gaya leletnya serta Rindi yang kalang kabut mencari buku Matematika.
“Aduh...gara-gara Eyang ngobrol sama cowok nyebelin itu sih, aku jadi keteteran gini. Buku Matematikaku mana sih?” teriak Rindi membuat seisi tobong kaget dibuatnya.
“Ada apa Rin, gak usah pake teriak begitu dong” kata Sumirah ibu Galih. Rindi tak menggubris teguran itu, ia asik dan serius mencari buku Matematika. Saat Rindi membalikkan tubuh untuk menuju kamar, kaget bukan kepalang. Ia mengira ada hantu dibelakangnya.
“Astaghfirullah......” ucap Rindi. Galih memang seperti itu. Mengangetkan. Membuat jantung orang mau copot.
“Maaf, tadi malem pas kamu udah tidur aku pinjem buku ini. Aku mo ijin tapi kamu kayaknya kecapean. Makasih...” ucap Galih sambil menyodorkan buku bersampul coklat bertuliskan:
Matematika
Rindi Swastika
Kelas X 3
Hati Rindi segera tenang. “Huh....” Rindi menatap Galih dengan raut pucat. Sementara Galih menginggalkan Rindi dengan cuek. Melihat Galih pergi, ia teringat cowok aneh yang ditemui di Taman Poci dan ternyata dia itu kakak kelas sekaligus teman Galih. Tangan Rindi meraih Galih.
“Galih...” sapa Rindi menggantung. Galih menengok dan menunggu kelanjutan ucapan Rindi. Namun tak kunjung bersua dan akhirnya Galih berkata, “Ada apa?”
Hati Rindi bergejolak antara bertanya tentang cowok itu atau tidak. Bingung, bimbang. Wajah Galih masih cuek. Rindi terbengong dan ragu. Melamun.
“Ada apa, Rin?” tanya Galih lagi. Rindi masih asik dengan lamunan. Baru setelah tangan Galih meraih bahu, Rindi tersadar.
“Ada apa panggil aku?”
“Eh... emang tadi aku panggil kamu ya? Lupa mo ngomong apa”
Galih berlalu mendengar jawaban Rindi. Pikiran Rindi kembali digayuti tentang handuk kecil. Ia mencoba mengingat terakhir memegang handuk. Nihil. Yang dia ingat justru wajah Ryo, cowok aneh yang dia jumpai di Taman Poci.
“Tadi aku pulang gak bawa apa-apa. Apa ya yang ...” mulut Rindi terus berkomat-kamit layaknya dukun. Jari manisnya memukul lembut pelipis kanan.
“Ndok, udah siang nanti kamu terlambat. Rono mangkat” sebuah suara dikeluarkan ibu Rindi. Kaget. Ibu berlalu meninggalkan Rindi.
“Bu, apa ibu lihat handuk kecil yang biasa aku pakai jogging?” tanya Rindi penuh harap. Ibu bengong dan melamun sekejap. Lantas menggeleng pasti. Tubuh Rindi melemas. Kecewa, atas kecerobohannya. Dibantingnya tubuh lemas itu pada sebuah kursi reot.
“Apa mungkin kebawa sama cowok aneh itu ya? Ah! Gak mungkin!” batinnya berdialog. Ibu menyadari apa yang dilakukan Rindi. Dengan suara agak lantang ia mengingatkan.
“Loh kok malah duduk lagi, sana berangkat! Terlambat baru tahu rasa kamu”
Rindi tersenyum kecut, bangkit dan bergegas mencium tangan ibunya. Sambil berjalan, Rindi menengok jam dinding. Pukul tujuh kurang lima belas menit. Matanya membelalak kaget. Rupanya ucapan sang ibu benar. Diambilnya langkah seribu mengejar waktu. Begitu berharganya waktu.
Rindi baru ingat, pelajaran pertama adalah Matematika. Gawat jika dia terlambat. Sebuah soal super sulit akan menguras pikiran. Ya, itulah syarat yang harus dipenuhi agar bisa mengikuti pelajaran. Ditambah rasa malu ditertawakan teman jika ia terlambat.

*

Di sekolah, untung masih memihak pada Rindi. Ia tiba tepat bel bernyanyi. Seketika itu murid-murid bergegas masuk kelas. Koridor lengang. Begitu pula Rindi, masuk kelas X 3. Teman yang lain segera meraih kursi. Rindi mengatur nafas, tubuhnya disandaran di kursi. Terengah-engah. Keringat mengucur perlahan. Diluruskannya kaki yang sedari tadi berlari.
“Kesiangan lagi ya?” tanya Esa teman sebangku Rindi. Rindi hanya mengangguk saja. Esa teman pertama Rindi sejak masuk sekolah itu, hingga menjadi sahabat setia yang senantiasa mendukung profesi Rindi sebagai pemain ketoprak. Pada Esa-lah Rindi berbagi kisah hidup sebagai anak tobong.
Esa, gadis manis berlesung pipi, berambut pendek, dan bertubuh proposional. Anak pemilik tambak dari Kota Tegal itu, selalu tampil sederhana. Tak pernah membanggakan harta orang tua. Beda jauh dengan kedua kakaknya yang sombong dan judes. Ya, mereka bertiga perempuan semua. Ayahnya orang yang ramah, tapi ibunya sedikit neko-neko. Otak Esa tak terlalu encer, hanya khusus pelajaran Bahasa Inggris dan matematika saja yang mahir. Tak heran setelah lulus SMA nanti ia akan ke London untuk melanjutkan studynya. Esa pulalah yang sering menjadi macomblang bagi cowok yang naksir Rindi.
Memang, Rindi terlalu cantik untuk ukuran cewek Tegal. Perfect. Hanya saja Rindi tak begitu memperdulikan masa remaja yang identik dengan pacaran. Tak penting dan gak ada gunanya! Begitulah jawaban Rindi setiapkali ditanya soal pacaran.
“Lihat PR Mat-mu dong?” Rindi selalu ingin mencocokkan hasil jawabannya dengan Esa, tiapkali ada PR matematika.
“Belum ngerjain ya?” Esa mengeluarkan buku bersampul kertas kado biru, warna favoritnya.
“Udah, cuma gak yakin aja sama jawaban sendiri”
“Oh ...”
Rindi memutar bola matanya ke kanan dan kiri. Memastikan apa jawabannya sama dengan Esa?
“Sama kok” lanjut Esa lebih cermat.
Bu Seni, guru Matematika masuk kelas. Duduk dan meminta ketua kelas menyiapkan. Esa dan Rindi masih asik mencocokkan.
“Sa, gurunya udah dateng” sebuah dorongan kursi keras dari arah belakang. Janis mengganggu keasyikan Esa dan Rindi. Duduk siap, berdo’a dan salam.
“Pertemuan kemarin saya kasih PR, coba keluarkan. Saya keliling periksa” Anak-anak yang ada celingukan mencari contekan, ada juga yang duduk tenang. Bu Seni tengah berdiri dan mengoreksi buku Shasi yang duduk tepat di depan Rindi.
“Teri, kamu maju nomer satu. Billi, kamu maju nomer dua. Dan, kamu Niken maju nomer seterusnya” perintah Bu Seni sembari telunjuk kanan mengarah pada tiga bocah itu.
Giliran Rindi dan Esa berdebar karena tengah dikoreksi. Di depan sana, Billi satu-satunya cowok yang berdiri sedang dua lainnya cewek. Teri dan Niken asik mengerjakan soal di papan tulis. Selang beberapa menit mereka kembali duduk. Rupanya Bu Seni memperhatikah tingkah Billi yang celingukan bertanya pada teman. Guru yang belum berumahtangga itu menghentikan kegiatan mengoreksi. Dihapirinya Billi.
“Kenapa kamu? Kok kebingungan begitu, belum mengerjakan?” mata Bu Seni menatap tajam tapi Billi malah balik menatap. Bu Seni geram.
Ya, Billi memang seperti itu. Kenakalan dan kebandelannya telah tersohor dilingkungan sekolah. Berulangkali di-skors dan merasakan wanginya jamban sekolah. Bahkan seminggu yang lalu, orang tuanya dipanggil dan diberi wejangan oleh kepala sekolah untuk lebih suntuk mendidik Billi. Dia tak terlahir dari keluarga pas-pasan. Ayahnya seorang dosen sebuah perguruan tinggi di Tegal. Ibunya bisnis berlian yang mengharuskan bolak-balik luar kota. Ia anak tunggal. Di rumahnya segala fasilitas tersedia. Dua orang pembantu setia meladeni Billi. Namun, ia lebih senang tak ada orang tua. Jika mereka berkumpul, tak ada komunikasi sama sekali. Malah adu mulut antara anak dan orang tua yang terjadi.
Suatu kali Pak Heri guru kesenian musik itu bertanya. Mengapa ia senakal itu? Billi hanya menjawab:
“Kalo sekarang malaikat akan mencabut nyawa saya, itu sangat menyenangkan. Dan lebih baik saya lahir dari keluarga pas-pasan daripada keluarga saat ini” Berulangkali dinasehatipun ia tetap bangor. Tak satupun orang yang sanggup mendidiknya. Dia hanya ingin hidup sendiri.
“Billi, kenapa kamu menatap saya seperti itu?! Kamu benci pelajaran saya atau benci saya?” Bu Seni meninggikan volume suaranya. Billi menunduk terpaksa. Ditatapnya sepetak demi sepetak lantai tempatnya berpijak. Dulu warnanya putih, kini keruh terinjak sepatu, kena debu dan sampah berserakan.
Semua murid terdiam. Menatap buku yang ada di meja. Hening. Di luar juga sepi. Kelas lain, tampak santai dan tenang. Hanya kelas Rindi saja yang tegang. Sepagi ini tak sepantasnya orang marah. Dan Billi yang pertama melakukan.
“Sekarang, cepat kamu ke luar kelas. Jangan masuk sampai pelajaran saya usai!” Bu Seni ambil tindakan. Tanpa ragu, Billi membuka pintu kelas dan ke luar. Entah ke mana. Ia berjalan lunglai seperti biasa, ketika harus rela ketinggalan pelajaran karena tak bisa mengerjakan soal. Disambanginya kantin. Sepi. Mak Sairoh pemilik kantin masih belanja. Di sambarnya kursi panjang untuk rebahan. Perlahan matanya menyipit. Makin sipit. Dan kini menutup rapat. Pikirannya menerawang jauh masa kecil. Masa dimana dia merasakan dunia indah. Kini dunia indah itu menghilang, jauh dari angan.
Di kelas, Bu Seni melanjutkan kembali pelajaran yang sempat terpotong iklan.
“Rindi, coba kamu kerjakan soal yang belum dikerjakan Billi. Fahri, kamu soal setelah Niken. Dani, kamu melanjutkan soal selanjutnya” ketiga bocah segera menuju papan tulis. Diselesaikannya soal itu sangat gampang. Empat jam berlalu, bel istirahat membuat pikiran mereka girang. Koridor seakan disulap menjadi pasar. Teriakan menggema memecah kehampaan.
Kantin. Mak Sairoh kewalahan melayani banyaknya permintaan. Semua minta didahulukan. Menunggu, seolah menjadi hal yang menjengkelkan. Meski telah dibantu anak sulungnya Chece, tetap kerepotan itu tak mau menyingkir.
“Hei Bro, tidur mulu sih lo. Abis begadang lagi ya?” tanya Esa sembari menepuk kaki Billi. Billi terbangun. Dibukanya mata perlahan. Tiga orang didepannya ditatap bergantian. Rindi, Esa dan Hanif. Merekalah sahabat Billi. Mereka jualah yang tahu seluk beluk keluarga dan suasana hati Billi.
“Eh lo, ngagetin aja. Jamnya Mak Lampir udah abis ya?” begitulah julukan yang sengaja dibuat Billi bagi Bu Seni. Hampir tiap guru memiliki julukan yang aneh dan unik.
“Siapa lagi tuh Mak Lampir?” Esa tak memahami bahasa Billi.
“Ya itu guru Matematika” jawab Billi enteng.
“Jahat lo! Orang tua tuh, kualat loh” Rindi menimpali.
“Biarin suka-suka gue dong, mulut-mulut gue” Billi meraih es jeruk yang dipesan. Diteguknya minuman sarat vitamin C itu dengan cepat. Habis. Rindi, asik dengan gorengan tempe yang dicolek dengan saus. Esa, menyantap lahap lengko ala Mak Sairoh yang terkenal pedas. Hanif, menghayati tiap kunyahan permen karet dimulut.
“Bro, Minggu besok jogging bareng yuk?” tawaran Billi membuat temannya tersedak.
“What? Coba ulangi lagi, jogging? Lo belum bangun ya, ngigau lo” ledek Hanif yang disambut tawa kawannya.
“Ah lo, giliran gue ngajak diledekin. Ntar kalo gue ga mau, disorakin. Rese!” Billi pergi ngeloyor seraya meletakkan uang di meja untuk membayar minuman. Rindi dan Hanif hendak membayar makanan, tapi Esa mencegah.
“Jangan. Pake uang gue dulu deh” Esa menyodorkan uang lima ribuan pada Mak Sairoh. Hanif dan Rindi bergegas mengejar Billi yang tampaknya emosi.
“Eh Bro, kok sekarang jadi sensitif gitu sih? Santai lah, kita mau kok jogging Minggu nanti” ucapan Rindi melegakan hati Billi. Dari arah kejauhan Esa berlari menuju Billi CS.
“Jahat lo, masa gue ditinggal sendirian. Gak setia kawan!” Esa ngedumel. Sambil berjalan mereka terus mengobrol.
“Abis sih lo, bayar aja pake ngelirik Kak Galih” Hanif membuka rahasia. Spontan Esa mencubit lengan Hanif sekeras mungkin.
“Galih? Jadi ....” Rindi mengedipkan mata ke arah Esa.
“Udah dong, kan cuma ngefans aja. Gak marah kan lo?” Esa menunduk malu.
“Aneh deh lo! Ya gak mungkin lah gue marah, hak lo kali” Rindi rupanya mendukung saja. Kepala Esa menengadah ria.
“Jadi boleh nih gue kecengin sepupu lo?” suara Esa terdengar renyah.
“Ih ... genit amat sih lo!” Billi melirik tajam Esa yang masih kegirangan.
“Biarin. Tapi gue boleh kan?” Esa kembali menanyakan.
“Ya boleh lah. Asal lo siap aja dikacangin plus dijadiin kambing congek” Rindi menjawab dengan guyon.
“Ha ..... naksir kok patung hidup” Billi menimpali. Tawa terdengar riuh.
“Bodo! Yang penting pinter” Esa menjawab cuek.
“Minggu kita ngumpul di Taman Poci deket Rindi” Billi memerintah. Lantas mereka bergegas menuju kelas. Bel masuk telah berteriak lima menit yang lalu. Namun karena setelah ini pelajaran Kesenian, mereka tak perlu terburu-buru masuk. Koridor setengah sepi. Dari kelas X 2, tiba-tiba muncul sosok perempuan sedikit renta mengagetkan mereka. Bu Ndari, guru Bahasa Indonesia membuka pintu kelas dan membiarkan angin menerobos masuk.
“Eh kalian kok belum masuk kelas. Habis kemana hayo ...” sapa Bu Ndari. Guru yang malang karena ditinggal mati sang suami sebelum memberinya anak. Dia terbilang salah satu perempuan yang sangat ramah terhadap siapa saja. Termasuk murid-muridnya.
“Abis ke belakang Bu ...” Billi menjawab sekenannya.
“Ke belakang kok cewek-cowok, ngapain? Bilang aja habis ke kantin” rupanya Bu Ndari lebih cerdas dari mereka.
“Tahu aja sih Bu, kalo kita bohong...” Hanif mengaku.
“Kalian kan sudah langganan. Kalo terlambat pasti bilangnya ke belakang, gak ada alasan lain ya? Gak kreatif!” Bu Ndari mengejek. Di dalam kelas anak-anak ikut menertawakan mereka.
“Eh kalian jangan ikut ketawa! Udah kerjain tugas dari saya?” Bu Ndari mengingatkan. Sekarang giliran Billi CS yang balik menertawakan.
“Eh, eh ... kok ikut ketawa juga! Sana masuk kelas” perintah Bu Ndari. Mereka meninggalkan Bu Ndari, masuk kelas.
“Untung gurunya belum dateng ...” Esa mengelus dada. Buru-buru mereka duduk di bangku masing-masing.
Di luar lengang. Tak ada guru maupun murid berlalu lalang. Sesekali terdengar suara-suara dari kelas lain. Kadang gertakan guru yang sedang marah. Tapi ada juga kelas yang hening, rupanya sedang ulangan.


*

Di kelas XII IPA 1, guru Agama menjelaskan tata cara shalat gerhana yang akan dipakai untuk praktek. Serius, semua siswa mendengarkan dengan seksama. Maklumlah, shalat yang satu ini namanya saja baru menyelusup dalam telinga. Galih lebih serius lagi, dia terlihat mencatat semua omongan guru. Jemarinya lincah melukis tulisan berarti. Tapi dia tak sadar jika tengah diperhatikan seseorang. Ryo, malah asyik menatap kawan sejenisnya.
“Yo, napa sih lo? Dari tadi liatin Galih mulu, senyum-senyum sendiri lagi. Naksir lo sama dia?” Erwan teman sebangkunya mulai risih dengan tingkah Ryo.
“Ngaco lo! Lo kira gue hombreng! Sembarangan!” jawab Ryo sembari tangan kanan menjitak kepala Erwan. Ryo kembali melanjutkan aksi. Dilihatnya Galih dengan sesekali senyum sendiri.
“Nah lo aneh gitu. Napa sih lo?” sebuah pukulan kecil mendarat di pundak Ryo. Sambil terus memperhatikan Galih, ia berkata :
“Tau gak lo, si cupu n kutu buku itu punya sepupu yang cuantik....banget?”
“Dari mana lo tahu? Lo maen ke rumah dia ya?” Erwan penasaran. Sambil menepuk pundak Erwan, ia menjawab:
“Nah itu yang lagi gue cari, Bro! Alamat si cupu”
“Hah, lo mau temenan sama cupu itu? Pasaran geng kita turun drastis dong” Erwan tampak gelisah. Mulutnya menganga lebar.
“Bodo! Gue udah jatuh cinta saat pertama kali ketemu sama cewek itu” Pikiran Ryo menangkap flashback kejadian di Taman Poci.
“Basi lo! Dari jaman PKI lo selalu bilang gitu. Jatuh cinta pada pandangan pertama. Basi!” Ternyata suara Erwan terlalu menggelegar.
“Yang sudah bosan dengan pelajaran saya, silakan ke luar sekarang!” Pak Yusuf mulai tegas. Kelas makin hening. Ryo dan Erwan pun membisu.
Teng, teng, teng.....! Bel ganti pelajaran akhirnya berteriak. Pak Yusuf mengemas buku panduan dan mengucap salam. Ryo, Erwan dan siswa yang lain beraksi. Kelas ramai. Riuh, ricuh.
“Kali ini gue gak maen-maen, Bro. Dia beda dari cewek laen” Ryo mulai menggosip.
“Ah lo, semua cewek lo bilang beda. Tapi nyatanya sama, cuma lo maenin aja. Kayak bola!” Erwan membuka kamus rahasia sobatnya.
“Serius nih, Bro”
“Emang yang beda apanya sih? Matanya juling atau bisu mungkin? Bodinya kayak gitar Spanyol kali. Mungkin juga pahanya montok kayak Sarah Azhari? Boleh dicoba tuh” pikiran kotor Erwan mulai kumat.
“Ngeres aja sih lo! Jadi bedanya dia ... gak terkenal kayak mantan-mantan gue. Dia juga gak semurah mantan gue” Ryo membayangkan wajah Rindi. Erwan memperhatikan polah sobatnya dan teringat sesuatu.
“Masih sekolah, di mana?” Erwan mengorek-korek.
“Di sini”
Kelas makin tak teratur karena ketua kelas memberitahu kalau Pak Johny, guru Bahasa Jawa tak berkenan hadir. Beliau tengah rapat dinas. Ruangan makin tak terurus. Cewek-cewek sibuk dandan, menggosip, maen hape dan yang lainnya.
Yang cowok ngumpul sambil cerita tentang cewek mereka. Ada juga memilih ke kantin tak tahan dengan nyanyian perut yang kian meledak-ledak.
“Gila lo, Bro! Semua penduduk sekolah, sekaligus guru-guru juga udah pada tahu predikat lo, playboy tajir! Gue yakin cewek itu juga tahu tentang lo. Dan pastinya lo gak bakal ngedapetin dia” ucapan Erwan sedikit membuat Ryo menciut. Sejenak ia terdiam dan menunduk.
“Gue gak peduli! Gue bakal buktiin ke dia kalo cinta gue tulus, bukan mainan. Gue mau insaf” Ryo optimis.
“Gue gak yakin lo berhasil. Mau lo jadiin bola ke berapa yang lo tendang. Mending lo cari cewek yang laen aja. Banyak kok cewek dari sekolah laen yang ngebet sama lo”
“Gak! Kalo dia ya tetep dia! Gak bisa diganti-ganti gitu dong” Ryo sedikit emosi. Lantas ia membuka resleting tas. Mengambil sebuah handuk kecil berwarna pink. Digenggam erat, dan perlahan diciumnya dengan mesra. Ia berkata lirih:
“Dengan ini gue bisa dapetin dia. Lihat aja, gue janji ma lo!”
“Gue pegang janji lo”
Ryo asik mencium handuk Rindi. Mungkin keringat Rindi laksana parfum surga. Erwan memandang tingkah sobatnya itu, aneh dan gila. Sebelumnya, Ryo tak pernah bertingkah seaneh ini. Ia kerap kali mempermainkan cewek. Baginya cewek seperti mainan yoyo. Bisa ditarik dan diulur.

*

Dalam kelas Rindi, berlangsung pelajaran kesenian. Lima menit lalu, Pak Heri mengajar. Nampak keseriusan dari raut muka murid-murid. Tapi kadang juga, gelak tawa menggelegar membuat kelas di sebelahnya hilang konsentrasi.
Billi terlihat lebih santai menikmati pelajaran. Ya, ini pelajaran kesayangannya. Dari senilah dia bebas hidup dan dari Pak Heri, hidupnya menjadi berwarna-warni. Mungkin Pak Heri lebih pantas disebut orang tua angkat. Billi memang mempunyai impian menjadi rocker sejati. Tiap kali ada acara sekolah, tak pernah absen mengisi. Entah dengan bandnya atau dia sendiri yang tampil. Tapi belakangan diketahui, orang tuanya tak mendukung. Mereka lebih memilih Billi menjadi dokter atau pengacara. Tapi semua itu bukan dunianya di mana tempat Billi hidup. Baginya, ngeband adalah hidup. Tak heran antara dia dan orang tuanya bersitegang.
Rindi dan Esa terlihat tanpa beban. Mereka asik mengobrol. Kadangkala saling cubit. Bahkan juga serius. Begitulah mereka, terlihat akrab selalu. Ke mana-mana bersama. Di mana ada Rindi di situ ada Esa.
“Oya, sekolah akan mengadakan lomba teater antar kelas. Dari kelas satu sampai dua. Jurinya dari kelas tiga dan guru. Tiap kelas mengirim satu kelompok, berisi empat anak. Apa di kelas ini ada yang berbakat?” Pak Heri mengumumkan sesuatu. Kelas diam saling menatap. Rindi dan Esa masih sibuk mengobrol.
“Sa, sa, Esa ...” Hanif melempar sebuah gumpalan kertas ke arah Esa. Esa menengok. Dilihatnya Hanif berkomat kamit.
“Rindi, Rindi ...” Hanif menunjuk arah Rindi. Rindi kebingungan. Celingak-celinguk.
“Eh, eh tadi Pak Heri ngomong apaan sih?” tanya Esa pada teman yang duduk di belakang.
“Sekolah mau ngadain lomba teater. Apa di kelas ini ada yang bakat?” Yuri menjawab singkat. Spontan Esa berteriak kencang:
“Rindi, Pak. Dia jago banget maen teater, sering menang lomba” Sekarang pandangan seluruh penghuni kelas, tertuju pada Rindi dan Esa. Hanif dan Billi tersenyum puas.
“Eh maksud lo apa Rindi, Rindi.....” Rindi kalang kabut.
“Ia, lo kan ahli maen teater. Dan sekarang sekolah lagi ngadain lomba teater antar kelas. Gitu neng” bagai kilat Rindi menjawab :
“Ogah, Pak! Itu gak bener, saya gak bisa teater. Saya bisanya tidur, Esa yang jago maen teater”
“Gak, Pak. Saya gak bisa maen teater. Tapi kalo Rindi jago banget. Pasti menang” Kini Esa dan Rindi saling memukul dan ribut sendiri. Murid yang lain, hanya memandang lucu mereka.
“Udah, udah. Gak usah berantem gitu. Yang adil, kalian berdua yang ikut. Nanti tinggal cari dua personil lagi buat ikut lomba” Pak Heri bersikap bijak. Mulut Rindi dan Esa menganga. Mereka saling bertatapan.
“Pak, Pak, jangan kita dong. Yang lain aja” mereka memohon.
“Cari dua personil dan siapkan mental kalian. Ingat! Kalian membawa nama kelas” ujar Pak Heri.
Bel ganti pelajaran menggema lima belas menit yang lalu. Namun karena keasikan mengajar, Pak Heri lupa sekarang waktunya ganti pelajaran. Buru-buru ia mengucap salam dan belalu.

*

Tobong nampak sepi. Hanya Eyang sedang menonton teve berita kriminal, dengan segelas kopi dan sepiring pisang goreng. Ayah Rindi dan lainnya memburu rezeki sampingan. Ya! Selain berketoprak, mereka juga menyambung hidup sebagai tukang becak, kuli panggul di pasar, kuli panggul di pelabuhan dan ada yang menjadi tukang parkir. Mereka tak mungkin mengandalkan hidup pada dunia ketoprak. Karena memang, tontonan ketoprak itu kalah tren dengan hiburan lain.
Di pasar. Darmini dan Juminah sibuk berbelanja. Mereka terlihat tengah menawar harga sekilo cabe merah yang kini harganya melonjak tajam. Sesekali mereka pergi meninggalkan penjual, jika tawarannya tak disetujui. Tak jarang juga, membanding-bandingkan antara harga penjual satu dengan yang lain.
“Sekarang apa lagi yang belum dibeli, Dar?” tanya Juminah yang mulai kebingungan. Darmini mencoba mengingat keperluan dapur yang kosong.
“Opo ya, Jum. Aku ndak inget” pikiran Darmini buntu. Kini Juminah yang balik berpikir. Lama.
“Oya, ikan peda! Tadi Eyang bilang kepingin ikan peda” Darmini teringat pesan Eyang. Mereka lantas menyambangi ke sana. Tawar menawarpun tak terelakakan. Dengan harga Rp 3.000,00 mereka mendapat empat ekor ikan peda.
“Udah kebeli semua kan, Jum?” Dramini mengingatkan. Juminah lantas meneliti kembali belajaannya. Dan menjawab pasti: “Udah”
Mereka menuju tempat parkir, mengambil sepeda butut. Satu-satunya alat stransportasi yang dimiliki keluarga ketoprak. Dan seperti biasanya, mereka bergantian mengayuh. Kini giliran Darmini, sedang Juminah kebagian memangku barang belanjaan di boncengan. Sesekali terdengar ocehan dari mulut mereka sebagai obat penghilang lelah. Hanya lima belas menit, mereka sampai di tobong.
Juminah memarkir sepedanya di belakang. Bergegas Darmini menuju dapur. Dicucinya belanjaan sayuran sup. Kemudian dipotong-potong kecil. Juminah menyusul Darmini ke dapur. Diraciknya bumbu-bumbu penyedap. Ada bawang merah yang dicincang halus sebagai pengharum masakan. Bawang putih, merica, dan garam ditumbuk halus. Sebelum diberi bumbu, sayuran direbus agar lunak. Kemudian racikan itu dicampur dengan rebusan sayuran. Terakhir taburkan bawang merah goreng. Siap santap!
Sekarang mengolah ikan peda. Juminah mencuci ikan dan dipotong seselera hati. Darmini memotong cabe hijau kemudian ditumis beserta bumbu lainnya. Selesai. Mereka kemudian bergabung bersama Eyang menonton teve.
“Masak opo kamu, Dar?” tanya Eyang sembari matanya tetap menatap teve.
“Sayur sup sama tumis ikan peda. Mau makan, Yang?” Darmini menawarkan. Eyang menjawab dengan gelengan.
“Masih kenyang, nanti tunggu anak-anak”
Darmini kembali melanjutkan acara menonton. Juminah menonton sembari menjahit pakaian yang bolong.

*

Bel tanda pulang telah berbunyi dua puluh menit lalu. Panas mentari tak terbendung lagi. Namun, Ryo dan Erwan masih betah di taman sekolah. Ups! Mereka tak hanya berdua, ada Galih di sana. Ryo berbicara sehalus mungkin, sedang Erwan nada mengancam. Dalam genggaman Ryo sebuah handuk kecil yang sangat dikenal Galih. Galih hanya menunduk takut.
“Eh Lih, rumah lo di mana sih? Gue boleh maen gak” Ryo berkata santai. Galih masih menunduk dan terdiam. Ingin berucap tapi takut. Entah apa yang ia takuti. Tak sabar menunggu jawaban Galih, Erwan menggertak:
“Eh lo tuli ato gak sih? Rumah lo di mana? Jawab cepet, gak pake lelet!” Buru-buru Ryo memukul bahu Erwan.
“Santai, Bro” Ryo menenangkan.
“Santai gimana maksud lo? Tinggal jawab aja lama banget, perut gue kelaperan nih” Erwan menjawab sinis.
“Ntar gue traktir makan deh abiz ini” ucapan Ryo ini sedikit membuat Erwan tenang. Ryo kembali melanjutkan pertanyaan yang setara. Dengan terbata-bata Galih menjawab.
“Di lapangan PJKA deket Taman Poci”
“Lo jangan bercanda dong, Bro. Itu kan lapangan, masa lo tinggal di lapangan? Emang lo gembel ya?” Erwan mengejek.
Ucapan Erwan, rupanya membuat hati Galih yang sensitif itu tersinggung. Ia melirik Erwan, sengit. Ryo dan Erwan saling bertatapan. Mereka tak mengira Galih bisa marah. Tanpa basa-basi, Galih meninggalkan mereka dan tak sepatah katapun terucap. Tatapan mata Galih membuat Ryo sadar dan segera menegur Erwan.
“Lo sih, Bro. Dia jadi marah kan? Gue kan, baru dapet dikit informasi”
“Eh Galih, jadi cowok itu jangan sensi. Cewek banget sih lo!” Erwan malah meneriakkan kata-kata yang membuat Galih menoleh dan kembali melirik tajam penuh kemarahan. Ryo bangkit dari bangku taman. Ia memalingkan tubuh Erwan dan berkata marah.
“Lo mau ngancurin usaha gue ya? Apa ini yang namanya temen? Di mana solidaritas lo yang dulu, saat gue butuh lo? Gue gak suka cara lo gitu!”
Ryo berjalan lebih cepat dan menjauh. Erwan mengejar dan kemudian mengakui tindakannya yang salah.
“Sori Bro, tadi gue kesel. Gue cuma gak bisa nahan emosi karena laper. Gue tetep sobat lo yang selalu bantui tiap lo butuh” kata Erwan sembari menepuk halus bahu Ryo. Hati Ryo luluh juga, ia menoleh dan berceloteh lembut:
“Lo tahu gue kan? Gue gak pernah segila ini jatuh hati sama seorang cewek! Dia beda, jadi kalo lo ngaku temen gue, tolong bantu gue dapetin dia. Gue ngerasa dia cewek yang selama ini gue idam-idamkan. Gue mau berubah karena cewek itu” Dengan senyum dan anggukan pasti, Erwan menjawab. Lantas ia menjitak kepala Ryo.
“Kok lo jadi lembek gini sama cewek. Gak asik lo ah”
“Biarin, yang penting gue bisa dapetin dia” cuek Ryo menjawab. Langkah mereka kembali sama.
Dengan rasa lapar yang semakin melilit, mereka mendatangi warung langganan “BAKSO PUAS”. Ryo menyetir motor jantannya dan Erwan diboncengan.

*

Rindi dan Eyang asyik menyantap masakan sambil menikmati acara teve. Bukan hanya mereka saja yang tengah mengisi perut, Dara-Dira juga ada di sana. Suasana tobong jadi berubah ramai dengan senda-gurau Dara-Dira. Tiba-tiba Rindi teringat lomba teater yang bakal diadakan di sekolah. Rindi pun minta pendapat pada Eyang.
“Yang, di sekolah ngadaian lomba teater antar kelas. Tiap kelas wakilin empat orang, terus aku disuruh ikut. Aku ndak yakin bisa maen. Aku kan pemula,” Pelan-pelan Eyang menelan makanan, lantas diteguk segelas air teh. Baru menjawab pertanyaan Rindi.
“Ndak opo-opo. Ikut saja, ndak usah mikir menang atau kalah. Yang namanya lomba mesti ono sing menang lan kalah. Sing penting kuwi, énthuk pengalaman. Urip kudu belajar, nèk ora belajar kapan ngerti?”
“Tapi aku ndak yakin bisa, Eyang”
“Loh, kemarin kamu bisa maen ketoprak. Kuwi podho waé maen teater. Hasilnya lumayan, berarti kamu punya talenta. Eyang ndak suka sama orang yang ndak percaya sama kemampuan awaké dèwé. Mencoba itu ndak ada salahnya” ucapan Eyang membuat kepercayaan diri Rindi bangkit. Kembali ia menyantap makanan. Sesekali matanya melihat acara teve.

*


Galih pulang dengan ekspresi muram. Kata-kata Erwan masih mengiang segar dalam ingatan. Sungguh menyakitkan. Rindi menatap Galih terheran-heran. Belum pernah dia melihat Galih ngambek seperti itu. Dibantingnya tas di kasur dan melempar tubuh dengan memeluk bantalguling, erat-erat.
Di daun pintu, Eyang berdiri menatap aneh tingkah Galih. Sama seperti Rindi, Eyang pun tak pernah melihat sang cucu bertingkah. Didekatinya Galih.
“Ono opo ndok? Kamu ndak biasa seperti ini. Coba cerita sama Eyang, mungkin bisa melegakan pikiran dan hatimu” Dibelai rambut Galih. Eyang paham benar sifat semua cucu kesayangannya.
Wajah Galih masih tertutup bantal, dia menggeleng. Tangan tua Eyang terus membelai rambut Galih.
“Ndak baik membohongi diri sendiri, nanti jadi stres loh....” Galih tak menggubris nasihat Eyang. Ia tetap menutup rapat wajah. Terdengar sesenggukan.
“Yo wis, nangis waé bèn puas. Baru cerita nanti sama Eyang” ditinggal sendiri Galih sekarang. Tirai pintu digeser menutup. Rindi langsung menyerbu Eyang. Dengan gelengan, Rindi paham maksud Eyang.
Rindi bergegas menuju kamar. Hatinya gundah gulana menangkap tingkah aneh Galih. Baru kali ini ia melihat langsung air mata Galih. Tak mungkin dia menangis tanpa sebab.
“Pasti ada sebabnya. Tapi apa ya?” hati Rindi bertanya-tanya. Ingin rasanya menemui Galih, tapi keadaannya lagi down. Rindi duduk di tepi kasur. Rasa penasaran mendalam. Otaknya berusaha mencari jawab. Perasaannya menduga-duga. Mata yang mengantuk menjadi terbelalak tajam. Tak ambil pikir, didekati kamar Galih. Dia lihat Galih duduk melamun. Entah apa yang ada dalam benaknya.
“Assalamu’alaikum.....Galih. Sori ganggu” suara Rindi membuyarkan lamunan Galih.
“Waalaikum salam. Ada apa?” wajah Galih masih menunduk.
“Tumben, pulang sekolah kok kamu nangis. Curhat dong”
“Ndak apa-apa. Cuma lagi pingin aja”
“Nangis kok kepingin, aneh kamu ini” Galih masih tak mau berbagi cerita. Dipandangnya paras Rindi sejenak lantas acuh.
“Yo, wis. Aku cuma khawatir aja sama kamu, kirain ada yang jahilin kamu” Rindi berjalan meninggalkan ruang kamar yang terlihat rapi itu.
“Oya, Rin. Kamu dapet salam dari Ryo temen sekelasku” ucapan Galih menghentikan langkah Rindi. “Siapa? Ryo? Yang kaya apa ya. Perasaan, aku gak kenal deh. Kamu boong ya?”
“Ryo si playboy itu”
Deg ... Rindi terdiam. Ia teringat peristiwa di sebuah pagi. Saat jogging bersama Eyang. Handuk kecil yang hampir terlupakan itu, kembali teringat. Sejenak Rindi seperti melamun. Juga bingung.
“Rin, salam balik gak? Kok malah ngelamun” Galih mengagetkan. Rindi tersenyum bingung.
“Gak usah. Aku gak kenal dia kok. Bilang sama dia ya? Jangan suka sok kenal”
Rindi berlalu dari kamar. Batinnya kesal. Sekarang sedikit tahu penyebab Galih menangis. Tapi pikiran itu, ia sanggah sendiri.
“Kalau cuma nitip salam, kan dia gak perlu nangis. Emm .... Ah tahu ah ...!”
Rindi bergegas menuju kamar dan rebahan di kasur, melepas lelah. Sekaligus redakan pikir dari hal yang memusingkan. Kamar Rindi tepat disamping ruang teve. Sayup-sayup didengarnya suara Eyang menyanyikan lagu Jawa kuno. Dan karena suara Eyanglah ia tertidur pulas.

*

Tiit, tiit, tiit ..... Mang Tarjo tukang kebun Esa, berlari menuju gerbang. Sebentar kemudian gerbang terbuka, Esa memasukkan motor dalam bagasi. Dibukanya pintu rumah pelan-pelan. Di meja makan, ibu dan Rere kakak keduanya sedang menikmati makan siang. Esa tak melirik sedikit pun. Ia bergegas menuju kamar. Bisik-bisik aduan Rere terdengar :
“Lihat tuh Bu, ada orang tua kok gak kasih salam. Mana sopan santunya?” Langkah Esa terhenti. Kupingnya ingin mendengar aduan sang kakak jelas lagi. Tanpa menoleh.
“Esa, dari mana kamu? Kok jam segini baru pulang” ibu memanggil. Esa menghampiri meja makan.
“Coba ibu lihat jam dinding, pukul 13.30. Dari pertama masuk SMA Esa selalu pulang jam segitu, bu” jawab Esa sedikit ketus, matanya melirik tajam ke arah Rere. Lantas, kembali menuju kamar. Ibu dan Rere melanjutkan makan disertai ocehan tak bermakna.
Dikeluarkannya kunci kamar dari dalam saku rok OSIS. Esa selalu membawa kunci kamar ke mana saja pergi. Kakaknya hobi sekali mengobrak-abrik kamar. Itu alasannya. Tas dan sepatu warna pink mulai dilucuti. Ia kemudian rebahan di kasur. Lelahnya sedikit berkurang. Otot-otot yang tegang kini mengendor. Santai. Mata belo Esa mulai menyipit. Terpejam.
Kreekkkkk ..... tiba-tiba pintu kamar Esa terbuka.
“Esa! Kalo mau tidur itu seragam dilepas dulu. Dasar jorok!” lengkingan suara Rere mengagetkan. Dengan tangan terlipat di dada, Rere memandang adiknya jijik. Mata belo Esa, kembali bersinar. Esa murka, istirahatnya terganggu. Tanpa berpikir, ia berucap. “Brengsek lo!”
“Apa?! Sopan dong lo, lihat siapa yang lo ajak omong. Omongan lo makin gak berpendidikan aja ya?” Rere tersinggung dengan ucapan itu. Esa bangkit dari kasur. Didorongnya Rere dengan tenaga penuh. Rere terjatuh. Matanya melolot.
“Gak berpendidikan? Ngaca dong lo. Lo pikir, lo pinter gitu? Masuk kamar orang tanpa permisi, tanpa salam? Itu namanya berpendidikan? Maen ngebangunin orang tidur seenak lo! Denger ya, gue emang adek lo, tapi bukan berarti gue bakal ngalah. Gak bakal!” suara Esa terdengar kasar.
Bentakan Esa rupanya terdengar ketelinga sang ibu. Wanita yang masih terlihat muda itu, menuju sumber keributan.
“Apa-apaan kalian?! Sudah besar bertengkar terus, gak malu sama tetangga? Kamu lagi, Rere ngapain jongkok di bawah?” tangan ibu terulur membantu Rere bangun.
“Itu, tu Esa tadi dorong aku sampai jatuh. Padahal aku cuma mau pinjem tas warna birunya” Rere mengadu. Mata Esa masih melotot tajam. Didorong lagi tubuh Rere.
“Maksud lo apa? Jangan suka muter balikin fakta gitu deh! Kalo lo pinjemnya sopan, gue juga bakal sopan ke lo. Nah lo masuk kamar gue aja gak ketuk pintu, udah gitu teriak-teriak lagi. Lo kan tahu gue lagi istirahat”
Ibunya menahan agar tubuh Rere tak jatuh lagi.
“Udah, udah. Esa, kamu hormat sedikit sama kakakmu ...” belum selesai ibunya berceramah, Esa memotong :
“Ciiihh! Hormat sama dia? Gak perlu, selama dia gak bisa hormat sama adiknya. Najis!”
“Esa! Ibu gak suka omongan kamu. Gimana pun dia tetap kakakmu. Sekarang ibu gak mau tahu alasannya. Kalian harus salaman” pinta wanita bertubuh mungil itu. Kesabaran ibu hampir habis menanggapi tingkah ketiga buah hati. Untung Kirana, kakak pertama Esa, tengah melanjutkan sekolah di Jogja. Jika mereka berkumpul, dunia seakan kiamat. Mereka masih terdiam. Gengsi.
“Esa, cepet minta maaf sama kakakmu” sekali lagi ibu mereka meminta. Esa keukeuh. Matanya hanya melirik Rere. Rere pun demikian. Mereka tak menggubris perintah ibu.
“Cepat!” ibu mulai berteriak. Tangan kanan Rere terulur. Esa menyambut. Meski mata mereka masih menyimpan kemarahan. Setelah itu, mereka berpisah. Esa kembali istirahat dan Rere ke luar dari kamar. Ibu menggeleng. Lantas ke luar kamar sembari menutup pintu.

*

Panas mentari masih setia menyengat. Kicauan burung yang seolah tak pernah letih makin riuh. Bumi Pertiwi yang subur, kini berpetak-petak. Sudah tiga bulan kemarau mendera. Sungai-sungai kering, petani padi beralih menanam tebu, singkong serta ubi rambat. Kadang pula mereka beralih menjadi tukang becak atau kuli. Itu semua mereka lakukan agar dapur tetap mengepul. Burung-burung pun demikian sulit mencari mangsa. Ya, sungai kering itu berarti sebangsa unggas kelaparan. Biasanya mereka memangsa ikan di sungai-sungai. Sekarang, hanya menghisap nektar bunga-bunga.
Dua jejaka berboncengan menuju sebuah rumah elite di kawasan griya sentosa. Salah satu dari mereka turun di depan rumah bercat hijau. Rumah Erwan. Mereka terlihat berbincang sejenak. Sang penghuni rumah, membuka pagar setelah kawannya pergi. Ia berjalan menyusuri taman yang terlihat asri. Dipencetnya bel rumah. Bibik penjaga rumah membukakan. Lantas ia pun masuk.

*

Di tempat terpisah Ryo tengah menikmati hidangan makan siang. Ada sayur sup, ayam bakar bumbu balado, tempe-tahu goreng, sambal, buah dan tak lupa jus jeruk kesukaanya. Rumah Ryo tak terpaut jauh dengan Erwan, satu kompleks. Tak heran mereka sangat akrab. Orang tua merekapun tak kalah akrab. Ayah Ryo pimpinan dari sebuah tabloid kota. Ibunya pengelola restoran yang didirikan empat tahun lalu. Sejak dua tahun lalu, ibu Erwan berinvestasi di restoran tersebut. Kelengketan dua keluarga ini sangat kental.
Usai makan Ryo berjalan menuju kamar. Di dalamnya seperangkat alat band tersedia. Sebuah laptop, telepon rumah serta berjejer miniatur Naruto kesukaannya. Hobinya ngeband sejak kecil, entah berapa syair lagu yang ia tulis dan disimpan dalam laptop. Semua itu dilakukan saat senggang waktu. Baru saja ia membuka pintu, matanya langsung melirik ke arah drum. Disambanginya drum sembari tersenyum girang. Dalam batin berkata: “ Bentar lagi lo bakal jadi milik gue ...” Ups! Ryo tak akan bermain drum. Hanya orang gila yang bermain drum saat panas siang seperti ini. Pelan sekali ia mendudukkan pantat di kursi. Lalu ditariklah handuk kecil berwarna pink yang tersampirkan. Terdengar gemerincing kecil simbal karena tersentuh. Digenggam erat lalu dibawa pergi. Dibantingnya tubuh di kasur dan membayangkan peristiwa di Taman Poci. Matanya terpejam sembari menyimpulkan senyum riang. Dicium mesra handuk itu. Matanya kembali menyala. Punggung dan kepalanya terangkat. Tring ....!! Kepalanya mengangguk pasti. Rencana telah disusun rapi. Apalagi kalau tidak untuk mendapatkan sang pujaan hati. Direbahkan lagi tubuhnya berotot itu dengan tangan masih menggenggam handuk. Sekali lagi matanya terpejam. Pulas.


*


Angin sore mulai menyapa. Panas siang nan menyengat sedikit berkurang. Meski masih menyilaukan mata. Nyanyian burung agak berkurang. Keramaian mulai tampak di Taman Poci, begitu pula di dalam tobong. Mereka sibuk gladi resik. Para ibu tengah menyapu panggung pementasan. Lelaki yang tak ikut bermain sibuk mendekorasi panggung sesuai cerita yang akan ditampilkan. Dalam tobong, Rindi sibuk membuat ...... yang terbuat dari ........


(belum Selesai)

KETERANGAN GAMBAR:

Ken Ayu Laras Queena adik mbontotku








Jumat, 10 Oktober 2008

PELANGI TIGA MINGGU

Pelangi Tiga Minggu
Cerbung : Ken Ratu


GELISAH, bingung. Begitulah suasana ruang Kepala Sekolah (Kepsel) SMP N Wiratama. Riuh suara murid-murid di luar ruangan membuat Kepsek dan guru-guru tambah kèder. Mereka bingung lantaran murid-murid meminta kebebasan berekspresi dalam soal penampilan dan mode rambut.
Kepsek menganggap itu semua menyalahi aturan pemerintah. Ketua OSIS beserta pengurus yang demo keberanian. Bermodalkan mental baja dan keyakinan, mereka merangsek masuk ruang Kepsek. Tujuh orang berhasil menerobos.
“Bagaimana, Pak? Bisakah bapak memenuhi permintaan kami?” tanya Ketua OSIS.
Mendengar pertanyaan dari mulut mungil bocah yang selama ini dibangga-banggakan, Kepsek diam termangu, menundukkan kepala. Lama. Sementara itu di luar sana, gema melodi dialog murid-murid terdengar syahdu. Seperti dalam skenario film. Saling bertanya-tanya.
“Kalau bapak tak memenuhi permintaan kami, berarti bapak tak mencintai seni apresiasi yang selama ini diajarkan oleh guru kesenian” kata seorang di antara nereka disambut teriakan “Betuuuul” teman-temannya.
Kepsek tetap diam. Lalu...dia menengadahkan kepalanya dengan memasang raut penuh kebingungan. Tak pernah sedikitpun dia menyangka semua ini akan terjadi. “Uhh..... betapa sulitnya menjadi kepala sekolah”. Mungkin itu yang ada dibenak Kepsek Drs. Bima Stalasiano.
“Bukankah kalian tau itu melanggar peraturan pemerintah?” tanyanya lemudian, didukung anggukan guru-guru.
Tegas pula ketua OSIS menjawab:
“Ini adalah bentuk apresiasi, kreasi dan menunjukkan jati diri sekolah kita. Kami juga ingin mengembalikan klasifikasi A yang pernah diraih sekolah ini yang sekarang mulai merosot tajam”
Guru BP membela Kepsek. “Menunjukkan jati diri sekolah bukan berarti menjadi berandalan kan?” katanya dengan senyum merekah.
“Berandalan itu kan yang pernah menyentuh narkoba atau minuman keras. Apa merubah penampilan, mode dan gaya bicara disebut berandalan?” jawab Agisha Stanca Various, sekretaris OSIS.
Pasrah Kepsek menjawab, “Ya. Kalian benar”
Di dalam dan ruang Kepsek tak beda. Memanas. Kian memanas. Kepala-kepala murid melongok ke tirai jendela berwarna krem. Kini Kepsek tak tau harus berbuat apa. Dia bukan orang yang pandai berdebat, pidato dan berfilosofi. Raga serta jiwanya tertutup kebingungan. Guru-guru yang lain hanya mengangguk dan geleng-geleng. Mereka benar-benar seperti kerupuk tersiram air. Menciut dan menciut.
Tiba-tiba Kepsek meluncurkan maklumat yang membuat penduduk ruang dinas itu bersuka cita.
“Jadi....” katanya terputus. Semua menunggu. Menahan nafas. Perlahan dia mendesah dan....“Saya penuhi permintaan kalian”
“Yes!” celetuk wakil murid.
“Tapi, kalian harus melaksanakan tujuan semula. Mengembalikan Klasifikasi A untuk sekolah kita” tambah Kepsek buru-buru.
“Tapi, apa bapak yakin dengan keputusan ini?” tanya guru BP yang membuat wakil murid dongkol.
“Saya sudah pikirkan. Ibu tak usah kawatir” jawabnya, mantap.
“Trima kasih, Pak. Bapak telah memberi kami kesempatan berkreasi” kata ketua OSIS lalu mencium tangan Kepsek.
“Kalian juga harus menjadi murid teladan. Jika nilai rapot kalian membentuk simbol lima, kalian akan mendapat sanksi atas perbuatan ekspresi kalian. Setuju?”
“Sanksinya apa, Pal?” Pio bendahara OSIS angkat bicara.
“Kalian akan tahu jika rapot kalian bersimbol lima. Tapi sanksi pasti wajar. Kalian harus menandatangani surat perjanjian yang telah saya buat khusus untuk anak Kelas II dan III yang berkreasi” kata Kepsek sembari menyodorkan sepucuk kertas.
“Bagaimana untuk kelas satu, Pak?” tanya guru PPKN.
“Tidak. Mereka masih terlalu dini untuk berkreasi”
“Ini perjanjian apa, Pak?” tanya Ciquita, wakil OSIS dengan dahi berkerut.
“Perjanjian bahwa kalian mau mendapat sanksi dari saya jika nilai lima dirapot kalian”
Tanpa pikir panjang, mereks menandatangani surat perjanjian, lalu ke luar dengan membawa segenggam surat perjanjian. Tapi mereka tetap menciptakan raut wajah yang penuh kekecewaan. Paras imitasi. Baru lima centimeter pintu terbuka, segerombol bocah langsung menyerbu.
“Gimana? Berhasil ga, Dex?”
Dengan lagak menggeleng, Dexa si ketua OSIS menjawab.
“Em....” Teman-teman yang tadi jadi wakil murid menahan tawa.“Em...... kita...... kita...... Berhasil....!!” ucapnya sembari mengangkat tangan ke atas disambut sorak aduhai hepi sekali.
“Hidup Dexa! Hidup Dexa! Hidup Dexa Zifanindya!!”
“Hidup ketua OSIS kita!”
“Udah.... udah. Mendingan kita ngumpul di kantin, entar gue jelasin adegan menegangkan tadi” kata cewek yamg demen gaya akting Leonardo DiCaprio itu.
“Oke deeehhhh....”

*
SIANG yang panas. Kantin dipenuhi pengurus OSIS dan para ketua kelas II dan III. Dari kelas IIa ada Agisha Stanca Various, kelas IIb Ayra Dhidhana Rhea, kelas IIc Breyzha Agnirizca, dan kelas IId Reyndin Steno. Kelas IIIa Piolandro Agung, kelas IIIb Neryandi Nuari, kelas IIIc Ciquita Ivanayanshi, kelas IIId Queena Restuzira. Ketua OSIS sebagai Penanggungjawab gerakan yang dinamai “bebas erekspresi” itu bertugas memantau “anak buah”.
Kantin layaknya venue konser Peterpan. Berhimpitan. Sesak. Mereka ingin mendengar langsung dari ketua OSIS.
“Lo-lo kudu pada temenanan, ga boleh ada yang guyonan. Ini serius coz membawa nama sekolah kita. “ kata Dexa.
“Tidak hanya itu. Ini juga mempertaruhkan nama pengurus OSIS. So kalo lo-lo pada guyonan, lebih baik bubar.” sambung wakil ketua OSIS.
Mereka riuh.
“Jangan gitu donk, nakut-nakutin aja” ucap Nery. Dia memang penakut.
“Oke. Gue minta sama lo-lo ya? Khususnya para ketua kelas, apa lo-lo sanggup bimbing anak buah lo biar bisa junjung nama sekolah kita?”
“Siap” teriak mereka serempak.
“Why not?” celetuk Brey.
“Oke. Sing pertama, ketua kelas wajib ndidik anak buahé biar jadi pelajar berprestasi. Kedua, tiap kelas harus mbentuk kelompok belajar. Tiap kelompok karepé mau berapa siswa. Tehnik pelaksanaan bebas aturan. “
“What ever aturannya, yang penting bebas” celetuk Ciquita.
“So, lo-lo harus pada tanda tangan in this letter kalo mo pada berkreasi. Pibén? Setuju ora?” celetuknya sambil membagikan kertas.
Mungkin karena ngebet berkreasi, mereka merasa tak perlu membaca surat itu. Sekarang surat itu berubah. Penuh goresan pena pecinta seni. Ternyata tak percuma wakil murid itu beradu argumen dengan guru-guru yang terkenal killer. Tak sepucuk surat pun terbuang.
Selangkah kemudian, ketua OSIS bersama punggawanya ke ruang Kepsek, menyerahkan surat perjanjian. Tak sia-sia jua guru kesenian mengajar.


*


KINI pecinta seni itu sedang tukar pendapat di gerbang sekolah setelah bel tanda pulang menggema.
“Eh, lo mo pake model rambut apa, Gis?” tanya Breyzha ke Agisha sambil terus mengunyah makanan.
“Ga tau neh. Lo seh mo model apaan, Dex?”
“Ana baé wis, pokoké surprise” jawab Dexa enteng sambil meluk Elisa. Beginilah bahasa keseharian Dexa, campur aduk antara Tegalan, Inggris, plus ma bahasa gaul.
Tak lama kemudian mobil Karimun berdekorasi Tazmania berhenti tepat di depan Dexa.
“Wis ya, Fren. Gue mo cabut dulu. Bodyguard gue wis ngamuk-ngamuk nang mobil” ucapnya sembari melambaikan tangan.
Kian lama, mobil Dexa kian menghilang.
“Heh, gue bingung neh mo pake gaya apa?” ucap cowok bernama Cevryl dan grup bandnya yang beranggotakan Pio, Rey, Vibra dan Nery.
“Apa lagi lo, kami juga pada bingung mo gimana. Eh, lo nanya. Percuma deh, sama-sama bimbang” jawab Agisha.
“Dexa mana? Dah cabut? Dia mo pake gaya apaan?” tanya Pio ke Breyzha.
“Mana gue tau? Nanyanya ke gue, mang gue pembokatnya apa!” jawab Breyzha sinis. Maklumlah cewe ini memang ngefans sama Pio. Mungkin dimatanya, Pio itu Fedy Nuril.
Hampir semua frennya pada cengengesan.
“Jelez nih ye,....?” ledek Vibra yang dibalas secuil cubitan oleh Ayra. Ayra takut Breyzha marah sama dia karena polah Vibra sang pacar tersayang.
Pusing memikirkan model rambut, mereka berpisah untuk pulang.


*

SEKARANG pukul 14.11. Di tempat terpisah, Dexa bingung juga. Tak tau apa model yang dia ingin. Dicat aja? “Tuhan....dimanakah engkau? Bantu hamba-Mu yang bimbang ini, donk?” Dexa membatin.
Dengan langkah gontai ia menuju ke garasi mobil. Bukan mobil yang ditargetnya, tapi motor. Ia belum mendapat lampu hijau dari orang tua untuk menggaet mobil.
Cekatan ia memasukkan kunci motor, starter, trus injak gigi dan blas. Tujuannya satu, nyambangi Salon Jingga, tak jauh dari kandang tempat ia tinggal. Hup! Hinggaplah di tempat yang serba jingga itu. Sekian lama ia berbincang dengan para pegawai salon yang kebanyakan wanita ‘jadi-jadian’.
Ia berharap bebannya terkurangi, walau secuil. Tapi nyatanya tak jauh berbeda. Ia malah dibuat pusing oleh gaya ucap banci-banci di salon itu. Akhirnya tersembullah kata yang ia tunggu. Mufakat. Ya, sekarang ia siap dipermak. Mulanya banci itu menumpahkan cairan kriting rambut beraroma mirip aroma jamban.
Mereka tak henti-hentinya mengoceh layaknya burung betet. Sekarang kepalanya diguncang-guncangkan ke kanan dan ke kiri. Kali ini pusingnya bertambah dan bertambah. Rambutnya digulung-gulung dengan roll yang membuatnya teriak.
“Auw... sakit tau! Pribèn sih! Nganggo perasaan lo donk! Lo kira rambut gue sapu ijuk? Jangan kenceng-kenceng tau!”
“Eh, Bo’...! Kalo ga kenceng ntar ga okey jadinya. Udah deh jangan banyak cingcong Ne’.... ntar eke bejek-bejek ni rambut”
“Awas lo kalo rambut gue rusak! Gue jadiin lo cowo tulen”
“Ah, jangan donk, Ne’...?! Eke kan pingin jadi cewe”
“Mangkané nganggo perasaan! Cewe kan lembut, anggun dan berperasaan”
“Ok deh! Eh, Ne’... mo ke party ya? Pake dandan segala”
“Wis kyèh aja ngomong baé, ngko salah! Bawel banget sih lo” kata Dexa geram sembari membolak-balik majalah tentang warna rambut yang matching.
“Ihh... jutek banget! Ntar cepet lanjut usia loh! Eh, situ kok ngomongnya aneh sih? Kombinasi gitu, bahasa apaan tuh? Eke baru denger” celetuknya sambil menyemprotkan hair spray ke rambut Dexa.
“Eh, lo kira bahasa lo ga aneh apa? Lo dah tahu, dah jelas-jelas liat tampang gue. Atas motivasi apa lo panggil gue Ne’? Lo buta apa ya? Tampang masih caem gini diundang Ne’! Lo kira gue embahmu? Kalo gue jadi simbahmu, gue ga sudi punya cucu kaya lo. Memalukan negara!”
“Ya udah, Eke minta maaf. Abis Eke ga tau nama situ sih.......”
“Mangkané lo takon oh....?”
“Ih, Eke selalu salah mulu sih? Nama situ sapa?” gerutunya sembari menutup rambut Dexa dengan tudung rambut. Panas. Sesak. Mengganggu.
Satu jam sudah ia lalui dengan tingkah polah banci-banci. Kini ia dibuat boring karena harus menunggu beberapa menit agar cairan berbau jamban itu meresap ke dalam pori-pori rambut dan gulungan itu menjadi kuat. Tahan lama. Untuk beberapa bulan atau mungkin tahun.
Satu jam lagi telah ia lalui. Kini banci itu melepas tudung rambut. Lega. Bau jamban sedikit berkurang. Gulungan rambut satu per satu dilepas. Mahkota Dexa telah menjadi indah. Menggemaskan. Imut. Seperti sosis.
Banci itu kemudian mengambil segulung rambut Dexa dan mulai mengecat dengan warna ungu. Lima gulung sudah dan hanya lima gulung rambut, agar terlihat indah. Kini rambut Dexa hitam dan ungu. Mempesona kayak bidadari dari kayangan.
Selesai sudah ia dipermak? Oh... belum. Disemprot hair spray lagi. Ya, selesai. Satu jam lebih ia dipermak. Tapi tak percuma. Hasilnya mengagumkan. Memuaskan. Mirip Bella pemain film Virgin.



*

DEONDRA telah siap dengan rambut bondingan kuning. Sebelumnya ia hampir mengalami hal yang sama dengan Dexa. Tapi masih parah Dexa karena harus menghirup parfum jamban dua jam lebih. Rebonding pilihan yang tepat buat Deo karena ia bocah feminin, anggun dan lugu.
Mulanya rambut ikal Deo dicream bath. Lalu dikeringkan. Vitamin rambut dibubuhkan perlahan-lahan kemudian mencampur. Ternyata bukan tubuh kita saja yang perlu diberi obat bila tak sehat. Rambut juga. Obat rambut itu berbentuk cream, dioleskan ke rambut.
Kemudian karyawan salon memungut papan kecil-kecil yang telah dilumuri obat. Persis dengan obat tadi. Papan itu terbuat dari fiber glass. Rambut hitamnya dicetak oleh papan-papan itu. Bergelantungan. 45 menit. Setelah 45 menit. Lalu papan-papan tadi leluar dari sangkarnya karena tugas mereka meluruskan rambut telah usai. Sekali lagi rambutnya dikeramas dan dikeringkan. Vitamin rambut untuk kedua kali dibubuhkan. Terus dicatok dengan alat catok yang mirip penjepit gorengan. Kini ia merasa sakit. Panas. Serasa disetrika. Lalu dikramas lagi. Ia merasa kepalanya benar-benar berada dalam sebuah lemari es. Dingin. Mungkin rambut para artis kita terlihat indah dan sehat karena vitamin. Jadi, rambut Deo ditumpahi vitamin lagi.
Ia sungguh merasa iba pada rambut ketika alat pencatok itu kembali menyentuh. Mungkin jika rambut bisa bicara, pasti marah pada karyawan itu karena telah mencelakainya. That is imposible. Untungnya setelah itu kepalanya langsung diceburkan ke bak kramas lagi. Dan berkuranglah rasa sakit itu.
Dexa hanya lima gulungan. Deo mengeblok warna rambutnya seluruh. Ia juga mengubah model rambutnya bergaya segi mandarin. Ia lebih beruntung karena tak bertemu dengan wanita jadi-jadian. Ia menyambangi Salon Yohanes yang karyawannya kaum hawa. Selain itu ia juga termasuk pendiam. Tak banyak bicara. Setelah dicat, rambutnya dibubuhi jell. Kini ia siap menghadapi hari esok dengan senyum merekah. Sekarang ia sedang berlenggak-lenggok di depan cermin oval.


*
AGISHA belum berubah –sama sekali. Dia masih bingung. Dia ingin mengubah rabut dengan gaya nyemo. Tapi menimbang-nimbang niatnya itu dan tersembullah kata murahan alias tak dramastis. Akhirnya dia putuskan tak merubah diri dahulu. Ia ingin melihat model teman-temannya besok.

*

REY di sebuah salon elit. Bercitra Jepang adalah pilihannya. Ia memilih bergaya indies, mullet digabung dengan gaya mohawk. Agar tak terlihat biasa dan membosankan, salah satu bagian sampingnya dipertipis dan diberi aksen garis zig-zag atau huruf Kanji yang di Jepang masih ngetren. Gaya itu hampir mirip corak tato. Rambut Rey dibubuhi jeli agar terlihat lebih keren dan modis.
“Hari esok? Siapa takut” batinnya sembari menatap diri di cermin salon. Sebelumnya ia mengutip gaya dari sebuah majalah Jepang: Japannese street style.

*

RAMBUT panjang Ayra kini terlihat lebih pas. Wajahnya yang mungil membuat karyawan salon memberi solusi agar bergaya model mullet panjang. Dengan memotong bagian atas lebih pendek, wajahnya tampak lebih fresh. Ia juga merubah warna rambutnya dengan warna blue-black. Ia memilih merk cat yang populer: Wella. Kini ia sedang meminta komentar dari ayah dan ibunya di ruang keluarga rumahnya. Kedua orang tua khawatir jika anaknya akan merasakan panasnya ruang BP ketika merubah gaya rambut yang lebih nakal alias melanggar peraturan pemerintah. Kemudian dengan panjang-lebar wanita yang tak menyukai teh ini menjelaskan kenapa ia berani merubah dirinya lebih nakal. Orang tua Ayra mengerti dan mengatakan:
“Terserah kamu lah”

*

SEDANG Piolandro bass band sekolah yang personelnya keren-keren, memilih model yang tak terlalu neko-neko. Kurang lebih modenya sama dengan gabungan mullet dan mohawk, hanya rambut dibiarkan panjang. Di sini permainan wax banyak dibutuhkan. Ia juga menambahkan highlight green dan blok warna. Ia terlihat lebih berani dan modis daripada dulu. Ia berusaha menyelaraskan dengan hobinya ngeband.

*
CEVRYL, sama sekali tak memikirkan hari esok. Ia hanya berpikir bagaimana caranya biar Deo jatuh cinta sama dia. Pasalnya udah tiga kali dia ngungkapin perasaanya, jawabanyang sama pula selalu dilontarkan Deo.
“Sorry, gue belum siap untuk itu” Tapi dasar tebal muka si Cevryl ini, udah ditolak masih saja mengharapkan Deo. Lalu gimana Cevryl menghadapi hari esok?


*


DUA anak ini beda. Ciquita dan Breyza masih asyik membicarakan tentang pacar baru Brey. Mungkin dalam otak mereka hanya ada satu kata yaitu laki-laki. Sampai-sampai mereka lupa dirinya sendiri. Tak pelak banyak teman yang menasehati. Tapi mereka hanya menganggap nasehat itu layaknya istilah dalam pemainan monopoli. Hanya lewat. Mereka sedang tiduran di kamar Ciquita dan sesekali terdengan suara gelak tawa mereka renyah sekali. Mungkin mereka akan menyesal esok hari karena temen-temannya tampil modis.


*


KEDUA laki-laki ini sedang latihan band. Kadang terselip tanya jawab tentang nasib mereka besok pagi.
“Kita liat aja gaya anak-anak laen besok pagi. Kan gampang” kata sang melodis, Vibra. Jawaban yang benar-benar membuat Nery sang drummer setuju. Mereka berjanji akan pergi ke salon bareng. Karena Nery merasa risi jika ada di dalam ruang yang hampir semua penghuninya kaum hawa. Paling-paling segelintir kaum adam di sana.


*


SEJAK tengah malam, hujan mengguyur Kota Tegal. Hujan pun tak merasa puas hanya dengan semalam. Ia tetap menderas sampai pagi hari. Tepatnya sampai fajar sidiq. Alhasil waktunya anak-anak menimba ilmu dihiasi selimut awan kelabu dan mega mendung. Adem sungguh hari ini.
Para tukang becak berbondong-bondong mengayuh becak, agar mereka tak pulang dengan tangan kosong dan terhindar dari omelan istri-istri matre. Buruh tani segera bangun dari tidur nyenyak semalam mengingat sawah telah menanti sedari tadi. Nelayan Pantai Muarareja segera melempar jaring ikan ke laut. Uh... panorama nan memusingkan. Menatap orang yang berlalu-lalang di jalan karena terlambat ke sekolah, ke kantor atau hanya sekedar jalan-jalan pagi.
“Bunda, aku mangkat dulu” sebuah suara melesat, dari anak remaja yang terlambat sekolah. Asal suara itu dari sebuah rumah mewah milik seorang notaris ternama.
Dexa menggenggam sekerat roti keju. Dan ketika melongok jam tangan menandakan waktu berangkat sekolah terlambat, ia lari. Untung saja lokasi sekolahnya tak jauh. Ia merasa tak perlu mengeluarkan bensin. Hampir semua makhluk yang menyaksikan kehadirannya memandang heran. Segerombol anak muda yang sedang nongkrong-nongkrong, mengucapkan kata yang benar-benar membuatnya sadar.
“Eh, liat tuh cewe yang lari kaya dikejar maling. Gila! Dandanannya modis banget!” ucapnya sembari nglutik teman segengnya, tengah asyik ngobrol tentang blue film yang mereka tonton semalam.
“Wah iya tuh! Berani banget. Ga takut masuk BP tuh” jawab teman yang lain diikuti kalimat heran teman-temannya.
“Ck, ck, ck.... salut gue. Dapet acungan jempot tuh cewe” celetuk seorang laki-laki yang merokok dan termasuk anggota geng sembari geleng-geleng. Dan dijawab temannya lagi:
“Cewe gini yang gue demen” ucap personil yang lain sembari terus manatap heran ke arah Dexa.
“Huuu,...........” begitulah jawaban yang lain dan langsung dipotong:
“Lo mah ga usah dia. Kambing punya tetangga aja lo samber juga” Personil yang lain tertawa murah.
Sebuah bangunan baru karena telah direnovasi sebagai saksi perjalanan hidup Dexa. Sebuah lapangan basket yang biasa penuh pengunjung sore hari. Laboraturium lengkap biasa digunakan untuk menjadi seorang ilmuwan. Dan ruang kesenian yang tak pernah sepi. Memang hampir semua murid sekolah ini menggemari dunia musik tak perlu heran. Lapangan depan berpaving ini dipakai untuk upacara. Dua belas kelas untuk menimba ilmu. Sekolah ini benar-benar rapi, bersih dan nyaman.

*


SATPAM hampir menutup gerbang sekolah bertingkat dua itu. Mungkin lima centimeter lagi gerbang akan menolak siapa saja murid yang hadir. Dengan berjuta-juta alasan dan raut wajah memelas. Luluhlah hati satpam. Namun kecemasannya tak hilang. Dengan mengendap-endap ia melewati kelas-kelas yang telah terisi guru. Sebuah suara mengagetkannya. Suara guru BP.
“Mati gue! Reputasi gue terancam mudun” ucap batinnya dengan alunan nada dag, dig, dag, dig. Dan sebentar lagi duarrr! Dengan bibir bergetar ia menoleh. Keringat dingin. Kecemasannya bertambah-tambah ketika Bu Desi mengintrograsi. Lagi-lagi ia harus mengarang cerita. Satu hal yang membutnya bingung. Sedari tadi guru itu hanya menatap, tanpa mengurusi cerita fiksinya.
Tiba-tiba Bu Desi berucap, “Kamu kelihatan cantik dan anggun dengan tampilan seperti ini. Apalagi model baju kamu yang membentuk lekuk tubuh”
Dexa lega.
“Apa, Bu? Cantik? Anggun? Saya ga salah denger kan?”
“Iya. Kamu tidak salah dengar. Saya rasa telinga kamu masih normal” jawab Bu Desi sembari menyuruhnya masuk kelas.
Dalam perjalanan ke kelas, ketua OSIS itu mengigau. Ia baru sadar kalau hari ini hari eksperimen rambutnya. Baju itu salah pakai. Itu baju waktu ia kelas dua SMP yang sekarang terasa sesak. Tak dinyana memberikan nilai plus. Untung!
Kelas riuh. Semua anak berbagi resep model. Di kelas lain juga begitu. Ada yang menganggap temannya curang karena belum merubah penampilan, ada yang menanyakan di mana salon atau apa merek cat rambut. Begitu masuk kelas IIId, hampir semua anak menatap heran.
“Selamat pagi, ratu kami. Dexa Zifanindya. Anda datang terlalu pagi” ucap Nery.
“Ah, rese’ lo! Gue abiz mlayu-mlayu tau!” jawabnya kesal dan melempar badannya ke kursi kayu.
“Wuzz, keren banget lo hari ini. Model apaan tuh? Ko rambut lo jadi kaya per-peran gitu?” tanya teman sebangku Tirani.
“Eh, Tir! Lo ayu nemen sih hari ini?” tanya Dexa ke Tirani yang rambutnya berwarna perak dan bermodel bob panjang.
“Ah lo! Gak usah ngrayu gitu deh” jawabnya sembari menepuk pundak Dexa. Seorang cowok tiba-tiba nimbrung. Geo namanya. Dia usul, dalam rangka merayakan bebas ekspresi perlu party.
“Tapi gue blèh nduwé waktu. Sibuk. Lo gelem ngatur?”
“Ok deh! Biar gue, Tirani, ma anak-anak yang lain yang ngurusin. Pasti pada setuju” ucap Nery.
Dexa mengiyakan. Tiba-tiba guru Sejarah hadir dan menyapa murid. Sebelum pelajaran dimulai Bu Vina berkomentar.
“Hari ini saya mengajar dengan suasana hati yang gembira. Kelas terlihat lebih hidup dengan warna-warni rambut kalian yang, waah...!”
Wajah anak-anak memang lebih fresh dan unik. Bukan hanya gaya rambut yang berbeda, tapi juga model pakian, termasuk aksesorinya. Ah ya, hampir semua mengenakan rok mini.
Pelajaran dimulai. Setelah guru menerangkan, murid-murid bebas bertanya. Ada satu pertanyaan yang mengganjal dalam otak Dexa. Maka dengan memberanikan diri, ia bertanya tentang kegundahan hati yang lama ia pendam.
“Maaf, Bu. Sebenarnya apa sih perlunya kita mempelajari hal-hal yang telah lama terjadi? Bukankah kita akan menyongsong masa depan?”
“Pertanyaan kamu aneh. Kamu benar, kita akan menyongsong masa depan bukan masa lalu. Tapi kamu harus tau latar belakang negaramu ini. Dengan begitu, kamu dapat mengetahui apa yang harus kamu lakukan agar negara ini maju, biar tak salah melangkah” ucap Bu Vina.
Tak lama kemudian, jam ganti pelajaran bernyanyi nyaring. Sebelum pergi, Bu Vina bertanya.
“Habis ini pelajaran apa, anak-anak?”
“Kesenian, Bu!”
“Wah! Pelajaran favorit nih”
“Tau aja sih, Bu” sahut Wening.

*

LIMA belas menit sudah kelas dibiarkan kosong dan berubah menjadi pasar loakan. Saling tawar. Ramai. Tak berapa lama, guru yang selalu menyapa murid dengan senyuman itu telah berdiri sedikit bersender di pintu. Serentak murid diam. Tak ada satu notasi nada yang didengungkan. Tak ada tingkah polah anak yang seringkali membuat guru harus mengelus dada. Guru satu ini memang aneh. Meski murid ribut, tak pernah dia marah. Pak Joni, namanya. Ia hanya mengeluarkan kata yang membuat murid tak jera.
“Apa jualannya sudah laris, Bapak Ibu?” ucapnya sembari berjalan pelan menuju meja guru. Mungkin bukan hanya muridnya saja yang akan tertawa mendengar ucapan bapak tiga anak yang bergelar Drs itu, tapi orang lain.
Jika ada muridnya yang bertanya kenapa dia tak pernah marah, santai dia menjawab:
“Untuk apa marah? Hanya membuang tenaga. Anak seusia kalian harus dihadapi dengan candaan, senyuman, dan kesabaran. Bukan dengan ketegangan, kemarahan, dan lain-lain. Toh ini hanya mulok yang tak pernah atau bahkan tak mungkin diikutsertakan dalam ujian nasional. Hidup ini cuma sekali, jika kita tak pandai memanfaatkannya penyesalan akan mengikuti kita. Saya juga sudah hampir tutup usia. Kalau saya marah-marah terus, termasuk melawan kehendak Tuhan. Jelas?”
Tiba-tiba sebuah pertanyaan meluncur dari bibir sensual Dexa.
“Pak, saya tak mengerti maksud bapak melawan kehendak Tuhan?”
Riyan yang duduk persis dibelakangnya menyahut.
“Bego banget sih lo, Dex! Dasar telmi!”
“Emang lo tau maksudnya. Ora usah keminter kyèh!”
Dengan bijaksana guru itu membela murid kesayangannya. “Benar kata Dexa. Memang kamu tau maksudnya? Coba jelaskan pada temanmu, barangkali ada yang kurang jelas”
Riyan hanya tersenyum, malu. Dexa tersenyum, tipis dan sinis. Riyan tengak-tengok kiri kanan mencari jawaban. Tapi ternyata tak seorang pun tahu.
“Makannya jangan mengejek” kata Pak Joni lalu menjelaskan dengan bahasa singkat penuh makna. Tak lepas dari candaan. Intinya: “Jika kita terlalu sering marah, penyakit tua akan kambuh dan tentu atau mungkin dapat mempercepat kematian”
Di tengah keceriaan, bel istirahat berdentang. Pak Joni meninggalkan kelas setelah berucap salam. Murid-murid berlarian ke koridor, melihat tampilan teman mereka yang lebih bergaya. Kelas kosong. Kantin sesak.
Di antara mereka, Brey dan Ciquita bete karena dimarahi teman-temannya, karena mereka belum berubah. Lalu juga Vibra dan Nery.
“Curang lo!” ucap Dexa penuh emosi.
“Emangnya cuma gue yang belum? Kan ada Ciquita, Cevryl, Agis, Vibra dan Nery. Ngapa cuma gue yang dimarahin?” jawabnya enteng sembari nglirik ke tersangka lain.
Sambil nahan emosi Dexa berucap, “Iya, nyong ngerti! Tapi gue lagi nanya ma lo!” ujarnya sambil nuding Brey.
“Iya, iya. Gue tau gue salah, gue minta maaf deh? Gue janji besok pasti ada perubahan. Suer deh!” ucapnya mohon-mohon maaf.
“Ok! Gue maafin lo kali ini. Tapi misalé sèsuk gak ada perubahan, nama keanggotaan lo dari ekspresi ini gue hapus” celetuk wanita yang berzodiak Scorpio ini tegas dan dijawab anggukan pasti sama Brey.
Ternyata bukan cuma satu yang dimarahin. Satu persatu tersangka itu diintrogasi. Dan bukan Dexa aja yang menghakimi mereka, tapi hampir semua anak di kantin. Yang berhak menghakimi tentu udah pada dipermak semua. Hampir semua alasan mereka sama, yaitu bingung. Tapi apa pun alasan mereka yang penting besok wajib pada berubah.
Puas meluapkan emosi sama bocah-bocah yang tak berevolusi itu, Dexa menanyakan kembali usulnya soal party. Dalam rencana Dexa, hari Rabu depan ia akan membuat membuat pesta besar-besaran di aula sekolah. Tanpa babibu mereka setuju. Tiba-tiba Dexa menampik semua ucapannya tadi dan berkata, “Tapi biayané pribèn?” “Gimana kalo kita iuran. Tiap anak paling rendah Rp 50.000,00. Setuju?” ucap Agis yang bikin jantung Dexa hampir melayang.
“Rese banget sih kowen! Jantung gue mo copot tau!” ujarnya sambil mendorong tubuh subur Agis.
“Iya sori....”
“Tapi usul lo masuk akal juga, Gis” dukung Deo. Anak-anak yang lain awruju.
“Tapi gimana kalo anak yang kebetulan gak mampu?” tanya Pio mengangkat bahu dan mengerutkan kening. Semua diam.
“Ya, udah kalo bener-bener ga mampu ya semampunya aja. Oke! Tapi kalo yang lagi banyak doku, bisa ngasih lebih, .........” usul Cevryl.
“Oke, setuju” potong Deo. Dan yang lain setuju.
“Iuran kiyé berlaku nggo anak kelas II n’ III aja” kata Dexa.
“Tapi Dex, akhir-akhir ini sekolah lagi disibukin acara ultah sekolah. Dan kita sebagai anggota OSIS gak mungkin berpangkutangan” ucap Agis mengingatkan. Lagi-lagi Dexa dibingungkan oleh tanggung jawabnya sebagai ketua OSIS dan ketua geng bebas ekspresi ini. Ia diam membisu.
“Ya udah kita-kita aja yang ngurusin. Lo berdua ngurusin acara sekolah aja deh. Tapi yang ngumumin ke anak kelas III lo aja, Dex” ucap Ayra.
“Entar lo bisa gabung ma Tirani n’ Geo yang mau ngurusin party ini coz tadi gue dah bicara ma mereka berdua n’ mereka mau bantuin kita” ucap Dexa menjelaskan.
“Tumben banget lo ngomong ga pake bahasa aneh yang lo sering ucapin itu, Dex?” canda Ciquita.
“Ah, lo! Teliti banget sih?”
“Oke, selesai” ucap Agisha.
“Ya udah, istirahat kedua anak-anak suruh kumpul di aula” kata Dexa sambil ngeloyor pergi ke kelas karena bel tanda usai istirahat bernyanyi. Kantin pun kini bak kuburan. Sepi.
Koridor sekolah tak seperti saat istirahat tadi. Koridor sampai tak terlihat oleh mata, karena dikerumuni anak-anak pemberani. Kelas jadi penuh anak-anak yang telah berjanji akan mengembalikan klasifikasi A pada sekolah ini. Tak percuma Kepala Sekolah memberi kebebasan. Kini murid-murid lebih semangat belajar. Tak ada lagi bocah membolos di kantin, tak dijumpai anak-anak yang asyik menghisap rokok.



*


BAGIAN DUA


BERBAGAI pelajaran kini menjejali otak murid. Para guru memang sedang mengejar materi pelajaran, karena dua bulan mendatang ujian semester dua. Dan anak kelas tiga, setengah bulan lagi akan menghadapi ujian nasional. Anak-anak dituntut untuk menanyakan materi pelajaran yang belum jelas. Dan dengan senang hati para guru akan menjelaskan kembali.
Dexa dan Deo di dalam kelas sibuk dengan pelajaran Bahasa Inggris. Sang guru sedang menjelaskan tentang tata cara membuat karangan dalam Bahasa Inggris. Vibra dan Cevryl yang tampak sedang ngobrol asyik, mereka tak mempedulikan Mr. Sony yang sedari tadi mengoceh. Deo asyik menulis catatan pelajaran bapak beranak satu itu.


*

HAL serupa ada di kelas sekretaris OSIS, Agisha. Ia tengah mengerjakan soal Fisika Bu Heni di papan tulis. Rupanya ia tak sanggup. Ia memutar kepala ke makhluk di belakangnya. Meminta bantuan. Namun ia tertangkap basah oleh sang guru dan berdirilah selama satu jam di depan kelas sembari menunggu malaikat datang menolong. Malaikat itu teman-temannya sendiri, sebab ia baru boleh duduk jika ada teman yang dapat mengerjakan soal. Bersyukurlah sang malaikat datang dan melepaskannnya dari jerat hukuman yang diberikan oleh wanita yang tampak sudah beruban itu.

*

DI kelas Pio, segerombol anak sedang diskusi pelajaran Matematika tapi dalam suasana santai. Memang begitulah cara Pak Reza mengajar, membiarkan murid berdiskusi dan bertanya bila tak dapat mengerjakan soal. Tapi guru satu ini adalah guru ter-killer diantara guru-guru di SMP Wiratama.

*

LEBIH santai lagi kelas yang terkenal raja ribut, kelas Ciquita miss gosip. Dalam kelas yang bersebelahan dengan laboratorium ini tak sebatang tubuh renta. Hanya ada sekelompok anak yang sedang ngobrol dan mengomentari dandanan teman. Kelas ini hampir tak terdidik karena guru-guru malas mengajar di dalam kandang beo. Bayangkan saja jika ketua kelasnya Ciquita, pasti kelas itu kelas cibiran para guru. Lalu, bagaimana Ciquita memenuhi tanggung jawabnya sebagai wakil geng kelas IIIc dalam bebas ekspresi?
*

“WOW! Kelas ini kaya pelangi ya?” kata Kepsek ketika mengajar kelas IIb. Selain menjabat sebagai kepsek, ia juga mengajar Bahasa Indonesia di kelas II. Guru satu ini terkenal sabar, lucu, dan bijaksana. Jika ia mengadakan ulangan, hampir setiap murid dapat bersontek-sontekan. Ia terlalu percaya pada anak didiknya. Senangnya jika kita masuk ke dalam anggota yang diketuai Ayra. Pasti nilai ulangan tak pernah kurang dari tujuh. Sekarang Kepsek sedang menjelaskan hiponim dan hipernim.

*
AKAN kita temukan kelas yang sedang asyik mengolah vokal di ruang seni. Kelas di bawah pimpinan Brey ini lagi mengikuti pelajaran seni musik. Tapi tak diajar Pak Joni karena Pak Joni mengajar Seni Ketrampilan. Kali ini yang mengajar Bu Cici. Guru pindahan dari SMP N 8. Guru ini sangat pelit suara. Tak jelas. Tapi ia sering marah jika ujian praktek tiba, anak didiknya tak dapat mengerjakan. Padahal jelas-jelas ia yang salah. Tapi selalu murid yang jadi korban. Baiknya, dia tak pelit dalam memberi nilai.

*

KEJADIAN panas ada di Rey. “Kalian selalu membuat para guru marah! Apa itu hobi kalian? Bisa gak sih kalian memperhatikan saya mengajar? Kalian memang murid yang selalu menyepelekan pelajaran Agama!” ucap Bu Fatimah. Murid-murid diam menunduk.
“Kamu juga, Rey! Kamu gak bisa ngatur kelas kamu sendiri? Lalu apa gunanya kamu jadi ketua kelas? Simbol saja? Saya benar-benar menyesal sebagai wali kelas telah memilih kamu. Kamu kecewakan saya, Rey! Lalu bagaimana kamu melaksanakan tanggung jawabmu sebagai wakil geng ekspresi bebas kalau urusan begini saja tak dapat ditangani?”
“Uuh, ..... susahnya jadi ketua kelas, selalu disalahkan” batin Rey.
Tiba-tiba guru berkerudung itu meninggalkan kelas tanpa pamit. Murid-murid saling menyalahkan. Duh, apakah Bu Fatimah bersedia mengajar kelas IId lagi?


*

CANDA tawa menyelimuti kelas IIIb, karena jam Pak Joni mengajar. Tak ada yang panas. Yang terlihat hanya seorang guru yang berjalan-jalan mengitari kursi murid sembari mendongengkan riwayat hidupnya. Lalu gelak tawa yang sering mengganggu kegiatan belajar di kelas sebelah. Tapi guru satu ini seolah tak perduli.
Ya, itulah panorama di sekolah yang mendapat gelar SSN (Sekolah Standar Nasional). Sekilas kegiatan belajar mengajar tak jauh berbeda dari sekolah lain. Tapi mengapa sekolah ini mendapat gelar SSN? Tak lain karena dulu anak yang bersekolah di situ berotak tinggi. Tapi sudah tiga tahun terakhir, peringkat sekolah turun. Yang semula satu, kini tiga.
Tet, tet, tet! Jam istirahat kedua berdentang. Melegakan hati murid-murid SMP Wiratama, khususnya bagi anak kelas IId. Tak perlu menunggu lama, anak-anak langsung menyerbu aula. Aula kini penuh warna. Seperti gulali. Ya, memang jam itu anak-anak ekspresi bebas diminta kumpul oleh Dexa. Maka kini tambah rame dibanding jam istirahat pertama. Hampir 160 siswa duduk bersila di ruang yang hanya digunakan untuk rapat orang tua siswa itu. Berdiri memandang aula adalah kegiatan yang kini dilakukan para guru. Para pengajar itu hanya geleng kepala ketika ketua geng meminta anak bengal untuk diam. Dan simsalabim! Diam semua.
Dexa bicara tentang pesta besar-besaran, biaya iuran, panitia pengurus pesta, sampai rencana kegiatan. Semuanya diulas jelas oleh Ketua OSIS dan teman-teman. Dan pertanyaan terakhir yang diucapkan Ketua OSIS itu adalah:
“Setuju?” Dexa berujar: “Setuju?” Spontan mereka menjawab, “Setujuuuuu!”
Aula pun nyenyet kembali. Kini kantin yang menjadi pelangi. Geng Dexa juga di sana. Mereka sedang menikmati sekaleng soft drink dan camilan. Sesekali mereka mendengar anak-anak kelas I berdecak kagum melihat tingkah mereka.
“Eh! Kenapa lo-lo masih ngejongok di sini? Lo gak liat adik kelas kita lagi pada demo depan kantor Kepsek?” teriak Vibra setengah lari.
“Sing bener kowen? Aja ngaco kyèh “ reaksi Dexa.
“Masa gue bokiz sih. Kalo ga percaya, ikut gue aja sekarang” ajak Vibra. Tanpa nunggu perintah lagi, mereka langsung lari mengikuti Vibra.
Siswa kelas II dan III telah berkumpul menyaksikan peristiwa itu. Hampir seluruh siswa kelas satu berteriak: “Kepala Sekolah gak adil, Kepala Sekolah gak adil!” teriak sang provokator. Disambut suporter yang setia mendampingi. Kepsek beserta guru-guru di depan pintu.
“Diam, diam! Tolong beri saya kesempatan bicara” Kepsek angkat bicara. Namun mereka tetap berteriak-teriak. Suasana makin ribut. Kepsek tak tahu cara mendiamkan mereka. Teriakan yang memojokkan Kepsek dan guru makin menjadi-jadi. Dengan berani Dexa maju sebagai wakil Kepsek.
“Dex, Dex, lo mo ngapain, Dex? Jangan cari gara-gara, Dex!” teriak Deo sambil narik-narik tangan Dexa.
Dexa tetap melaju ke mimbar: “Saya tahu apa yang kalian rasakan. Kalian juga tak salah meminta keadilan. Itu hak kalian. Tapi, izinkan Kepala Sekolah dan saya berbicara sepatah dua patah. Setidaknya tentang alasan kenapa kelas satu tak diikutkan dalam aksi kakak kelas kalian kemarin” katanya.
Keajaiban pun terjadi. Bocah-bocah itu langsung diam. Kepaek mulai buka suara:
“Saya minta maaf jika membuat kalian seperti tak diakui di sekolah ini. Tapi saya punya alasan khusus yang tak bisa saya langgar. Saya melakukan ini semata-mata untuk membawa nama baik sekolah”
“Bapak yakin itu membuat nama sekolah kita baik? Saya rasa, Bapak salah besar. Pernah Bapak mendengar cibiran sekolah tetangga tentang sekolah kita?” celetuk diantara mereka.
“Saya malah mendapat kritik dari beberapa pihak, khususnya kepala sekolah lain. Dan mereka memojokkan saya. Saya dianggap melanggar peraturan pemerintah dan membuat anak didik dari sekolah lain menuntut hal yang sama. Tapi setelah bapak jelaskan alasanya, mereka mendukung. Maka saya minta kebijakan kalian mendengarkan penjelasan saya.....”
“Kakak juga curang gak ngajak adik kelas! Apa karena kami terlalu mungil untuk mengikuti tren masa kini?” tanya seorang perempuan.
“Ya, itu salah satu alasannya. Tapi alasan yang paling kuat, bisa disampaikan oleh Bapak Kepala Sekolah,” jawab Dexa tenang.
Kepsek menyambung, “Alasan utamanya, kalian masih harus menempuh kelas II dan III. Sekolah tak mungkin menunggu dua tahun untuk menyandang Klasifikasi A dan menjadi peringkat pertama lagi. Saya mengizinkan kelas II dan III yang mengikuti karena saya anggap mereka telah dewasa dan tahu tanggung jawab mereka apa”
“Kalian kira kakak kelas berpenampilan seperti ini merasa tenang? Gal! Kalian salah banget kalo berpikiran kayak gitu. Kami masih penasaran soal hukuman apa yang diberikan oleh Kepsek dan guru jika ada angka lima di rapot kami” imbuh Dexa.
“Kenapa dapat hukuman?” kata seorang cowok.
“Kami berpenampilan kaya anak nakal gini terikat oleh perjanjian. Perjanjian itu seperti yang tadi Kakak jelaskan. Karena saya sayang sama kalian, kami gak mau kalian merasakan hukuman itu. Kalian kira dua bulan bagi kelas dua dan setengah bulan bagi kelas tiga itu waktu yang efektif untuk mengembalikan klasifikasi A dan peringkat sekolah yang menurun drastis tiga tahun ini? Apa kalian sanggup? Kalo sanggup, Kakak dan Kepsek memperbolehkan kalian berpenampilan seperti ini. Kami janji”
Anak-anak mungil itu saling tanya antarteman.
“Saya dan teman-teman minta maaf pada Kepala Sekolah dan Kakak atas ulah kami. Tak seharusnya kami melakukan ini. Kami rasa, kami tak sanggup.....”
Senyum berkembang di bibir Kepsek dan guru-guru. Dexa kembali berdakwah, “Sering obsesi itu membutakan mata kita. Jadikan ini pengalaman berharga buat kalian” Akhirnya, damailah mereka.
“Sya bangga sama kamu, Dexa. Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan jika kamu tak datang membantu” sanjung Kepsek sembari menepuk bahu Dexa.
“Saya tahu ini akan terjadi. Dan ini bagian dari rencana saya” ucapnya diplomatis dan meminta izin kembali ke kelas.
Saat di perjalanan, “Eh, ngomong-ngomong, Rey maring endi ya?” tanya Dexa ke Ayra.
“Gak tahu tuh! Tadi kan bareng kita. Trus ke mana?”
“Rey lagi minta maaf sama Bu Fatimah, jadi gak bisa balik ke kelas bareng kita” sambung Nery.
“Emangé salah apa sih?”
“Tadi waktu pelajaran Agama, kelas Rey ribut banget”
“Oh, ....” jawab Dexa singkat.


*

SEKARANG mereka harus mengikuti pelajaran kembali. Guru-guru datang agak terlambat karena masih membicarakan demo. Untungnya Dexa menyelamatkan mereka. Tak sia-sia Kepsek memilih gadis bermata indah itu menjadi ketua OSIS atau wakil murid.
Di kelas, teman Dexa tak percaya sahabatnya memiliki keberanian setinggi itu, namun juga bangga. Ah, Dexa memang seperti itu. Selalu melakukan sesuatu yang “di luar kebiasaan” anak seusia 15 tahun. Dia juga tak pernah pilih-pilih teman. Dia bersahabat dengan adik kelas.
Sering mereka bingung oleh bahasa campuran Dexa. Tapi makin lama, mereka dapat memahami kata per kata. Apalagi motivasi Dexa menggunakan bahasa itu mulia. Ia ingin bahasa kota kelahirannya itu menjadi bahasa internasional. Terlalu muluk-muluk memang. Tapi, apa sih yang tidak mungkin terjadi di dunia ini jika Tuhan mengizinkan?
Karena satu jam terlewatkan tanpa belajar, waktu belajar pun hanya tinggal satu jam. Jam pulang bernyanyi merdu. Murid bergegas menata buku dan memasukannya ke dalam tas. Selamat siang atau assalamu’alaikum menjadi penutup acara belajar mengajar di setiap kelas.
“Gis, ngko lo maring my home ya, jam papat?” ucap Dexa di depan gerbang sekolah.
“Mo ngapain sih?” tanya Agis.
“Miki Kepsek njaluk proposal kegiatan ultah sekolah. Sèsuk mesti dijaluk”
“Oke, kalo gak ada halangan”

*


BARU sampai di depan pintu kamar, HP menyanyikan lagu ”Waiting” milik Green Day. Pesan baru. Segera ia baca san kaget karena pesan itu dari nomor HP yang sejak dulu menerornya. Akk mengancam. Malah selalu mesra. Langsung ia kontak dan .... Dexa mendengarkan suara di ujung telpon dengan seksama.
“Nadanya berat sekali! Suara seorang laki-laki” batin Dexa. Siapa dia? Sesekali laki-laki itu tertawa, padahal Dexa tak mendongeng Tom and Jerry. Dexa marah dan menutup telpon. “Dasar gila!” bentaknya. Rupanya si gila itu tak kapok juga. Dia mengirimkan pesan yang romannya merayu. Kini gantian Dexa yang tak pernah membalas. Malas membaca pesan yang tak berguna itu. Dexa menonaktifkan HP. Barulah ia bernapas lega. Sembari melepas kancing baju satu-satu, ia terus berfikir.
“Siapa sebenarnya laki-laki itu? Apa maunya? Tahu dari mana nomor HP dan namaku?”
Seseorang mengetuk pintu kamar. “Non, makan siang” seru Bi Inah, pembantu yang telah 18 tahun mengabdi pada keluarga Dexa hingga ia menganggap seperti nenek. Sambil membuka pintu, ia mengomel, “Bi, senengé ngageti tok sih! Aku lagi nglamun tahu!”
“Hayoh, nglamuni sapa kyèh?”
“Ada deh!” jawab Dexa sembari menerima nampan berisi makanan dan minuman. Sebentar ia memandangi hidangan makan siang. Dengan mendesah pelan ia menutup pintu dan masih terus berpikir masalah tadi. Tangannya menyuapkan nasi ke dalam mulut. Pelan sekali. Kemudian meneguk air putih. Setelah dirasa cacing perutnya sedikit tenang, ia putuskan berhenti makan.
Langkah Dexa mantap menuju meja belajar berwarna coklat. Dengan cekatan ia mengaktifkan komputer. Jari-jarinya lincah membuka aplikasi Microsoft Word. Ia menghentakkan jari di keyboard. Sehuruf-sehuruf ia pencet dan mulai terangkai berbagai kata.
Empat lembar sudah jarinya berkarya dalam bentuk proposal. Alarm weker Tazmania menunjuk angka 15.30. Matanya sayu menahan rasa kantuk. Kadang untuk melepas kantuk, ia memandang jalanan yang terlihat riuh. Ia juga tak segan-segan membanting tubuhnya ke kasur. Penelpon misterius itu terlintas lagi. Tak kuasa menahan matanya yang redup 5 watt, ia tertidur pulas. Mimpi-mimpi indah menggelayut pelan.
Ada yang bergerak maju menghampiri tubuh capek Dexa. Ia memandang komputer Dexa yang masih aktif. Tanpa dosa ia membaca perlahan karya Dexa. Kemudian tanpa ragu dan permisi ia melanjutkan karya Dexa. Ia merasa tak perlu menggugah tubuh Dexa yang tengah memeluk Bugs Bunny.
“Perfect!” katanya yakin. Tak lupa ia matikan komputer. Lalu ia menyobek secarik kertas dan menggoreskan pena: Proposalnya udah slese, Dex. Jangan lupa besok dibawa! Oke? Gw gak tega bangunin lo. Kayaknya lagi mimpiin gw nih, (he3x). Jangan lupa juga kalo bangun usap dulu iler lo (hiks100x). Met istirahat cewek pujaanku, belahan jiwaku, honeybody-ku.. Bye!

Agis.


Ia tempelkan memo itu di monitor dengan selotip putih.
Perlahan malam menggelayut. Dexa terbangun. Mimpinya berakhir. Wajah kuyu. Tubuhnya lemas. Bola matanya seperti memakai lensa merah. Sekejap ia menatap monitor. Selembar kertas. Sekuat tenaga ia baca pesan itu jarak jauh. Tapi tak sehuruf pun terbaca. Tangannya menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Matanya melirik weker dan terperangah. “Apa? Setengah tujuh?” Ia seret sandal dan berhenti di kamar mandi. Tapaknya terdengar gugup. Guyuran air dari kamar mandi mulai terdengar. Dexa kembali dengan balutan handuk. Rambutnya basah. Mukanya fresh. Bergegas ia melepas handuk dan menggantinya dengan pakain layak. Ia menyalakan kembali komputer. Selembar demi selembar, karya tulis mulai dicetak. Saat itu juga ia ke luar dari kamar. Di lantai dasar, ia memungut kunci motor. Tiba-tiba langkahnya terhenti dan berputar 180 derajat.
“Bunda durung balik?” tanyanya pada Bi Inah.
“Durung, miki Bunda telpon katanya pulang malem. Non Dexa jangan lupa makan, pesennya”
“Kapan Bunda telpon?”
“Tadi habis magrib”
“Yo wis, aku lunga dulu. Daaah....”
“Eh, eh! Non pan maring endi? Malem-malem gini kok kluyuran?”
“Mo ke fotocopian bentar, mo njilid proposal” jawab Dexa seraya lari ke luar. Bi Inah geleng-geleng melihat anak yang diasuhnya sedari kecil itu kini beranjak puber. Sesekali ia meneteskan air mata. Air mata haru dan bangga. Tapi ada rasa pahit ketika ia harus mengingat saat Dexa masih balita dan menanyakan di mana ayahnya.
Wanita itu hanya mampu menangis tanpa bersuara. Rasanya tak tega jika anak seusia balita harus menelan pil pahit keluarga. Bahkan sampai saat ini, Bi Inah tak juga membuka rahasia kenapa ia selalu menangis jika ditanya Dexa.
Tak lama Dexa pergi dan kembali ke rumah. Karya tulis itu telah menjadi rapi dan apik. Tak seperti biasanya, dia langsung menubruk meja makan. Disantapnya dengan lahap makanan yang terhidang.
“Bi, udah makan? Sini makan bareng” tawar Dexa sambil terus mengunyah.
“Udah tadi di dapur”
“Kenapa harus di dapur? Di sini juga ga apa-apa”
Bi Inah hanya menyunggingkan senyum khas. Dexa kembali makan. Kini perutnya lebih bersahabat. Dia kembali ke kamar. Dipandanginya HP yang tiduran di kasur. Males mengaktifkan tapi penasaran. Jarinya memencet-mencet. Beruntung, laki-laki itu tak menghubungi.
Krrriiing! Dexa serasa bangun dari matisuri. Setelah menarik napas dalam, dia angkat telpon. “Assalamu’alaikum...” Tak ada sahutan. Dia hanya mendengar lagu Iwan Fals “Ijinkan Aku Menyayangimu”. Secara seksama ia dengarkan lagu itu dan terus berkata: “Halo, ini siapa?” Kesal dia tutup. “Gila!”.
Kini gantian HP-nya berdering panjang. Pesan baru dari penelpon itu masuk. Rupanya pria itu makin lancang. Beraninya mengungkapkan isi hatinya pada Dexa. Mengumbar rayuan gombal pula. Dexa menghapus pesan dan mematikan HP.
Menerka, hanya itu yang dia lakukan. Tapi disangkalnya sendiri terkaan itu. Dia gigit bantal guling yang tak bersalah. Melepas kejenuhan, dia buka tirai jendela yang terayun-ayun oleh angin malam. Di luar sana dia menemukan mobil menggelinding ke arah rumah sebelah. Dari pintu mobil itu muncul pria berkaos biru. Dari pintu lain, turun pria setengah baya dengan hem hijau lumut. Pria berkaos biru itu mencium pipi pria berbaju hijau. Penasaran menggebu-gebu dalam batin Dexa. Pria berhem hijau itu berputar dan membuka pagar rumahnya.
“Oh, my God! Om Rico?” bagai tersambar petir di siang bolong. “Jadi, Om Rico....” Dia benar-benar tak menyangka bahwa tetangganya seorang....Dexa tak tega menyebutkan kata itu. Om Rico adalah tetangga yang paling dekat dengan keluarganya. Uff, kenyataan itu membuat Dexa lupa si penelpon misterius. Tanpa ragu dia mengaktifkan HP-nya. Baru dia sadar temannya telah menunggu Dexa di rumah Ciquita setelah membaca sms Brey. Namun datang ke rumah Ciquita sekarang tak mungkin. Jam di HP membentuk angka 21.48. Dia kirim sms, minta maaf. Tak ada balasan.
Dexa tak langsung tidur. Dia sibuk menerka-nerks siapa si penelpon misterius itu. Muncul kenyataan lain: Om Rico! Mata Dexa kini mulai redup, mengincup, mengincup. Dan akhirnya tertidur dengan tanda tanya menggantung di pelupuk mata. Sebuah mobil memasuki teras rumah Dexa pukul 00.10 WIB. Mobil sedan hitam mengkilat. Sesosok wanita yang terlihat capek turun. Lalu menapaki tangga menuju pintu rumah. Mencet bel, memerahkan telinga Mang Johan si tukang kebun. Tak berselang waktu, pintu terbuka. Wanita itu hendak ke kamarnya, namun terhenti dan belok ke kamar si buah hati. Langkahnya gontai namun pasti menuju kamar bertuliskan “lamar cewe cute”. Dia buka pintu kamar. Lampu telah padam. Dia cari saklar. Dapat! Dia lihat tubuh mungil anaknya meringkuk kedinginan. Dia tutup tubuh anak itu dengan selimut tebal hingga setinggi leher. Dia cium dengan sayang dahinya.
“Selamat tidur, sayang. Semoga mimpi indah bersama Bunda” ucapnya. Kembali beranjak, mematikan lampu dan menutup pintu. Bunda memang sayang sekali pada Dexa. Dexa memang bukan anak semata wayangnya, dia masih punya gadis lagi. Diksi namanya. Tapi anak berumur 20 tahun itu tinggal bersama sang ayah. Keluarga Dexa telah lama bubar.
“Kehancuran keluarga bukan berarti hancur segalanya. Kita akan menyongsong masa depan, bukan masa lalu” begitulah ucapan Dexa untuk mengobarkan semangat hidup bundanya.

*

PAGI masih buram. Bi Inah ke dapur dengan giat untuk menyiapkan sarapan. Nyala api kompor gas menjilat ceret yang sarat air. Di api lain, dia menaruh wajan. Merajang lombok dan bumbu nasi goreng. Dia masukkan ke wajan yang diisi sedikit minyak goreng. Harum menguar, dia memasukkan nasi putih. Dioseng-oseng lama. Dia tuangkan kecap manis. Siap dihidangkan. Ceret itu menjerit. Bi Inah menuangnya ke dalam poci berisi teh. Dan menuangkan lagi ke gelas berisi susu bubuk putih. Susu itu untuk Dexa.
Bunda Dexa bangkit dari tidur lebih dini. Setelah mandi, dia minta Bi Inah untuk membangunkan Dexa. Baru Bi Inah akan naik tangga penghubung kamar Dexa, nona manis nan cantik itu telah rapi dengan tas dibahu.
“Bisané dina kiyé tanginé ésuk kabèh sih?” batin Bi Inah.
Seolah membaca perasaan pembanttunya, Dexa berkata: “Nangapa sih, Bi? Bisané mlongo? Bingung, tanginé ésuk kabèh?”.
Bunda clingak-clinguk. Sama sekali tak paham.
“Iya! Biasanya kesiangan semua”
“Sini, Bi, makan bareng” tawar Bunda.
“Ah makasih. Saya makan di dapur saja”
“Eh, ora olih lunga. Kudu makan bareng. Kalo gak, gak dikasih makan seminggu” ancam Dexa . Bi Inah senyum. Gigi ompongnya sedikit terlihat. Dexa menggandeng raga yang mulai termakan usia. Dia ditarik kursi dan mempersilakan Bi Inah duduk tenang dan makan. Seusai makan, Dexa pamit ke sekolah.
“Belajar yang rajin ya, Sayang. Jangan nakal...”
Setelah mencium Bunda, Dexa berlari membuka pintu. Baru selangkah ke kuar, berhenti dan memandang kembali Bunda dan Bi Inah. Dua wanita di meja makan bergantian menatap Dexa.
“Ada yang ketinggalan? Apa? Nanti Bunda ambilkan” wanita berblazer coklat itu bangkit dari kursi.
Buru-buru Dexa menjawab, “Ah, gak ada yang ketinggalan kok. Dexa cuma mo nanya sama Bi Inah....” Bi Inah malah balik menatap Bu Rena, bunda Dexa. Bunda mengerutkan kening.
“Bi, apa Om Rico itu homo?” tanya Dexa pelan.
“Dexa! Ngomong apa kamu ini? Om Rico itu orang baik-baik!” bentak Bunda.
“Tapi tadi malem Dexa liat dia dicium om-om lain, Bunda”
“Kamu pasti salah liat orang!”
“Tapi, Bunda....”
“Udah, sana sekolah!”
Dexa memutar badan dan berjalan kecewa lantaran tak ada yang percaya.
“Tunggu, Non!” tiba-tiba Bi Inah angkat bicara. Dexa menengok. Masih memasang raut muka kecewa.
“Benar, Om Rico itu....”
“Bibi! Kenapa bela Dexa? Dexa itu ngaco, Bi!” ucap Bunda.
“Gak, Nyonya. Saya sering liat dia dijemput dan diantar pulang laki-laki lain yang cium pipi Om Rico”
“Mungkin aja dia saudaranya” sangkal Bunda.
“Tidak, Nyonya. Pembantu Om Rico yang cerita....”
Mulut Bunda mengganga. Dia berusaha menutup rasa kagetnya sambil menggeleng tanda tak percaya. Dexa menggigit bibir dengan mata melotot.
“Dexa, cepet berangkat sekolah!” perintah Bunda lagi.
Dexa bergegas. Tampak Bunda sangat terpukul. Dia duduk kembali di kursi dengan tubuh lemas dan menitihkan air mata. Setelah kembali tenang, “Saya berangkat kerja dulu, Bi....” katanya sembari berjalan cepat ke garasi. Di dalam mobil, bunda Dexa masih tak kuasa menerima kenyataan tentang Om Rico. Lelaki itu sebenarnya punya istri. Tapi telah satu tahun pergi. Entah kenapa. Bila ditanya, Om Rico selalu menjawab, “Udah gak cocok lagi”. Sekarang Bunda mengerti apa yang terjadi, sekaligus tak bisa menerima “kenyataan” Om Rico lagi.


*



DEXA menyapa teman-temannya di koridor sekolah. Tapi mereka malah melirik sinis. Mungkin lantaran dia tak hadir dalam rapat semalam. Dexa segera minta maaf dan menceritakan alasannya. Mereka pun paham.
“Dex, lo bawa proposalnya ga?” tanya Agis.
Dexa pura-pura merogoh tasnya dan berkata, “Yah, ketinggalan nang meja belajar”
Agis menjulurkan mata kaya buta ijo. Lalu Dexa melanjutkan kebohonganny, “Ya Allah sori, Gis. Tapi enyong temenan ora nggawa”
“Udah deh jangan bokiz! Jangan nakut-nakutin gue gitu,” kata Agis mulai resah. Kemudian ia mengobrak-abrik tas Dexa.
“Rese lo, Dex! Gue deg-degan banget, tahu gak! Puas lo!” bentaknya sembari menjitak kepala Dexa. Teman yang lain hanya tertawa puas atas kejahilan Dexa.
“Auw, ....” rintih Dexa.
“Eh! Lo wis metamorfosis, Gis. Wah tambah ayu kowen” rayu Dexa ketika sadar teman yang menjitaknya berpenampilan baru. Agis tersipu. Mungkin puser Agis sedang berkeliling dunia saking GR-nya.
“Betewe Cevryl, Vibra, Brey n Nery ko belum dateng ya?” tanya Ayra. Yang lainnya melongok gerbang sekolah.
Bel masuk berkumandang. Namun genk Dexa belum masuk kelas juga. Mereka masih menunggu personil yang belum datang. Setengah jam belum juga nongol. Entah di salon mana atau membolos karena belum dipermak.
Yang nunggu pun nyerah, masuk kelas, ketimbang diomelan guru. Mereka omelan guru dunia. Mereka berpisah karena beda kelas. Di kelas masing-masing sempat tengak-tengok jendela. Tapi tetap saja yang mereka tunggu nggak nongol.
Langkah gugup terdengar mendekat. Ketukan di pintu membuyarkan keseriusan Bu Santi mengajar Biologi. Guru berkacamata plus itu membuka pintu. Bola matanya berkedip-kedip seolah ia melihat hantu. Bu Santi yang sedang mengajar di kelas IIIb membukakan pintu untuk anak berrambut landak! Salah satu dari dua anak itu, Vibra, menepuk pundak Bu Santi. Guru itu baru sadar, yang dilihatnya manusia.
“Pagi sekali kamu berangkat! Penampilanmu unik sekali” katanya sambil mengamati Vibra dan Nery dari ujung kaki ke ujung kepala.
“Maaf, Bu. Saya baru selesai dari salon” jawabnya.
Guru itu diam. Belum juga menerima “keanehan” di depannya. Murid-murid berteriak-teriak.
“Banci lo! Masa cowo ke salon!” kata Jerry. Yang lain tertawa keras. Bu Santi tersenyum pelit. Raut muka dua anak itu berubah garang. Mau marah, tapi ada guru. Dexa puas melihat personilnya itu.
“Udah, udah. Sekarang masuk kelas dan duduk tenang” perintah Bu Santi sambil menahan tawa, lalu kembali mengajar. Suasana yang sama mungkin terjadi di kelas IIa, IIIc, dan IIc.


*


BEL ngaso menjerit. Seperti biasa, koridor riuh. Geng Dexa tak nongkrong di kantin, tapi di kelas Ayra IIb. Mereka merumuskan tema pesta lusa. Semua anak berpikir. Diam, tenang, kening berkerut, dan pandangan mata menerawang jauh mencari jejak tema.
“Dapat!” ujar Vibra. Di samping kepalanya seperti ada lampu. Terang. “Kita pakai tema ‘Metamorfosis Ekspresi’ aja. Kan keren!”
“Itu mah kaya yang Dexa omongin waktu pertama liat gue udah berubah mode” sambung Agis dengan nada tak setuju.
“Iya sih.....” desis Vibra.
“Tapi oke juga tuh,” dukung Deo.
Teman yang lain memangdang Deo. Heran.
“Eh, kenapa liatin gue aneh gitu?”
Lalu satu per satu mulai mendukung usul Vibra.
“Dex, tadi lo dipanggil Kepsek, mungkin mo minta proposal,” kata Rey. Dexa diam.
“Dex, lo nglamun?” tegur Brey.
“Ah, e...gak kok. Pribèn, apa temané?”
Yang lain tertawa heran.
“Dex, ada apa? Lo gak biasanya nglamun. Cerita, Dex” pinta Ayra.
Meluncur aja, Dexa cerita tentang Om Rico.
“Om Rico sebelah rumah lo itu?” tanya Cevryl tak percaya.
Dexa mengguk. Bukan hanya Bunda yang tak percaya. Bahkan sobatnya sendiri mengira dia bohong. Lalu ia menceritakan penjelasan Bi Inah. Seperti Bunda, baru kemudian mereka percaya.
“Ya udah! Gue mo nganterin proposal” kata Dexa sambil meninggalkan sonat-sobatnya. Sembari jalan, dia memikirkan perasaan Bunda. Bunda pasti terpukul berat. Dengusnya sambil merogoh saku rok, mengambil HP. Ternyata ia tak mengajak HP-nya belajar di sekolah. Pikirannya kalut memikirkan Bunda sampai bekali-kali menabrak orang atau benda didepannya. Tibalah ia di ruang VIP. Diketuknya pintu yang masih kukuh. Seorang pria ganteng tersenyum. Dexa menerahkan proposal. Menunggu.
“Bagus. Terimakasih, Dexa. Kamu boleh kembali ke kelas” ucapnya dengan tubuh berdiri tegak.
Dexa pamit. Masih terbayang wajah Bunda yang ayu. Dia berdoa agar Bunda tak terlalu tertekan. Barulah dia tenang berjalan. Setiba di kerumunan anak kelas IIb, tak ia temukan satu pun wajah temannya. Dia berbalik dan kembali ke kelas.
Dexa melamun. Bertamasya jauh tanpa tujuan. Bunda, Bi Inah, Om Rico, penelpon misterius, dan pesta. Dexa tak mampu menahan pening. Sebutir keringat terpaku di kening. Dia diistirahatkan kepala di atas meja. Rambut menutupi muka. Matanya meredup.
Bel masuk diputar. Seluruh anak kembali ke kelas seperti hewan-hewan ternak yang usai bermain dan kembali le kandang. Berdesak-desakan. Dexa tak sadar waktu bermimpi telah habis. Ia larut dalam mimpi indah. Mungkin ia sedang berpesta pora di sebuah kerajaan. Sebuah suara mengagetkannya. Dexa terbangun. Mengucak mata. Wow, semua mata tertuju padanya. Dexa tersenyum, pamer lesung pipi. Untung guru belum datang.
Lalu sepanjang pelajaran, Dexa menyandarkan punggung dan membiarkan pikirannya tetep melayang.
“Dapat!” ucapnya sembari menyentikkan jari. Ide cemerlangnya muncul. Tapi suara yang dia keluarkan terlalu menggelegar. Semua kaget, termasuk Pak Dani. Dexa menggigit bibir. Tubuhnya bergeta. Guru Geografi itu menghampiri Dexa.
“Apa yang kamu dapatkan, Dexa?” tanya guru dengan ciri khas kacamata di hidung.
Dexa menelan ludah. “Em... em...”
“Em-em apa, Dexa?”
“Em...nyamuk, Pak. Dari tadi seekor nyamuk mengganggu konsentrasi saya. Jadi saya bunuh. Gitu, Pak”
“Oh....” gumam Pak Dani. Dexa bernafas lega, lalu kembali “mengkurusi” idenya.
“Penelpon misterius? Tinggal ganti nope aja. Om Rico? Emang gue pikirin! Bunda? Ajak ke mall aja. Pesta? Kecil......”


*




BEL istirahan berdentang 10 menit lalu. Dexa sedang diskusi soal pesta dengan teman-temannya di teras aula sekolah. Usulan-usulan ditampung dan disatukan. Jadilah rencana kegiatan yang sempurna. Iuran mulai terkumpul walau masih minim. Paling lambat besok. Setelah jelas soal tugas masing-masing, mereka bubar.
Ada yang lurus mengikuti jalan dan menaiki tangga bangunan kedua menuju kelas, ada yang belok kiri ke kantin, dan ada juga yang harus melewati beberapa ruang kelas untuk ke toilet. Dexa dan Agis lebih memilih kembali ke kelas di ruang atas paling pojok. Mereka menghentikan langkah di ujung ruang. Bukan musyawarah apa-apa, sekadar sharing, tapi serius sekali.
Di kantin Brey, Deo, Cevryl, dan Pio melingkari meja dengan hidangan snack ringan anak-anak TK dan es teh manis. Mereka yang punya tugas meyiapkan makanan. Pio usul soft drink, tapi Deo tak setuju lantaran terlalu mahal. Bagi Deo, lebih baik lemon tea. Brey dan Cevryl tak mendukung sebab susah bawa ke sekolah. Kesal tak menemukan kata sepakat, mereka memutuskan melanjutkan musyawarah nanti sore di rumah Deo.
Di tepi koridor, di depan kelas IIIc, Ayra, Ciquita, Nery, Vibra dan Rey duduk lesehan berembuk soal dekorasi. Tak ada selisih paham. Saling mengisi dan melengkapi. Agar rencana lebih matang, mereka bersepakat berkumpul di rumah Ciquita nanti sore.
Biasanya bel masuk yang bernyanyi, tapi kali ini bel pulang yang berteriak. Murid-murid bergegas menata bawaan dan segera ke luar. Senyum menggembang. Sekolah itu sekarang bener-benar unik. Warna-warni dan aksen rambut yang memukau membuat orang tak bosan memandang murid sekolah itu. Kepsek juga terlihat sering tersenyum melihat anak asuhnya itu. Mungkin ia ingin muda kembali seperti mereka agar bisa mewarnai sekolah.
Dexa kaget melihat Bunda ada dalam mobil dan melambaikan tangan. “Dengarèn Bunda metuk?” batinnya. Dia segera menghampiri mobil yang di parkir di depan taman kanak-kanak. Dia duduk persisis di sebelah kursi setir Bunda. Di perjalanan, dia menatap heran, namun Bunda hanya tersenyum tipis. Beberapa menit kemudian, barulah Bunda bicara.
“Dexa, pasti bingung. Kenapa hari ini Bunda jemput”
“Kok Bunda tahu? Memangnya kenapa?”
“Dari tadi kamu liatin Bunda kayak gitu....Bunda cuma mau minta maaf soal Om Rico. Bunda bener-bener gak nyangka. Maaf ya?”
Dexa tersenyum.
“Gak ada yang perlu minta maaf dan gak ada yang harus dimaafkan. Semua begitu mengejutkan. Dexa juga gak percaya. Tapi hidup penuh misteri kan, Bunda?”
Bunda tersenyum. Mobil berhenti tepat di depan gerbang rumah coklat kehitam-hitaman. Seorang laki-laki membukakan gerbang. Mang Johan, tukang kebun. Ia mendengus pelan sembari menggaruk-garuk kepalanya:
“Tumben jam ayawèné nyonya wis balik” Lalu menutup kembali gerbang.
Dexa segera masuk rumah dan mengganti baju. Di lantai bawah, Bunda menanti untuk makan siang. Tak lama, Dexa lari menuruni tangga menuju meja makan yang sudah dipenuhi makanan lezat bergizi. Di kursi, duduk dua wanita setengah baya dan lanjut usia. Mereka melahap cepat.
“Mang Johan wis mangan, Bi?” tanya Bunda.
Bi Inah yang sedang minum tersendat. Dexa berhenti mengunyah ayam bakar. Bunda mesem.
“Bunda tadi ngomong apa? Replay, Bunda....” pinta Dexa.
Bunda tertawa malu. Bi Inah bengong. Bunda menepuk tangan Bi Inah yang mulai keriput.
“Nyonya bisa ngomong Tegal?” tanya Bi Inah.
“Kalian kenapa sih? Apa kalian kira cuma kalian yang bisa bahasa Tegal? Udah ah! Bunda mau kerja lagi”
Dexa diam ketika Bunda mencium pipi dan berangkat. Bi Inah mengantarkan makan siang Mang Johan ke posko. Dexa kembali ke kamar, mengaktifkan hape. Penelpon misterius itu capek mengganggu. Ia sama sekali tak mised call atau sms lagi. Masalah mulai berangsur-angsur hilang. Sekarang tinggal soal pesta. Meski ia tak dibebani tugas apa pun, kepikiran juga. Tinggal dua hari. Ia ingin melepas lelah di kamar tersayang.

*


DI seberang sana di rumah Deo, sekumpulan anak sedang berpikir keras menyajikan minuman yang layak.
“Gimana kalo pake soft drink kombinasi, biar gak bosen” usul Brey.
“Tapi kalo dana gak cukup gimana?” Cevryl mengingatkan.
“Pasti cukuplah! Kita kan gak nyewa gedung!” kata Deo.
“Ya entar kita konsultasi sama bendahara. Tapi gue yakin, pasti cukup” tambah Brey.
“Kalo gak nyukup kita mau pake apa?” tanya Pio.
“Ya pake air selokan aja!” sahut Brey. Pio mendengus.
“Yang pesen minuman siapa?” tanya Deo.
“Ya anak cowok dong, masa ia cewek sih?” celetuk Brey.
Dua cowok itu saling pandang.
“Kok kami sih!”
“Kalo cewek kan gal pantes,” ucap Brey memohon.
“Apa boleh buat!” Cevryl berucap.


*

DI rumah Ciquita, anak-anak yang menyiapkan dekorasi. Semua bahan yang diperlukan telah siap. Ayra membuat hiasan bertuliskan “Metamorfosis Ekspresi” dibantu Nery sang kekasih. Ciquita menggulung kertas penghias aula. Vibra dan Rey melakukan hal yang sama. Semua berjalan lancar.

*

DI rumah, Agis kesepian. Sendirian dia di rumah mewah itu. Pembantu sedang pulang kampung. Mami dan Papi ke luar kota. Kakaknya, sudah dua tahun menuntut ilmu di Jakarta. Agis hanya mondar-mandir di dalam kamar. Sesekali dia membuka hape dan sms teman. Tapi tak ada satu yang dibalas. Telepon hape Mami Papi, mailbox. Ia tertidur di sofa, di ruang keluarga.


*

(DARI ATAS Sudah DITELITI)


BI Inah menaiki anak tangga menuju kamar Dexa. Matahari hampir kembali keperaduannya. Tapi Dexa tak menggerakkan tubuh sedikitpun. Ia tidur terlalu pulas. Bi Inah mencoba membangunkan nona yang terlihat mulai dewasa. Tubuhnya mengeliat, dan tersentak kaget melihat weker kamar menunjukkan 17.50 WIB. Ia memaksa tubuhnya berjalan menuju kamar mandi. Bi Inah harus kembali menuruni anak tangga dengan raganya yang mulai renta. Dexa mandi cepat sekali. Hanya 10 menit. Kemudian ia mengganti baju santai. Ia mencoba menghubungi Vibra, tapi HP-nya tak aktif. Satu per satu nomor HP sahabatnya dihubungi. Semua mengatakan telah siap untuk pesta itu. Perasaan Dexa semakin lega. Lantas ia ke luar dari sangkar. Menuju meja makan. Bunda belum pulang. Ia tak melihat wajah Bunda menunggunya di meja makan. Ia makan hanya ditemani Bi Inah. Selesai makan, Dexa kembali ke kamar. Dibukanya komputer. Kali ini ia tak membuat karya tulis lagi. Ia hanya ingin menikmati permainan. Ada suara mobil berdecit. Ia berlari menuju jendela. Bukan Bunda. Om Rico. Lagi-lagi ia bersama teman sekelaminnya. Dexa hanya tersenyum. Tiba-tiba lawan main om Rico menyadari mereka tengah diperhatikan. Lantas mereka berdua menolehkan muka ke arah jendela kamar Dexa. Dexa terkejut. Buru-buru ia memalingkan muka. Jantungnya berdegup kencang. Dexa masih berani melirik pemandangan tadi. Ternyata mereka berdua masih terus memandang jendela Dexa. Jantung Dexa berdenyut lebih kencang. Ia memalingkan wajah lagi. Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri. Dilanjutkan permainan yang sempat terlupakan. Lama. Ia memberanikan diri menutup jendela.
“Huh! Untung wis pada lunga” jantung Dexa sedikit normal. Lantas ia mematikan komputer dan melempar tubuhnya ke ranjang. Ia berbincang sendiri dengan boneka bugs bunny . Kadang ia tertawa melihat panorama dua malam terakhir. Tiba-tiba bayangan ayah melintas dalam benaknya. Dexa tak mampu menahan kucuran air mata. Wajah imutnya kini basah. Ditariknya tisue. Tangannya lemas menghapus air mata. Air mata Dexa mengalir lantaran ia tak pernah menatap ayahnya saat ia mulai beranjak dewasa. Rasa rindu menyesakkan hati Dexa. Tapi ia tak pernah mengatakan hal ini pada Bunda bahwa ia rindu pada sosok ayah biologisnya. Ia takut membuka goresan luka yang bersemi di hati Bunda. Ia tak mau Bunda larut dalam luka itu. Tapi kini ia yang tak sanggup menahan rasa kangennya pada ayah. Tak sengaja ia menarik kertas dan menggambarkan perasaannya.
“Bunda, hari-hari Dexa indah bersamamu. Cuma bunda yang mengisi hati Dexa. Tapi di tengah ketenangan, Dexa merindukan ayah! Apa Bunda tau? Ingin rasanya Dexa mengatakan ini pada Bunda, tapi Dexa tak ingin melihat sebutir air mata Bunda menetes. Lalu gimana caranya, Bunda? Dexa cuma bisa nunggu keajaiban dari Tuhan dateng. Tapi kapan? Dexa ga bisa boong kalo Dexa kangen sama ayah. Apa Dexa salah, Bunda?”
Lelah menuliskan perasaannya, iapun tertidur ditemani air mata dan masih menanti keajaiban dari Tuhan.
“Dexa, Bunda bawa oleh-oleh buat kamu” teriak Bunda sambil membuka pintu kamar anaknya. Ternyata nama yang diteriakkannya telah bermimpi. Lantas Bunda membuka pintu dan berusaha ke luar. Tiba-tiba matanya menangkap kertas yang tergeletak di tangan kiri Dexa. Ia mengurungkan niatnya untuk ke luar. Dibaca pelan tulisan itu. Seperti Dexa, Bunda juga mengucurkan air mata sesal. Dari mulutnya terucap kata:
“Maafin Bunda udah buat kamu menderita, sayang” dikecupnya dahi pemilik tulisan itu dan bergegas ke luar dari kamar.

*


DEXA bangun dari mimpi tergesah-gesah. Waktu mandi dan makan pagi dilewatkannya dengan tidur. Ia bangun satu jam dari biasannya. Sambil terus mengomel ia lari terbirit-birit menuju kamar mandi. Tak ada lima menit ia mandi. Pantas! Ia hanya gosok gigi dan mencuci muka. Lalu memakai seragam. Disisirnya rambut yang berantakan itu. Untung jadwal pelajaran telah ia siapkan semalam. Ia masih mengomel lantaran tak ada yang membangunkan. Mobil Bunda juga tak terlihat dibagasi. Bi Inah dipanggil-panggilnya lama. Tapi tak ada yang menyaut. Sasaran kemarahannya adalah Mang Johan. Ia meminta Mang Johan menambah kecepatan mobil. Begitu sampai di gerbang sekolah, ia berlari sekuat tenaga. Tak ada seonggok bocah belajar di sana. Batinnya tambah bingung. Sebuah tangan kekar menyentuh bahunya. Ia menoleh kaget.
“Pak Ali, ngagetin aja sih” kata Dexa mendesah pelan. Ia mencoba menarik nafasnya yang terputus.
“Kenapa jam segini udah berangkat, Mba?” tanyanya yang membuat Dexa bingung.
“Loh! Emangnya kenapa?” tanyanya kembali.
“Hari ini kan berangkat jam setengah sembilan” jawabnya yang membuat Dexa mengingat pengumuman yang dikatakan wali kelas kemarin.
“Ya ampun! Ko’ gue jadi plinplan gini ya” katanya sambil memukul dahinya sendiri. Kemudian ia mengucapkan terima kasih dan duduk sendiri di taman sekolah sembari menanti sobatnya hadir. Lama. Membosankan. Dexa hanya membolak-balik komik yang sudah berkai-kali ia baca. Satu jam lebih ia menunggu. Satu per satu anak mulai berdatangan. Sahabatnya yang pertama kali datang adalah Pio. Lumayanlah ada teman mengobrol. Mereka berdua membicarakan pesta. Kemudian batang-hidung teman-temannya datang bergerombol. Dexa tak merasa seperti kambing congek lagi. Masalah pesta adalah topik kali ini. Mereka terlihat serius.
Bel sekolah memang sengaja dibiarkan pensiun. Karena hari ini hari perayaan ulang tahun sekolah. Jadi semua murid bebas. Berbagai lomba diadakan. Tapi berlaku hanya kelas I dan II. Kelas tiga hanya sebagai panitia saja. Seluruh OSIS SMP ini sekarang tengah berkumpul di perpustakaan. Mereka sedang melayani adik kelas yang mendaftar ikut lomaba. Setiap lomba harus diikuti perkelas sebagai perwakilan. Ada lomba baca puisi, basket, menggambar, membuat kaligrafi AL-Quran, lomba pidato dan masih banyak lagi lomba lainnya. Guru-guru hanya sebagai juri dalam acara ini. Dari genk Dexa hanya Dexa dan Agis yang tak mengikuti perumusan party besok malam.
Tepat pukul 12.05 lomba berakhir. Pengumuman pemenang akan dikumandangkan besok pagi. Genk Dexa tak langsung pulang. Mereka berkumpul diteras aula. Mereka sibuk soal pesta besok malam. Sekarang ada tambahan anggota, siapa lagi kalau bukan Dexa dan Agis. Perumusan semakin menegang. Iuran telah terkumpul. Karena Dexa dan Agis lelah karena telah mengurusi lomba sekolah tadi. Mereka memutuskan nanti sore berkumpul di rumah Dexa.


*

SETIBA di rumah, Dexa tak melirik makanan yang terhidang di meja makan. Bi Inah bingung, tak biasanya nonanya seperti ini. Dexa langsung lari menuju kamar. Tanpa menunggu komando, ia melempar jasadnya ke kasur. Tak membutuhkan waktu lama ia menunggu matanya benar-benar lelap. Ia sampai lalai melepas sepatu dan seragamnya yang terlihat kucel. Bi Inah mencoba menghampiri kamar Dexa. Namun begitu melihat wajah lelah Dexa begitu ketara, langsung meninggalkan ruang privacy Dexa.
Bi Inah terlihat sibuk di dapur. Melakukan tugas sehari-harinya, menyapu dapur dan mengepelnya. Meski umurnya terbilang renta. Namun semangat Bi Inah untuk mengabdi seumur hidup dikeluarga Dexa takkan pernah surut. Ia begitu cinta pada keluarga Dexa. Maklumlah, ia tak punya anak apalagi cucu. Suaminya telah 30 tahun meninggalkanya hidup di dunia ini. Dulu suaminya sebagai tukang kebun di keluarga Dexa. Setelah Mang Budi, demikian biasa disapa, mengalami penyakit komplikasi ginjal dan jantung, hingga membuatnya terbaring lemah di rumah sakit berminggu-minggu. Posisinya sebagai tukang kebun digantikan oleh adik kandung Mang Budi yaitu, Mang Johan. Mang Johan sendiri punya istri dan anak. Sebulan sekali ia mengirim jatah bulanan kepada istrinya. Enam bulan sekali ia kembali ke kampung halamannya di Pekalongan.
Pukul 15.30 WIB. Teman-teman Dexa mulai berdatangan. Semua anak mengendarai motor. Hanya lima motor karena mereka lebih memilih saling berboncengan. Mang Johan membuka pagar. Setelah sedikit masuk taman, pintu depan rumah dibuka Bi Inah. Mereka dipersilakan masuk dengan sopan oleh Bi Inah. Mereka memilih menunggu Dexa di taman. Sambil menunggu Dexa bangun, Bi Inah menyajikan jajanan penghilang rasa bosan. Tak lupa dengan minumnya. Bi Inah membangunkan Dexa. Meski matanya masih menandakan kalau ia masih mengantuk. Ia meminta Bi Inah memberi tahu temannya agar menunnggu karena Dexa sedang mandi. Hampir setengah jam teman-temannya menunggu. Akhirnya Dexa keluar juga. Perbincanganpun dimulai. Mereka tak terlihat menegang seperti di sekolah tadi. Bahkan beberpa kali mereka tertawa terbahak-bahak mendengar cerita temannya. Semua aksesoris penambah ramenya pesta telah siap. Begitu juga tema pesta yang telah dirangkai kreatif oleh Ayra dan teman-temannya. Soal minuman tak lagi diributkan. Tinggal menunggu saat yang tepat untuk menikmatinya. Mereka pun tak sabar menunggu malam itu. Sehari lagi padahal. Tapi rasanya seabad. Setelah semuanya terbahas, mereka meminta ijin tuan rumah kembali ke rumah masing-masing. Dexa hanya melambaikan tangan pertanda selamat jalan.
Sore hari dialami Dexa seperti biasanya. Hanya melamun atau memainkan komputernya. Matanya membaca goresan tangannya. Air mata mengucur kembali. HP-nya berdering. Di layar tertera tulisan “Bunda memanggil......”“. Diangkat HP-nya. Bunda hanya memberi tahu kalau ia akan mengajak Dexa shoping nanti malam. Setelah Dexa menjawab tawaran Bunda dengan kata “Ya”, diputuskannya pembicaraan. Adzan maghrib berkumandang. Dexa membersihkan diri dengan berwudlu. Ia hendak melaksanakan shalat maghrib. Hanya lima menit shalatnya. Tapi tidak untuk berdoa. Dalam doanya, kali ini ia memohon agar dipertemukan dengan ayahnya. Belum selesai ia memohon, terdengar suara ketukan pintu lembut. Buru-buru ia menghapus air mata dan melepas mukenah, melempitnya dan meletakkan kembali pada tempat semula. Baru ia membuka pintu, Bunda menagih janji. Dexa meminta Bunda menunggu karena ia akan mengganti baju. Dexa hanya berganti pakaian dan memakai sedikit parfum. Lantas segera menemui Bunda yang telah menunggu di dalam mobil. Tak lupa ia meminta izin pada Bi Inah. Baru menemui Bunda. Mobil Bunda melaju santai.
Singkatnya, mereka sampai juga di tempat parkir mall bertingkat 3. Bunda segera memarkir mobil. Kemudian berjalan menuju bangunan utama pusat perbelanjaan sekaligus tempat nongkrong juga. Mereka tak langsung membeli belanjaan. Melainkan berputar mengelilingi mall. Dari tingkat utama, keduanya sampai tingkat tertinggi dan mereka jamahi. Ke toko baju, aksesoris, alat sekolah dan lain-lain di tingkat ke dua.. Setelah mendapat benda yang dibutuhkan di bangunan, mereka melabuhkan perjalanan akhir ke kafe yang ada di bangunan ke tiga. Perut mereka menunjuk kafe di antara beberapa kafe lainnya.
Sedikit demi sedikit perut mereka mulai letih bernyanyi. Lagu yang mereka nyanyikan dihapus oleh makanan. Barulah menuruni bangunan dengan media lift, menuju supermarket di tingkat utama. Membeli kebutuhan sehari-hari seperti kebutuhan dapur.
Dirasa semua kebutuhan telah tersangkut di keranjang belanjaan, mereka menuju kasir dan membayar. Ditangan dua wanita itu kini sarat dengan bawaan. Berat. Mereka berjalan menuju ruang bawah tanah yaitu tempat parkir. Untuk melepas kelelahan jari mereka yang kini menjadi merah karena menjinjing bawaan, ditata rapi belanjaan di bagasi mobil. Bunda mulai menjalankan mobil. Perlahan mobil itu meninggalkan ruang bawah tanah. Dan mereka memasuki jalan raya. Hari ini jalanan terlihat ramai. Berulangkali mobil Bunda diselip truk, motor dan kendaraan se-spesies dengan kendaraan Bunda. Dexa terlihat sibuk dengan senam jari alias smsnya. Kadang ia tertawa sendiri membaca sms itu. Bunda sendiri bingung dengan tingkah anaknya. Namun ia tersenyum juga. Meski tak tahu dengan siapa anaknya bercanda. Ingin sekali Bunda menanyakan soal tulisan semalam. Tapi ia tak mau anaknya mengetahui kalau Bunda telah membaca. Ia hanya berpikir saat ini anaknya tengah tersenyum dan ia tak ingin senyum anaknya itu hilang. Dexa masih tenggelam dalam dunia candanya. Ia sama sekali tak menggubris pemandangan jalan.
Sekarang mereka tiba di rumah. Mang Johan membukakan gerbang rumah. Bi Inah membuka pintu depan. Mang Johan mulai mengangkat barang yang tersimpan di bagasi. Bi Inah juga ikut membantu. Kepala Dexa menunduk membaca sms.
“Dugh, .....” kepala Dexa membentur pintu depan. Ia baru saja merasakan imbas teledornya. Bukan Dexa jika cepat putus asa. Meski kepala merasa sakit, dilanjutkan lagi sms yang belum terbaca. Bunda, Bi Inah dan Mang Johan hanya mengelus dada dan geleng kepala. Mereka baru sadar betapa keras kepalanya Dexa. Terbuat dari batu mungkin!
Dexa masih asyik dengan sms dan mulai menaiki tangga.
“Dexa, ini belanjaan kamu” ucap Bunda mengingatkan.
“O ya! Klalèn enyong!” tingkahnya sambil menepuk dahi. Dan berjalan menuruni tangga mengambil belanjaan. Ia kembali menaiki anak tangga yang melingkar. Di dalam kamar ia sedikit melupakan sms itu. Di jemur belanjaannya di atas kasur. Ada baju, jajan, aksesoris, alat sekolah dan perangkat wanita lainnya. Dibuka dan dicobannya barang baru itu. Tubuhnya berlenggak-lenggok di depan cermin. Andai cermin itu bisa berujar, maka ia akan mengatakan:
“Kamulah wanita tercantik di dunia ini, Dexa”
Memang Dexa terlihat anggun dan cantik dengan baju yang dikenakannya sekarang. Puas memandang wajahnya yang terlihat lebih cantik, dilepaskannya baju itu dari tubuh putih Dexa. Dilempitnya kembali dan ditata sedemikian rupa agar terlihat enak dipandang mata ke dalam lemari. Kemudian ia membaca sms baru yang dikirim temannya sambil tangan terus membuka jajan. Mulutnya terus mengunyah sembari membaca sms masih dengan tawa. Ujian Nasional yang dua minggu lagi tiba pun tak membuat Dexa ketakutan. Sekarang otaknya benar-benar suci dari dilema hidup.


*


BERBEDA dengan Dexa, Pio seorang bass kini tak lagi memetik senar gitarnya. Kamarnya seperti perpustakaan. Ditangannya sebuah buku tengah dibaca dan dipahami. Ya! Seperti itulah Pio. Ia tak mengijinkan seorang bocah pun yang menggantikan posisi namanya di papan tulis kelulusan nanti ditingkat atas. Gitar andalanya kini tergolek lesu. Tak disentuh sama sekali benda itu ketika ia sadar waktu bersantai telah berakhir. Di dalam jadwal harian kini hanya ada kata “BELAJAR”. Semua benda yang mengganggu konsentrasi belajar kini menggantikan jabatan buku yang dulu di gudang penuh tikus. Dulu Pio memberi kesempatan bagi tikus di rumahnya untuk belajar. Kini ia berbagi ilmu musik juga dengan para tikus. Mungkin jika ada kontes tikus pintar, tikus di rumah Pio-lah yang akan menang. Sungguh bahagianya menjadi tikus di rumah Pio. Hewan-hewan itu pintar seperti tuannya.


*

---------------------------------------------------------------------------------------------

ANGIN malam menggelayut pelan menerobos celah-celah rumah. Jam menunjukkan angka tengah malam. Sekarang tengah malam bukanlah saat-saat yang menakutkan. Tengah malam sekarang bisa diartikan waktu bekerja para kupu-kupu malam. Dunia malam kini bak siang hari. Dunia ini mungkin hampir berakhir atau bahkan kiamat. Semuanya serba terbalik. Pelacur-pelacur kini layaknya semut yang selalu ada di mana-mana. Laki-laki hidung belang sepertinya tak mau kalah dengan pamor pelacur yang merajalela. Mereka rela meninggalkan anak serta istri demi mengalahkan ketenaran pelacur. Betapa sedihnya Tuhan menatap ciptaannya rusak. Seperti kacang lupa akan kulitnya. Seperti itulah ciptaan Tuhan. Kata Tuhan begitu anti mereka katakan. Padahal kata itu bisa membuat Sang Pencipta tersenyum kembali. Tuhan kini hanya bisa menangis melihat cipta-Nya lari pontang-panting tak tentu arah. Arah yang ditentukan Tuhan kini menjauh, dan akan terus menjauh. Dan Tuhan akan tertawa puas ketika di alam baqa nanti ciptaa-Nya menangis meraung-raung memohon ampunan. Pintu ampunan Tuhan akan tertutup jika roh kita kembali pada-Nya.


*

ANGIN malam yang penuh najis kini diganti angin suci pagi. Ditambah lagi mentari tersenyum ramah meski sedikit tersipu. Tuhan memang Maha Sempurna. Ia selalu membuka lowongan bagi manusia yang hendak taubat. Namun lowongan itu tak menarik bagi manusia jaman sekarang.
Bi Inah seolah-olah menjadi orang pertama yang meyaksikan sang surya tersenyum tersipu dan menyaksikan keelokan hiburan dari Tuhan. Namun ia tak mau larut dalam hiburan itu. Pekerjaan rumah tangga menunggu tangan Bi Inah menyentuhnya. Tubuh rentanya kini sibuk menata rumah tumpangannya. Sang pemilik rumah sepertinya terganggu dengan riuhnya suara alat-alat masak. Gendang telinganya tak sanggup menahan. Raga Bu Rena lemas berjalan menuju asal suara gaduh itu. Sebentar ia melirik makanan yang dimasak Bi Inah, lalu raganya dipaksa diguyur air sedingin air kulkas.
Bi Inah telah rampung memasak. Bu Rena juga usai berendam dalam air dingin. Lantas nyonya berhanduk itu kembali ke kamar. Ia tak ingin membiarkan tubuhnya berteriak kedinginan. Oleh sebab itu ia menutupnya dengan beberapa helai benang yang dirangkai menjadi baju yang bisa menghilangkan rasa dingin. Dari arah atas terdengar guyuran air keras sekali. Siapa lagi kalau bukan Dexa. Kegaduhan semakin begitu terasa. Kegaduhan itu akan berakhir bila jam makan pagi tiba. Mulut mereka akan disumpel makanan lezat penuh gizi. Hawa dingin juga akan takut bila makanan mulai mengalir dalam tubuh manusia. Akan lebih tentram dan tenang lagi jika pemilik rumah dan anaknya pergi melakukan kewajiban seperti biasanya.

--------------------------------------------------------------------------
*


KEJADIAN atau peristiwa-peristiwa biasa dialami Dexa dan kawan-kawan. Tak jauh berbeda dengan hari kemarin atau sebelumnya. Tak ada lagi pemberontak penuntut keadilan. Tak ada lagi cek-cok yang meributkan masalah pesta. Yang ada hanya pengumuman pemenang lomba yang disambut meriah dan penuh kebanggaan. Usai pengumuman pemenang siswa dibiarkan larut dalam kebahagiaan. Itu sengaja dilakukan Kepsek untuk menyantaikan pikiran murid yang sebentar lagi akan terkekuras. Jam belajarpun tak lagi separuh hari. Tapi hanya seperempat hari. Murid boleh saja bersantai saat ini tapi mereka harus dan wajib berhadapan dengan ujian. Meski agak ragu dengan kemampuan muridnya yang berekspresi bebas untuk mengembalikan Klasifikasi A bagi sekolahnya, namun ia tetap optimis anak didiknya mampu melakukan itu. Ia juga telah siap dengan hukuman bagi murid yang rapornya berangka lima. Entah sampai kapan misteri itu akan terungkap. Ini membuat murid-muridnya berjuang agar angka lima tak menghiasi rapornya. Sehingga mereka tak akan pernah merasakan misteri hukuman itu.


*

SEMENTARA itu di tempat berbeda, Bunda masih berpikir keras membahagiakan anak tercintanya. Satu hal yang diketahui ibu berumur 32 tahun ini adalah anaknya ingin sekali bertemu sosok ayah yang selama ini hanya menjadi imajinasi belaka. Mungkin sekarang saat yang tepat untuk membuka tabir kehidupan kelam keluarganya. Tapi sepertinya, ia tak rela jika anak kesayangannya mengenal laki-laki yang telah membuat dirinya menjadi singel parents.
Ia tak ingin anaknya disentuh laki-laki bajingan itu. Tapi seharusnya Bu Rena seegois itu. Bagaimanapun Dexa adalah darah daging Pak Wira, ayah Dexa. Bunda tak pernah membahas soal pria yang menyebabkannya jatuh-bangun menelusuri kehidupan ini. Dexa memang pernah merasakan kasih sayang seorang ayah, tapi itu berlangsung saat masih balita. Setelah dewasa ia cuma dapat membuat karikatur sosok ayahnya dalam hati.
Bunda masih menggenggam HP. Dipencetnya sebuah nomor HP dengan ragu. Ia masih saja berpikir dalam situasi seperti ini. Dari arah berlawanan suara lemah-lembut mengucap salam. Dengan sopan, Bunda menjawab salam itu. Percakapanpun tak terelakan. Dan setelah menjelaskan maksudnya dan dari pihak berlawanan menyetujui, diputuskannya percakapan tersebut. Hati Bunda sedikit lega. Wanita yang ditelponnya tadi tak lain adalah Diksi. Lajang yang masih kuliah jurusan hukum itu, juga mengaku rindu pada ibunya. Tanpa pikir panjang mereka memutuskan untuk menggelar pertemuan di sebuah restoran mewah nanti sore bersama sang ayah. Senyum tersungging di bibir sang notaris.


*

LAIN Bunda, lain pula Dexa. Kini ia tengah menikmati makan siang. Ditemani pembantu tersayang. Lima belas menit yang lalu ia tiba di rumah dengan hati riang. Entah apa yang membuatnya gembira. Mungkin karena pesta. Di sela kegiatan pembatunya menyuapkan makanan, tiba-tiba Dexa bertanya:
“Bi, ayah Dexa mukanya kaya apa sih?” tangan Bi Inah berhenti menyuap. Ia memandang bingung raut muka Dexa. Kemudian ia menelan air putih. Raganya bangkit dari kursi. Tak sepatah katapun terucap dari pembantunya yang membuat Dexa tenang.
“Pan maring endi, Bi?” tanya Dexa lagi. Bi Inah yang
biasanya ramah kini diam tak bergeming.
“Bibi pan maring dapur. Nyuci piringnya belum selesai” jawabnya seraya meninggalkan Dexa.
“Tapi Bibi belum jawab pertanyaan Dexa!” katanya berusaha mencegah.
“Non bisa liat di benda kesayangan, Non” jawabnya singkat dan bergegas meninggalkan Dexa. Dexa berpikir keras jawaban pembantunya itu. Disambanginya dapur tempat peraduan Bi Inah.
“Maksudé apa, Bi?” ucap Dexa mengembalikan jawaban Bi Inah. Bi Inah berusaha menyibukkan dirinya sendiri. Pertanyaan yang sama disibakkan lagi oleh Dexa. Mungkin menghindar dari kenyataan bukanlah solusi yang tepat untuk saat ini.
“Di kamar Non kan ada benda yang sangat Non sayangi, di situ ada kenang-kenangan dari ayah” jawabnya. Dexa berjalan lamban sambil terus berpikir. Arah kakinya menuju kamar. Sesampai di ruang yang menjadi saksi masa kecilnya, ia masih terus memutar seluruh isi otak agar teka-teki itu terpecahkan. Dipeluknya boneka bugs bunny. Sambil tiduran plus melamun ia meraba boneka itu. Tangannya menyentuh sesuatu. Ia bingung mengapa di boneka teman hidupnya terpasang sebuah resleting. Dibukanya resleting itu. Matanya membelalak lebar. Mulutnya yang mungil menganga. Sejenak ia terpaku dengan apa yang dilihat. Tak disangka, sulit dipercaya. Dikeluarkannya isi boneka itu. Ada foto keluarga, foto masa kecilnya bersama kakak, foto pernikahan orang tuanya dan ada satu benda yang membuat Dexa tak percaya. Sebuah ATM. ATM itu bertuliskan nama Dexa Zifanindya. Sepucuk surat membungkus ATM itu. Dibaca dengan seksama tulisan sang ayah. Isi surat itu sebuah permintaan maaf dan penjelasan tentang ATM itu. ATM itu adalah biaya hidup Dexa yang dikirim sang ayah tiap bulan. Tak disadari air mata telah menderas. Dipandangi lalu diciumnya foto keluarga. Rasa rindu semakin bergejolak dalam batin Dexa. Tapi ia harus mampu mengontrol perasaan. Ia perlu memikirkan perasaan Bunda. Air mata menyambut foto ayahnya. Bergegas ia ke luar kamar. Disambangi garasi tempat motornya beristirahat. Tanpa meminta ijin pada Bi Inah, Dexa melajukan motor kencang. Ditikungan kompleks rumah, ia melihat mobil Bunda melaju. Tak dihiraukan sama sekali mobil itu. Ia terus melajukan motor bebeknya. Raut wajah bingung terlihat jelas di mata Bunda. Walaupun Dexa hanya melihat di balik kaca helm dan kaca mobil Bunda, tapi ia paham benar raut sang Bunda.
Kini Dexa menyambangi tempat pengambilan uang lewat ATM yang terletak persis di sebelah supermarket. Dexa harus menunggu antrean. Saat ini ia berada dinomor tiga dibarisannya. Tak lama memang. Giliranya sekarang. Dimasukkannya ATM itu, lalu dimasukkan lagi nomor rekening ATM. Sekarang ia benar-benar kaget melihat angka saldonya.
“Rp.51.500.000,00!”, angka itu sungguh membuat tubuh Dexa lemas. Raganya terkulai lemah di daun pintu. Ia seperti mimpi! Tak pernah sedikitpun ada di dalam benak uang sebanyak itu adalah miliknya. Ayahnya memang tak pernah lari dari tanggung jawab. 15 tahun uang itu tersimpan dalam benda yang selama ini menemani tidurnya. Diambilnya ATM itu. Lalu ke luar dari tempat yang membuatnya hampir pingsan. Pikirannya masih kacau. Tapi ia tetap melajukan motor meski dengan santai.

*

Bagian Lima

DIBUKANYA pintu rumah. Kepalanya menunduk seperti mencari uang koin yang hilang. Sapaan dari Bi Inah tak membuat kepalanya tengadah. Bunda pun angkat bicara. Baru kepalanya terangkat. Orang yang selama ini menjaganya ditatap sinis. Bunda heran. Ditanya sopan buah hatinya. Tatapan itu tak kunjung reda. Bunda semakin bingung. Raganya tertantang berdiri. Anak itu kini lari dari masalah. Ia melampiaskanya di kamar pribadi. Teriakan Bunda yang memanggil namanya dianggap angin lalu yang tak berarti. Bunda dan Bi Inah saling bertatapan. Bi Inah pun menceritakan apa yang terjadi tadi siang. Bunda malah balik bertanya :
“Memangnya benda kesayangan itu apa? Saya ko malah ga tau. Bibi tau dari mana?” dahi Bunda mulai mengerut. Bi Inah menghela nafas panjang. Mulutnya diam sejenak. Kemudian ia mulai mengatakan pesan terakhir mantan suaminya itu. Matanya membelalak. Buru-buru ia sambangi kamar sang anak. Diketuk lembut pintu yang terlihat terkunci itu. Di dalam Dexa hanya menatap foto sang ayah. Imajinasi, khayalan dan karikatur ayahnya terjawab sudah. Suara Bunda menggema.
“Dexa sayang. Bunda tau apa yang membuat kamu menatap Bunda sinis gitu. Tapi sayang, Bunda juga baru tau hal itu tadi. Ayahmu cuma titip pesan sama Bi Inah. Jadi Bunda juga ga tau. Maafin Bunda, sayang. Buka pintunya ya? Bunda mau ngomong sama kamu” kata sayang itu menyejukkan hati Dexa yang tengah beku. Dibukanya pintu kamar. Bunda melihat foto berserakan di kasur Dexa. Air mata Bunda jatuh begitu melihat foto pernikahanya tertampang lagi. Dipeluk erat anak gadisnya. Dexa mulai menceritakan apa yang baru dilihatnya tadi. Bunda pun seolah tak percaya. Selama ini ia salah tafsir. Suami yang dibencinya ternyata tak lari dari tanggung jawab. Air mata membanjiri kamar Dexa. Sedih, haru, kaget, dan heran membiru dalam hati mereka berdua. Rencana sore nanti biasa menjadi satu kejutan ucapan terima kasih.


*

WAJAH ceria menghiasi Dexa. Ia berusaha membagi kebahagiaan itu ke seluruh penjuru rumah. Dituruninya anak tangga dengan penuh tawa. Sang Bunda pun seolah tahu apa yang dirasakan oleh buah hatinya. Barukali ini Bunda melihat Dexa seceria itu. Keceriaan Dexa berangsur hilang ketika dirinya mendapat pertanyaan paling menyakitkan dari guru sekolahnya tentang keberadaan sang ayah. Tapi hari ini senyum yang musnah itu kini kembali seiring berputarnya bumi. Hidup memang penuh misteri dan mimpi. Karena hidup memang berawal dari mimpi. Seperti yang dikatakan oleh Walt Disney : “Selama kamu masih bisa memimpikannya selama itu pula kamu bisa melakukan apa yang kamu impikan itu”. Filosofi itu sepertinya berlaku dikeluarga Dexa. Kebahagiaan akan kembali direngkuh keluarga yang telah lama hancur.
“Dex, sore ini Bunda mau ajak kamu jalan-jalan. Mau kan?” tanya Bunda begitu Dexa turun dari tangga.
“Gelem nemen...... ” jawabnya tegas. Bunda menggandeng tangan Dexa menuju garasi. Dexa duduk tepat di sebelah Bunda. Mobil Bunda berjalan santai. Terdengar alunan lagu-lagu yang masih nge-hits tahun ini. Dunia terasa begitu indah bagi mereka berdua. Ya! Hidup memang harus dinikmati.
“Kita pan maring endi, Bunda?” tanya Dexa disela percakapan tentang sekolahnya.
“Surprise buat kamu” ujar Bunda membuat Dexa penasaran.
“Surprise apaan sih”
“Ya surprise! Kalo dikasih tau sekarang namanya bukan kejutan lagi donk! Liat aja nanti” jawab Bunda masih tanda tanya. Dexa hanya mampu mengandalkan waktu. Meski penasaran begitu menggebu dalam hatinya.
Mobil Bunda berhenti di sebuah restoran mewah lagi elite. Dua manusia telah menunggu Dexa dan Bunda sejak lima menit yang lalu. Seorang remaja tersenyum menyambut Bunda. Diciumnya pipi dan tangan Bunda. Dexa bingung. Ia tak mengenali wajah manusia di depan matanya. Seorang laki-laki yang masih terlihat segar bugar itu mempersilakan mereka duduk. Laki-laki itu duduk tepat di depan Dexa. Matanya tak henti-henti menatap Dexa. Senyumnya tersungging. Dexa hanya membelas senyum itu dengan senyum khasnya. Seorang pramusaji menyerahkan daftar menu. Mereka memilih dan melanjutkan kembali percakapan. Hati Dexa mulai kacau.
“Kenapa Bunda ga ngenalin dulu dua manusia ini!” batinya kesal. Bunda seperti paranormal yang dapat membaca pikiran kliennya.
“Dexa tahu siapa mereka?” tanya Bunda membuat Dexa makin bingung.
“Mana Dexa tau! Bunda kenapa tanya Dexa. Dari tadi Bunda ngobrol, masa ga saling kenal sih! Aneh!” jawab Dexa ketus. Bunda dan dua pasangan itu malah ketawa. Sifat jutek dan kesal Dexa mulai diumbar.
“Jangan sewot gitu donk! Mau tahu ga orang ini siapa?” tawar Bunda.
“Ya mau! Memangnya Dexa seneng kalo dikacangin” ucapnya ketus.
“Cewe ini kakakmu, namanya Diksi. Kalo laki-laki di depan kamu itu ayah” jawab Bunda mengagetkan Dexa.
“Apa! Bisa Bunda ulangi?” tanya Dexa lagi.
“Di sini ga ada pengulangan!” ucap Bunda meledek.
“Ga mungkin! Bunda pasti boong!” ucapnya tak percaya. Ditatap seriusnya wajah didepannya itu. Dibandingkan wajah itu dengan wajah di foto yang dilihatnya tadi siang.
“Mirip memang!” batinnya menerka. Laki-laki itu hanya diam seperti hendak di foto.
“Kamu udah buka kenang-kenangan dari papa?” laki-laki itu mulai buka suara. Dexa kaget bukan kepayang. Sorot matanya menatap lebih jauh pada benda yang membuatnya hampir mati kaku. Dexa tak menjawab pertanyaan pria itu. Raganya masih tak percaya.
“Dexa, kamu melamun? Ditanya sama papamu ko diem aja?” sapa Bunda. Dexa masih diam tak menghiraukan ucapan Bunda. Ia malah balik menatap dara yang duduk didepan sang Bunda. Itukah wajah wanita yang memeluknya di foto semasa kecil? Dexa masih terus menerka. Air matanya tak terbendung kini. Senyum khasnya mulai dipamerkan pada orang selama ini merindukan senyum itu. Dua insan yang selama ini dirindukanya membalas senyum itu dengan tulus. Laki-laki itu bangkit dari kursi tempatnya berpatut. Dipeluk erat anak gadisnya. Dexa tak mampu berkata-kata. Perasaannya diungkapkan dengan tangis. Bunda terharu melihat adegan itu. Dan Diksi, gadis jelita calon pengacara itupun merasa perlu menambah kelengkapan keharuannya. Tiga sosok tubuh itupun berpelukan. Bunda hanya tersenyum haru. Ia baru sadar betapa egoisnya selama ini. Puas melepaskan rindu mereka melanjutkan acaranya. Makan mungkin!


*


DI tempat yang berbeda, segerombol anak tengah mempersiapkan pesta bertema “Metamorfosis Ekspresi”. Dua lelaki sedang memindahkan meja. Yang jelas tak ada kursi di sana. Tiga anak perempuan dan satu laki-laki sedang menata panggung. Ada yang menurunkan soft drink dari mobil pengangkut. Tak ada yang mengobrol. Semua sibuk dengan urusan dan tanggungjawab masing-masing. Ada yang menyapu lantai agar terlihat lebih bersih.
“Eh, Dexa mana ya? Katanya mo bantuin, ko ga dateng-dateng!” ucap Ayra ditengah kesibukan teman-temannya. Tangannya terus menata tulisan hias buatan sendiri.
“Ga tau! Padahal acara sekolah kan udah kelar, masa sih dia sibuk! Tapi tadi di sekolah dia bilang mo dateng buat bantu-bantu ko! Mungkin dia lupa ato lagi dalem perjalanan kali” jawab Agis sambil tangannya terus mengusir kotoran-kotoran bandel di lantai.
“Ya, mudah-mudahan aja dia ga lupa!” Nery menyambung. Tak satupun dari mereka yang berinisiatif mengontak telpon genggam Dexa. Lagi pula tanpa Dexa pun pekerjaan ini bisa diselesaikan.


*

RESTORAN saksi bisu keluarga Dexa telah ditinggalkan. Tak ada tangis memilukan di sana. Hanya ada orang-orang yang tak penting untuk dibicarakan. Meja tempat air mata keluarga Dexa ditampungpun kini berganti pemilik. Sebenarnya setelah makan acara selanjutnya adalah jalan-jalan ke mall. Dexa mungkin lupa dengan janjinya. Ia terbawa arus bahagia yang selama ini diimpikan. Tak tahu sampai kapan. Dexa lupa akan pesta yang sempat membuatnya menguras isi otak. Kawan yang selama ini menemani hari-hari sepinya pun, ia lupakan. Bahkan hal yang paling penting dalam pesta, tak diingat sama sekali. Mengganti style untuk pesta juga terlupakan begitu saja. Ia tak tahu betapa sabar teman-temannya menunggu. Namun yang ditunggu malah lupa. Para perias ruangan itupun bubar. Mereka merasa tak perlu menunggu Dexa. Dexa pasti lupa. Seperti tak ada kerjaan lain selain menunggu Dexa. Dan mereka harus berdandan untuk pesta malam ini.


*

SATU per satu aula sekolah yang telah dihias sedemikian rupa berubah menjadi ladang gulali. Banyak corak, sejuta warna. Gaun yang mereka kenakan tak kalah gila dan unik. Semuanya serba baru dan aneh. Sekarang dan disinilah anak-anak menunjukkan imajinasi-imajinasinya. Semua bebas berekspresi. Tak lagi ada kata malu. Tempat mereka bergaya tak mau kalah dengan tamu undangan. Perpaduan antara tamu dan tempat sangat klop. Tak ada kata kurang untuk penataannya. Genk Dexa mulai berhamburan. Saling mengomentarai itu hal yang lumrah. Dari sinilah mereka bisa saling mengenal satu sama lain. Dari sini juga mereka mengetahui bakat masing-masing dalam berimajinasi. Anak yang biasanya diam kini berubah menjadi burung beo yang tak henti-hentinya bicara. Beberapa syair lagu menambah apiknya pesta malam ini. Mereka tanpa canggung lagi untuk berjoged. Semua terasa menyenangkan. Momok hukuman dari Kepsek tak lagi dihiraukan. Yang penting fun!
Acara hendak dimulai. Genk Dexa mendadak bingung ketika ketuanya tak juga hadir. Semua saling menyalahkan. Genk ini terlihat ricuh. Dexa tak menampakkan diri. Mereka mengambil jalan menghubungi telpon rumah Dexa. Bi Inah yang mengangkat. Bi Inah hanya menjawab Dexa sedang pergi dengan Bundanya. Tak tahu ke mana. Sia-sia memang. Namun mereka tak mau menyerah begitu saja. Ditelponnya HP Dexa. Aktif! Perasaan mereka sedikit lega. Tapi tiada jawaban. Lama. Sebuah suara menjawab, terdengar ramai di seberang sana. Mereka hampir tak bisa berkomunikasi. Di tempat sang penelpon bising akan anak-anak unik. Sedang dari arah lawan ramai karena Dexa masih di mall. Dibentak dan dimarahi habis-habisan Dexa. Dexa baru ingat tentang pesta itu. Buru-buru ia meminta maaf dan segera hadir ke sekolah. Tak diperdulikannya lagi keluarga. Bahkan tak sempat meminta ijin pada Bunda. Ia hanya mengirim sms yang memberitahukan bahwa dirinya pergi menghadiri pesta di sekolah.

*

LENGKAP sudah pesta itu. Meski datang telat, Dexa masih mampu menyesuaikan diri dengan tamu. Tak ada yang tahu tentang keterlambatan Dexa kecuali teman seprofesinya. Walaupun ia tak sempat merubah tatanannya, Dexa tetap terlihat unik dan baru. Mungkin terbawa oleh tamu yang semuanya berdandan ala pribadinya. Pesta begitu meriah. Ujian sekolah yang mendebarkan dirasa setahun lagi. Malam ini terasa begitu lama. Suara DJ Reo sang MC lantang menerbitkan kata-kata yang membuat tamu undangan semakin semangat. Waktu tak lagi diartikan sebagai uang. Waktu adalah waktu yang harus dilalui dengan gembira. Pesta yang tak diperkirakan semeriah ini membuat panitia merasa begitu puas. Kerja mereka selama ini membuahkan hasil yang lebih. Hari ini Dexa merasa menjadi anak terbahagia di dunia. Jati diri sang ayah telah membuatnya ingin hidup lebih lama.
Waktu menunjukkan pukul 23.15 WIB. Waktu yang relatif malam untuk anak seusia mereka masih mengadakan pesta. Namun waktu tak lagi menjadi beban. Semua masih terlihat antusias berjingkrak-jingkrakan. Lagu dari berbagai aliran musik mendukung mereka melanjutkan pesta. Kata capai hanya dirasakan ketika lagu mulai berhenti. Tapi begitu lagu diputar selanjutnya, rasa capai itu takut menghinggap lagi. Waktu masih saja berputar. Sepertinya tak ingin membiarkan anak-anak itu terus bergembira. Tiba-tiba tubuh molek Dexa begetar keras membuat tamu dan teman-temannya ketakutan. Mulut Dexa terus mengomel yang tak jelas. Namun tubuhnya masih saja berjingkrak-jingkrakan. Makin gila. Tamu undangan yang berada dekat dengan Dexa mulai menjauh. DJ Reo berusaha menenagkan suasana. Lagu-lagu masih terus diputar. Percuma! Tamu-tamu makin ketakutan. Teman-teman Dexa mendekat. Mereka menganggap Dexa bercanda. Tidak! Suara yang keluar dari mulut Dexa bukan suara aslinya. Suaranya begitu lemah. Kata-kata yang diucapkannya tak dapat diartikan sama sekali.
“Dex, lo kenapa sih! Jangan becanda gitu deh! Tengah malem ini!” bentak Nery. Dexa tak menjawab gubrisan sahabatnya. Mulutnya masih mengomel.
“Dexa kesurupan kali?!” kata Ayra menerka.
“Eh lo jangan nambah takut gitu donk! Ngaco banget sih lo!” ucap Pio.
“Tapi mulutnya ngomel-ngomel gitu. Ga jelas lagi!” Deo mendukung. Mereka berdebat sendiri. Tubuh Dexa berhenti joged. Matanya melirik sinis ke arah sobat-sobatnya. Mereka makin bingung. Tamu undangan semakin menegang. Dexa berjalan menghampiri teman-temannya. Mereka berusaha menjauh. Tapi masih dikejar juga.
“Dex, lo kenapa? Jangan nakut-nakutin kita deh!” sapa Ciquita lembut. Tatapan sinis itu tak mereda jua.
“Dexa, lo kenapa? Becandanya udahan donk. Kita lanjutin pestanya ya?” DJ Reo angkat suara. Tatapan itu berbalik ke arah sang DJ. Tiba-tiba Dexa menangis sendu. Wajahnya memelas. DJ Reo kalut. Namun ia berusaha menenangkan diri. Tangisan Dexa begitu memilukan, menyayat hati. DJ Reo berjalan mundur, tapi masih diikuti. Dexa semakin dekat dengan DJ Reo.
“Kenapa kamu baru datang, sayang” desis Dexa lirih.
“Siapa kamu sebenarnya?” tanya DJ yang berprofesi sebagai penyiar radio juga .
“Kamu lupa sama aku? Wanita yang begitu menyayangimu, mencintaimu, menginginkanmu. Aku kesepian, sayang” DJ Reo makin tak paham. Teman-teman Dexa tak tahu berbuat apa. Mereka hanya bisa melihat sahabatnya itu menangis pilu.
“Cinta? Sayang? Aku ga paham. Siapa kamu?” DJ Reo mencari fakta.
“Aku selalu mengirim salam buat kamu lewat Request. Apa kamu lupa? Aku Lili. Fans berat kamu yang selalu mengucapkan salam tiap kali kamu siara di radio” jawabnya mencengangkan semua orang yang ada di sana.
“Lili? Cewe yang selalu minta diputarkan lagu berjudul “Dari Hati” milik Club 80’s dan lagu itu selalu diuntukkan aku? Tapi,.....dia kan masih hidup! Buktinya dia masih kirim request sampai sekarang” ucap Penyiar radio yang selalu digandrungi kaum hawa itu.
“Ya! Itu aku. Namun seperti inilah aku sebenarnya. Aku telah meninggalkan dunia ini tiga bulan yang lalu. Aku begitu kesepian.......Tolong temani aku?” ia memohon. Para tamu mulai merinding. Begitu pula teman-teman Dexa. Suasana makin mencekam. Ditambah lagi angin dingin malam yang begitu keras. Hawanya tak seperti biasa. DJ Reo terlihat berfikir. Ia masih diliputi rasa tak percaya. Ia baru sadar mempunyai penggemar dari dunia lain.
“Ga mungkin! Lalu yang mengirim request itu siapa? Hantu? Orang mati ga mungkin bisa hidup lagi” DJ Reo bingung tak karuan.
“Aku sengaja menitipkan request itu pada dua wanita yang sama-sama mengagumi kamu. Dua wanita itu bernama Ayu dan Tita. Tapi mereka sama sekali tak mengenali aku dan tak tahu siapa aku sebenarnya. Aku mohon temani aku ....” lagi-lagi ia memohon dan masih menangis. DJ Reo tak mungkin menuruti hantu fansnya itu. Tapi ia tak tahu apa yang harus dikatakan lagi. Ia terdiam dan menunduk.
“Apa sebab kamu meninggal?” Reo mengulur waktu. Ia juga berusaha memalingkan pembicaraan.
“Karena orang tuaku. Juga karena kau yang tak pernah memahami perasaanku. Kau tak pernah tahu aku mengharapkanmu menjadi teman hidupku. Aku juga dipaksa menikah dengan laki-laki yang tak pernah ada dalam hatiku. Sejak saat itu aku merasa hidupku tak berarti. Oleh sebab itu aku mengakhiri hidupku. Aku tak mampu hidup sendirian menanggung beban yang begitu berat. Sahabatku pun tak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya menangis ketika melihat tubuhku menggantung di kamar mandi sekolah. Saat itu aku memasuki kehidupan baru, namun dengan cara seperti ini tak bisa membuatku lepas dari masalah. Aku menghadapi masalah yang makin berat. Aku kesepian, butuh teman ......” hantu itu membuat pengunjung pesta tersentak kaget dan sempat menangis.
“Kenapa kamu lakukan ini? Kamu tahu ga? Tuhan itu ga suka sama orang yang mendahulukan kehendak-Nya .......” ucapan DJ Reo terptong.
“Terlambat! Aku tak butuh ocehanmu! Aku butuh teman ......?” pintanya lagi dengan tangis yang makin pilu.
“Aku menghormatimu, menyayangimu, mencintaimu seperti yang aku berikan pada fans-fans yang lain. Tapi rasanya tak mungkin! Aku tak bisa menemanimu. Aku masih punya masa depan panjang. Masih banyak yang belum aku lakukan untuk membahagiakan orang tuaku. Aku mohon pergilah dari tubuh anak itu? Kasihan dia capai. Ia tak bersalah?” DJ Reo memohon dengan sangat-sangat.
“Aku memang cewe bodoh! Tak seharusnya aku bunuh diri! Orang yang ku sayangi ternyata tak jauh berbeda dengan orang tuaku” wajahnya menunduk masih dengan tangisan. Suasana begitu kaku dan beku.
“Aku juga tak bisa berbuat banyak. Yang pasti aku lakukan adalah mengirim doa untukmu. Itu pasti kan ku lakukan. Karena aku menyayangi semua penggemarku. Aku janji!” ucap sang DJ sembari memeluk tubuh Dexa.
“Makasih. Ini pelukan pertama dari laki-laki yang kucintai” ujarnya. Tubuh Dexa bergetar keras lagi. Raga Dexa jatuh ke lantai. Dexa tak sadarkan diri. Buru-buru diangkat tubuh itu. Beruntunglah DJ Reo memakai mobil. Sambil membopong, mulutnya mengucapkan kata penutup pada semua tamu. DJ Reo dan genk Dexa menunggangi mobil. Mereka hendak mengantar Dexa pulang.
Di dalam rumah Bunda dan Bi Inah mondar-mandir tak tentu arah. Rupanya mereka juga menunggu Dexa dua jam yang lalu. Tak seperti biasanya Dexa pulang semalam ini. Hati Bunda begitu kaget melihat anaknya dibopong-bopong. Buru-buru diistirahatkan anaknya di kamar. DJ Reo berusaha menjelaskan apa yang telah terjadi dengan anaknya. Sekarang kesabaran Bunda benar-benar diuji. Bunda tak habis pikir kenapa kejadian ini menimpa anaknya. Padahal dua hari lagi, ia akan menghadapi Ujian Nasional. Mulut Bunda terus membacakan doa untuk kesembuhan anaknya. Bi Inah tak kalah kalut dengan Bunda, bahkan sampai menitihkan air mata. DJ Reo meminta ijin untuk pulang karena waktu yang kian malam. Ia juga hendak mengantar teman-teman Dexa lainnya. Ucapan terima kasih terus dilontarkan Bunda.


*

DI sekolah hampir semua insan membicarakan tragedi semalam. Tapi itu hal yang paling mengesankan. Jarangkan? Pesta didukung setan! Genk Dexa juga tak pernah membayangkan ini terjadi. Peristiwa itu tak ada dalam daftar rencana kegiatan. Mereka juga menunggu kehadiran Dexa. Jika hari ini Dexa absen, itu sangat disayangkan. Padahal bayang-banyang Ujian serta hukuman semakin kasat di mata. Bel tanda masukpun tak lagi bisa dihentikan. Dexa mungkin merasa malu jika nanti dirinya dicela oleh teman-teman. Salah! Dexa tak punya rasa seperti yang teman-teman kira. Ternyata ia sedang berjalan santai menuju kelasnya. Brey orang yang melihat pertama kali. Dexa merasa biasa saja seperti tak terjadi apa-apa meski sepanjang jalan banyak mata yang metatap aneh. Ingin teman-temannya menghampiri tapi bel tak mengijinkan.
Dexa berjalan santai menuju bangku. Walau hatinya masih dag, dig, dug tak karuan. Sekarang ia harus bisa mengendalikan emosinya. Hari ini Dexa meresa seperti badut yang sedang menghibur. Semua anak melihatnya seperti anak baru. Itulah resiko yang harus disandang Dexa. Seorang wanita masuk kelas, ia duduk di mimbar teragung. Salam dari murid menjadi pembuka suasana. Wajah Dexa menunduk. Ia seperti teroris yang diincar polisi.
“Tadi malam kamu kenapa, Dex?” tanya Bu Santi guru Bahasa jawa. Dexa tak memberikan respon. Posisi tubuhnya masih sama. Seisi kelas memendang Dexa menganggap tak sopan.
“Dex, lo ditanya ma guru tuh!” senggolan bahu teman sebangkunya menyadarkan.
“Hah! ... Apa, Bu?” tanya Dexa tergagap.
“Kamu melamun ya? Pagi-pagi ko nglamun! Pamali” guru itu menasehati.
“Memang tadi Bu Guru tanya apa sih?” Dexa baru menanyakan hal yang seharusnya dianyakan sedari tadi.
“Tadi malem lo kenapa? Lo aneh banget hari ini. Banyak bengongnya” ujar cewe berambut lurus itu.
“Oh ... tadi malam saya kerasukan setan, Bu” jawab Dexa polos
“Ha, ha, ha ...” sorak temanya.
“Kerasukan setan? Kenapa bisa gitu?” tanya guru dua anak itu.
“Saya juga cuma diceritain sama ibu dan pembantu saya. Jadi saya ga tau cerita persisnya” jawabnya menjelaskan.
“Ya udah! Lupakan aja” Guru itu lalu melanjutkan pelajaran yang tertunda. Tak ada kata santai untuk hari ini. Semua pelajaran penuh. Mungkin besok baru santai karena hari tenang.


*


SUASANA yang tegang jua sedang dilakoni teman-teman Dexa. Mereka menganggap lupa akan kejadian semalam yang sempat menghebohkan. Guru-guru juga tak mengijinkan jam pelajaran kosong. Pelajaran super ketat hari ini. Kantor guru terlihat sepi karena semua pengajar sedang menguras pengetahuanya demi anak didik. Kepala Sekolah sekarang hobi jalan-jalan. Ia terus mengontrol proses belajar. Kadang ia juga tak segan-segan memberi gambaran tentang Ujian Nasional. Sesekali ceramah mengenai mata pelajaran yang akan diujikan nanti. Ia dan guru-guru menuntut murid-murid menanyakan hal yang belum mereka pahami. Dengan bijaksana sang guru akan menjawab. Murid-murid mulai menebak-nebak hukuman apa yang akan diberikan untuk mereka kelak. Oleh sebab itu mereka tidak ingin hal itu terjadi. Menanyakan pelajaran yang tak dimengerti menjadi acara utama setiap kelas. Para murid juga berusaha agar tak merasakan hukuman yang masih teka-teki. Tiap kali berhenti disebuah kelas, Drs. Bima Stalasiano menerbitkan senyum melihat anak didiknya aktif bertanya. Hari jam pulangpun dipercepat dengan alasan waktu istirahat siswa. Kali ini tak ada siswa nongkrong-nongkrong di depan gerbang sekolah. Semua langsung pulang ke rumah masing-masing. Perubahan yang sangat drastis. Tapi mengagumkan.


*

SETIBANYA di rumah Dexa hanya melakukan hal yang tak penting. Ya, seperti anak seumumnya. Makan siang dan tidur. Bi Inah sedikit bingung melihat polah Dexa. Ia pelit sekali mengeluarkan kata. Seharian ini Dexa hanya berdiam diri di kamar. Buku pelajaran hampir seperti sampah. Tangannya tak penah memegang benda lain kecuali buku. Entah pelajaran apa yang sedang diilhami Dexa. Kadang mulutnya mengolohi pensil atau pulpen. Layaknya mengolohi permen kojek rasa anggur. Nyam, nyam, nyam......manis! Sesekali tubuhnya rebahan di kasur dengan wajah tertutup buku. HP-nya hanya tergeletak lunglai di bawah bantal. Sengaja tak diaktifkan. Sebagai Ketua OSIS, Dexa wajib menjadi suri tauladan bagi teman-teman lain. Apalagi jika sampai merasakan hukuman itu. Akan dikemanakan wajah ayu Dexa? Ia tak mau menanggung resiko terlalu besar.


*

PEMANDANGAN yang sama juga bisa disaksikan di kamar-kamar teman Dexa. Tak lagi ada TV menyala atau radio berbunyi. Segalanya serba sunyi. Mereka berusaha mengenang pelajaran kelas satu dan dua yang telah terlupakan. Sulit sekali! Buku dilempar jika tak menemukan cara untuk memecahkan soal. Sesekali jari mereka menegetuk-ngetuk meja berusaha mengingat pelajaran. Mengatai diri sendiri bodoh jika telah menemukan kunci soal itu. Dalam hati mereka bertanya:
“Kenapa sekolah tiga tahun hanya ditentukan tiga hari?” pertanyaan itu sering membuat mereka jengkel. Betapa sulitnya sekolah jaman sekarang. Tak ada yang dapat membantu mereka kecuali diri mereka sendiri. Orang tua hanya membantu namun hanya lewat doa. Tiga hari itu membuat mereka hampir mati kutu. Apalagi sampai membuat kumpulan anak bengal-bengal itu menjadi kutu buku. Sungguh hebat dan ajaib! Tuhan memang Maha Adil. Di balik kesenangan pasti ada kesusahan. Tuhan telah membiarkan bocah-bocah itu menikmati masa kesenangan. Tapi sekarang Tuhan juga akan melimpahkan kesusahan untuk mereka. Anak-anak itu tak layak diberikan kebahagiaan terlalu lama. Sekarang mereka lebih terlihat pasrah dan menyerahkan semua keputusan kepada Sang Khalik. Pastinya setelah mereka berusaha dahulu! Ya, itulah hidup. Sanggupkah mereka menjalani kehidupan yang telah Tuhan atur sedemikian rupa? Entahlah! Semua tergantung pada manusia itu sendiri.


*

HARI berganti hari. Hari mendebarkan itu hadir juga. Sejak pintu gerbang sekolah dibuka, tak ada satu murid yang mengobrol atau nongkrong-nongkrong. Semua anak yang baru turun dari kendaraan kencana memegang buku. Ada yang membaca, menghapal atau mengerjakan soal sambil jalan. Serba aneh pagi ini. Ada anak yang belum sempat sisiran dan lain-lain. Yang dilakukan mereka jika bertemu teman sejahwatnya hanya mencetak kata “Hai”. Begitu masuk ke dalam kelas, tak akan kita temukan anak yang sedang berjalan-jalan. Yang ada hanya anak-anak yang sedang berdiskusi membahas soal yang tak mereka pahami. Mengagumkan! Panorama ini akan kita nikmati tiga hari berturut-turut.

*

HARI ini sesuatu yang telah lama menjadi misteri akan terbongkar. Setelah penasaran lebih dari dua Minggu menjalari anak SMP itu. Tak ada kelas kosong saat ini. Semua kelas dipenuhi dengan orang tua murid yang was-was menerima pengumuman lulus atau tidaknya anak tersayang. Kepsek mewajibkan siswa kelas dua dan tiga hadir saat pengumuman. Ya! Barangsiapa yang jelas-jelas raportnya tertera angka lima, hukuman yang telah lama direncanakan pihak sekolah, akan menimpa siapapun. Oh, sungguh mendebarkan sekali! Anak-anak itu terlihat tegang. Tak ada siswa bercanda. Mata bocah pemberontak itu menatap orang tua mereka yang sedang mengambil raport. Berbagai ekspresi dikelurkan wali murid. Ada yang pura-pura sedih padahal senang dan sebaliknya. Rupanya mereka tak mau kalah dengan buah hatinya yang pandai dalam urusan gaya dan akting. Ada anak yang sedang berdoa memohon pertolongan Tuhan. Beberapa anak sudah mulai mengetahui dirinya mendapat hukuman atau tidak. Wajah mereka langsung memerah jika melihat angka lima tersenyum diraport. Mau tak mau mereka harus masuk ruang aula yang telah didesain sedemikian rupa sehingga tak tampak jika ditatap dari luar. Siswa dibiarkan di dalam aula walaupun telah mendapat hukuman. Di dalam aula terdengar jeritan histeris para tersangka. Ada juga yang tertawa lepas. Ruangan itu kini menjadi aneh.
Tangan Dexa gemetaran melihat sang Bunda menerima benda keputusan. Hatinya berdenyut tak teratur. Darah di dalam tubuhnya seolah berhenti mengalir. Bunda menghampiri Dexa. Wajah Bunda menandakan kekecewaan. Sembari menggeleng kepala ia menyerahkan benda keramat itu pada anaknya. Bergegas Bunda pergi.
“Bunda! Jangan pergi dulu! cacak dideleng raporté Dexa!” perintah Dexa.
“Kamu kan bisa buka sendiri, masa nyuruh orang tua” jawab Bunda sambil ngeloyor pergi.
“Bunda plis ... Dexa takut” pinta Dexa sambil tangannya menarik tangan Bunda. Dengan sabar Bunda membuka halaman. Mata Dexa tertutup ketika Bunda membuka halaman per halaman. Bunda tak kuasa menahan tawa. Ia tersenyum melihat tingkah anaknya. Dalam hatinya berkata:
“Yes! Aku berhasil ngerjain Dexa”
Begitu halaman yang dinanti terbuka, Dexa membuka mata. Kemudian dilihatnya dengan teliti buku itu. Sampai-sampai ia harus mengulang beberapa kali. Raganya loncat kegirangan begitu tak melihat angka lima berjalan diraportnya. Bunda tertawa puas. Dexa juga dinyatakan lulus. Dengan hati riang gembira ia berjalan beriringan dengan Bunda menuju mobil. Di tengah jalan ia dihadang seorang anak yang tak lain teman sekelas.
“Dex, lo ga liat anak-anak yang dihukum?” Pio mengingatkan Dexa akan momentum yang selama ini mereka nantikan.
“Oiya! Gue ampe lupa. Eh gimana lo, lulus ga?” tanya Dexa.
“Pio gitu loh! Masa ga lulus. Memalukan negara donk!” jawabnya sombong. Dexa hanya melirik sinis kearahnya. Kemudian Dexa meminta ijin pada Bunda untuk pulang nanti. Bunda hanya mengangguk pasti. Lalu mereka berdua berjalan menuju aula. Dalam perjalanan mereka melanjutkan perbincangan yang sempat tertunda.
“Pi, kelas tiga tahun ini sing ora lulus sapa?” tanya Dexa sambil matanya terus memandangi kertas pengumuman kelulusan.
“Kayaknya sih 100%” jawab Pio santai. Di tengah jalan mereka bertemu dengan para sahabat. Satu pertanyaan yang hampir sama tiap bertemu dengan teman. Kelulusan! Di depan pintu aula ada Agis, Deo, Ciquita, Rey, dan Cevryl. Tak cuma anak itu yang ada di sana. Masih banyak lagi anak-anak yang lain. Mereka semua menunggu temannya yang sedang dihukum. Mereka juga sangat penasaran dengan hukuman itu. Dengan sabar mereka menunggu tanpa mengenal kata lelah. Dari teman yang ada di sana pula, Dexa dan Pio mendapat informasi bahwa tahun ini kelas tiga lulus semua dan anak kelas dua yang mengikuti ekspesi bebas naik semua. Tapi diraport mereka masih ada nilai lima, mau tak mau harus merasakan hukuman itu.
Hampir dua jam Dexa dan bocah yang lain menunggu dengan setianya. Di dalam aula ada Brey, Ayra, Nery dan Vibra. Sampai sekarang Dexa tak tahu mata pelajaran apa yang membuat mereka terjerumus ke dalam hukuman itu. Dua jam lebih lima menit para pecinta seni masih setia menanti. Tiba-tiba pintu aula terkuak, Kepsek dan para pendidik berdiri di depan pintu.
“Kalian pasti nunggu teman kalian yang sedang dihukum. Iya kan?” kata Kepsek sambil tersenyum.
“Iya, Pa ...” jawab mereka serempak.
“Emang hukumannya apa sih, Pa?” sambung Dexa.
“Kalian lihat aja sendiri ...” ucap Kepsek sambil tangannya memprsilakan para tersangka ke luar menampakkan penampilannya yang terbaru.
“Oh tidak ...!” tanggapan teman-temannya heran. Kemudian semua anak yang ada di luar kelas tertawa sangat lepas.
Oh ... Rupanya hukuman itu tak seseram yang mereka bayangkan. Para tersangka itu hanya merasakan rambutnya dipotong pendek dan warna rambut mereka diganti menjadi hitam. Tak seram memang. Tapi mereka harus rela kehilangan gaya. Setidaknya mereka membutuhkan waktu setengah tahun untuk menunggu rambutnya kembali panjang. Mungkin saat ini Tuhan tersenyum geli melihat hamba-hambaNya merasakan buah pemikir Kepsek dan guru-guru. Rupanya Pelangi di sekolah itu hanya menghias tiga Minggu saja.
Tuhan tersenyumlah.......


Tegal, 26 Mei - 31 Juli 2006


--Selesai--


Ini merupakan novel pertamaku
yang aku buat
jelang akhir pendidikan
di tingkat Sekolah Menengah Pertama.


CATATAN:

Cerbung di atas pernah dimuat di Harian SUARA MERDEKA secara berturut-turut tiap hari Minggu sampai 15 kali penerbitan pada tahun 2007 lalu